Bea setelah Gerilya ke Orang Tua
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 19 Oktober 2015
Mereka cantik-cantik dan berjilbab. Mereka siap berangkat kuliah
ke sembilan universitas di berbagai provinsi di Tiongkok. Mereka mendapat beasiswa
untuk S-1 selama 4 tahun di sana. Ada yang masuk fakultas kedokteran, ada
juga yang fakultas ekonomi/bisnis.
Tahun ini ada 130 calon mahasiswa seperti itu yang mendapat
beasiswa melalui ITC (Indonesia-Tiongkok Cultural) Center Surabaya. Itulah lembaga
kebudayaan yang saya dirikan bersama Lily Yoshica sepuluh tahun yang lalu.
Mula-mula hanya melayani masyarakat yang ingin belajar bahasa Mandarin.
Lama-lama dipercaya oleh berbagai universitas untuk mengurus beasiswa.
Sudah tiga tahun ini kepercayaan seperti itu diberikan kepada
ITC. Mula-mula hanya 63 orang. Tahun berikutnya 67 orang. Tahun ini 130
orang. Saya ikut melepas keberangkatan mereka dari Surabaya Rabu lalu
(14/10).
Yang berangkat itu sebagian lulusan SMA Nahdlatul Ulama (NU)
Gresik. Sebagian lagi lulusan SMA Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo
yang terkenal itu. Yang putra ada yang lulusan SMA Muhammadiyah atau SMA
negeri. Beberapa lagi lulusan SMA Kristen/Katolik. Umumnya dari Jatim,
Jateng-Jogja, Kaltim-Kalsel, dan Sulsel.
Para kepala SMA itu ikut hadir dalam acara Rabu lalu. Demikian
juga para orang tua. Bupati Bojonegoro Suyoto yang anaknya juga kuliah di
Beijing kami minta bicara. Untuk memotivasi orang tua calon mahasiswa agar
tidak perlu mengkhawatirkan anak mereka.
"Tahun pertama dulu kami sulit meyakinkan orang tua
mereka," ujar Drs Nasihudin, kepala SMA NU Gresik. "Kami sampai
datang ke rumah-rumah mereka."
Pak Nasihudin ini memang gigih. Dia mengawali pergi ke
universitas yang dituju. "Bahasanya sulit, saya lupa nama kotanya,"
ujar Nasihudin.
Dia berbicara dengan pimpinan universitas. Misalnya, untuk
menyediakan fasilitas makanan halal. Pihak universitas pun langsung
menyiapkan fasilitas yang diminta.
Lain lagi dengan Drs Faizin, kepala SMA Pondok Pesantren Nurul
Jadid Probolinggo. Dia semangat memperjuangkan beasiswa untuk anak didiknya
karena kebutuhan. "SMA kami membuka jurusan bahasa Mandarin," kata
Faizin.
"Lulusannya harus bisa diterima di Tiongkok." Seperti
yang lulusan jurusan bahasa Arab-nya harus bisa kuliah di Mesir atau Arab
Saudi.
Dalam acara itu, hadir juga seorang kiai muda. Namanya Mustofa.
Dia mengaku lulusan Pondok Pesantren Langitan, Tuban. Kini Kiai Mustofa sudah
memiliki pondok pesantren sendiri di Nongkojajar, Pasuruan. Namanya: Pondok
Pesantren Pitutur. Nama itu diambil dari nama desa setempat, Tutur, lalu
ditambah Pi di depannya.
"Tahun depan saya ingin 100 santri saya bisa memenuhi
syarat untuk dapat beasiswa ini," kata Mustofa penuh semangat.
Berkata begitu, dia mengarahkan wajahnya ke Lily Yoshica dan
Andre Su. Dua orang itulah yang memimpin ITC sejak didirikan pada 2000 hingga
kini. "Kami siapkan, Pak Kiai," ujar Lily, direktur ITC. Tahun ini
Pesantren Pitutur baru bisa mengirimkan enam orang.
Melihat pribadi kiai muda ini, saya merasa ada sesuatu yang
disembunyikan dari saya: Kehebatannya. Saya harus kejar dia dengan berbagai
pertanyaan. Agar terungkap orang seperti apa kiai ini sebenarnya. Kerendahan
hatinya memang luar biasa. Tapi, itu tidak bisa menyembunyikan kualitas
pribadinya. Akhirnya ketahuan. Ternyata dia seorang dokter. Hanya, dia tidak
pernah praktik.
Ternyata Kiai Mustofa juga menyembunyikan rahasia sukses
lainnya. Agar tidak kelihatan sombong. Kiai Mustofa ternyata seorang penemu
sistem pendidikan yang dia namakan konstruktivisme. Sistem itulah yang dia
terapkan di Pondok Pesantren Pitutur.
Dengan sistem tersebut, nilai kelulusan siswa SMA-nya tertinggi
di Jatim. Mata pelajaran fisika, kimia, dan matematikanya mendapat nilai 10.
Teori-teori mengajar fisika, kimia, dan matematika di Pesantren Pitutur itu
tidak sama dengan teori pengajaran yang sudah ada. Selepas pendidikan
dokternya dulu, Mustofa ternyata menempuh pascasarjana bidang pendidikan.
Metode baru itu juga dia terapkan untuk pelajaran kitab kuning.
Kitab kuning adalah istilah pondok pesantren untuk menyebut buku pelajaran
agama Islam yang sulit sekali karena ditulis dengan huruf Arab tanpa
kode-kode bunyi. Kiai Mustofa menceritakan pengalamannya saat menjadi santri
di Pondok Pesantren Langitan. Dia perlu waktu 6 tahun untuk menguasai kitab
kuning. "Dengan sistem yang saya temukan ini, cukup enam bulan,"
kata Mustofa.
Mustofa bertekad mengandalkan mutu untuk pengembangan
pesantrennya. Dia tidak mau minta dan tidak mau menerima sumbangan dari mana
pun. Ada sebuah perusahaan besar di Pasuruan yang pernah memaksanya menerima
sumbangan. Dia tidak mau. Bahkan sumbangan dari orang tua santri pun dia
tolak.
Tanpa ITC pun, minat belajar bahasa Mandarin sebenarnya sudah
menggeliat. Waktu di Beijing, misalnya, saya bertemu banyak mahasiswa asal
Indonesia. Termasuk anaknya tokoh Islam seperti mantan Presiden PKS Tifatul
Sembiring. Mereka itulah yang kini ingin mendirikan asosiasi yang akan mereka
beri nama: Perhati (Perhimpunan Alumni Tiongkok di Indonesia). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar