Minggu, 25 Oktober 2015

Evolusi Mental Jokowi

Evolusi Mental Jokowi

Rohman Budijanto  ;  Wartawan Jawa Pos
                                                      JAWA POS, 20 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

JOKO Widodo sudah sangat jarang menyebut-nyebut lagi ’’azimat’’ revolusi mental. Sudahlah, anggap saja revolusi mental sudah selesai ketika panggung kampanye dibongkar. Yang terjadi dalam setahun pemerintahannya bersama Wapres Jusuf Kalla justru gejalagejala ’’evolusi mental’’ Jokowi yang menarik dicermati.

Mentalitas Jokowi untuk memerankan diri sebagai presiden dengan segenap kewibawaan dan kekuasaannya tampak beringsut pelan-pelan. Evolusioner, bukan revolusioner.

Kita lihat sikap Jokowi pada ide kalangan DPR untuk membekap KPK yang kini menghangat. Jokowi mengulur waktu dengan mengatakan UU KPK perlu direvisi, tetapi tidak sekarang. Bagi pengingat dan penagih janji kampanye kepresidenan, sikap itu terasa menjengkelkan. Mereka mendesak Jokowi tegas menolak. Tetapi, kita perlu melihat bahwa sebenarnya sikap mengulur Jokowi itu sudah lumayan.

Bedakan dengan sikap pada awal dia menjabat. Ketika pimpinan KPK dipenjahatkan polisi, Jokowi diam saja. Bukannya mencegah, tetapi malah meneken penggantian sementara Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW). Kalau soal revisi UU KPK dia bersikap mengulur waktu, ini penanda mental Jokowi menguat terhadap tekanan partai-partai yang berkepentingan meloyokan KPK. Memang, ya baru sebatas itu. Belakangan, ketika 72 akademikus mendesak untuk menghentikan kasus BW, Jokowi tidak juga menuruti. (Cukup mengherankan sebenarnya, mengapa akademikus itu tidak sekalian meminta kasus AS dihentikan juga, padahal samasama sangat sumir).

Evolusi mental yang lumayan juga ditunjukkan saat merotasi Komjen Budi Waseso dari kepala Bareskrim ke BNN. Ketika Waseso diganti, keributan memang telanjur terjadi. KPK dan Komisi Yudisial (KY) guncang oleh penetapan tersangka pimpinannya. Para tokoh yang kritis ke polisi, termasuk Denny Indrayana, terancam jerat hukum. Ada pula upaya menyeret pers untuk dikriminalkan (untung ada Dewan Pers yang bilang ’’tidak’’ dengan menyebut itu kasus pers, diselesaikan dengan mekanisme pers, bukan pidana umum).

Kalau Jokowi baru ’’menemukan cara’’ mengganti Waseso setelah sekitar 10 bulan menyepak terjang, itu sudah mending. Bandingkan saat Jokowi memicu geledek politik ketika menunjuk Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon Kapolri. Padahal, rekam jejaknya yang beredar sangat jauh dari harapan yang terbentuk dari janji kampanye Jokowi. Geledek politik kian menggelegar ketika DPR –yang dikuasai oposisi– malah mengisyaratkan persetujuan.

Untung ada KPK yang berani menghadang, sekalipun AS dan BW harus dinonaktifkan sebagai rentetan penetapan tersangka kepada BG. Badai penentangan sedikit menyadarkan Jokowi. Kemenangan BG dalam praperadilan hakim Sarpin tidak menjadikan dia dilantik. Jokowi seperti mengoreksi dari masalah yang dia buat sendiri, meski tidak drastis. BG kemudian menjadi wakil Kapolri. Di panggung lain, ’’perusakan’’ kepada KPK dibiarkan saja berlangsung di depan mata Jokowi.

Dalam membangun tim kabinet, evolusi mental Jokowi juga bisa diraba. Kocok ulang komposisi kabinet Agustus lalu menunjukkan betapa Jokowi berusaha menawar tekanan partai pengusungnya. Dia menurut untuk memasukkan nama politikus senior PDIP Pramono Anung untuk menggeser Andy Widjajanto yang kerap diserang politikus PDIP karena sebab yang tidak terlalu jelas.

Tetapi, Jokowi ogah mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno. Politikus PDIP sering menyerang Rini, bahkan melaporkannya ke KPK, sepaket dengan Dirut Pelindo II R.J. Lino. Jokowi tetap kalem, sekalem ketika diembus-embuskan kabar ada rekaman ucapan Rini yang dinilai merendahkan sang presiden. Jokowi menunjukkan mental yang menolak semuanya didikte. Meskipun, risikonya cecaran dari para politikus kepada Rini (juga Jokowi) akan terus berlangsung.

Terasa evolusi mental Jokowi untuk lebih independen terhadap PDIP. Apalagi di parlemen ada kekuatan baru yang masuk, yakni PAN. Posisi Jokowi memang belum terlalu aman. Guncangnya Nasdem, partai pendukung Jokowi, karena Sekjennya ditersangkakan KPK bisa menjadi faktor ketidakpastian baru bagi kubu pemerintah. Tinggal bagaimana kepiawaian politik Jokowi mengelola kondisi itu untuk memperkuat realisasi visi hukumnya yang masih lemah ( Jawa Pos, kemarin 19/10).

Masih butuh evolusi mental yang lebih tegar bagi Jokowi untuk membenahi kinerja hukumnya. Meskipun inilah sebenarnya momentum untuk membenahi tim hukum Jokowi. Sejak awal, penunjukan Menkum HAM, jaksa agung, dan Kapolri (yang penuh keributan) sangat tidak menimbulkan harapan besar pada perbaikan penegakan keadilan. Jangankan efek ’’ wow’’, terasa yang muncul malah efek ’’ waduh’’.

Penegakan hukum setahun pertama pemerintahan Jokowi justru sangat diwarnai oleh KPK. Masih ada tangkap tangan kasus-kasus besar. Termasuk menimpa politikus PDIP dan menyeret politikus Nasdem, keduanya partai pemerintah. Terasa sangat memberikan harapan di tengah kegaduhan keluhan kriminalisasi yang dilakukan aparat hukum lain. Bila KPK loyo pada ’’musim kriminalisasi’’ ini, jelas citra hukum kita makin tersungkur. Ketika KPK justru akan dikerangkeng via revisi UU, kegeraman meluas.

Sebentar lagi pimpinan baru KPK bertugas mulai Desember. Meski kinerja mereka butuh pembuktian, kita boleh yakin nama ’’KPK’’ akan sulit membuat siapa pun yang duduk di dalamnya main-main, menyia-nyiakan amanah. Tim baru KPK tersebut akan berelasi dengan tim hukum Jokowi yang masih seperti itu. Kalau saja tim hukum Jokowi dibenahi, diperkuat dengan orang-orang ’’ wow’’, penegakan hukum akan lebih nendang. Ini bisa memperkuat harapan perbaikan ekonomi yang mulai menjanjikan ( Jawa Pos, kemarin juga).

Sabar saja, evolusi mental kepresidenan Jokowi setahun ini cukup lumayan. Memang sebenarnya untuk seorang presiden NKRI tidak cukup sekadar mental lumayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar