Kaji Ulang RUU Pengampunan
Irwan Wisanggeni ; Dosen Trisakti School of Management
|
KOMPAS,
21 Oktober 2015
Gaung
pengampunan pajak semakin nyaring dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang
tentang Pengampunan Nasional yang tinggal menunggu pengesahan DPR.
Pemerintah menargetkan,
Undang-Undang Pengampunan Nasional sebagai payung hukum pengampunan pajak
harus selesai tahun 2015.
Pengampunan pajak bersifat
lebih luas dibandingkan kebijakan penghapusan sanksi pajak 2008. Kebijakan
penghapusan sanksi pajak 2008 hanya mencakup Pajak Penghasilan (PPh),
sedangkan pengampunan pajak saat ini akan mencakup Pajak Penghasilan (PPh),
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn
BM).
Semangat di balik pengampunan
pajak adalah pembinaan kepada wajib pajak agar ke depan membayar pajak lebih
transparan. Ada dua keuntungan yang bisa dipetik pemerintah dari aktivitas
pengampunan pajak ini.
Pertama, mengembalikan uang
yang diparkir di luar negeri, diperkirakan berjumlah Rp 3.000 triliun, ke
dalam negeri. Jika program pengampunan pajak ini berhasil menarik dana itu 50
persen saja, maka akan kembali Rp 1.500 triliun. Uang sebanyak itu
tentu akan membantu menggerakkan roda perekonomian di dalam negeri.
Kedua, jika program pengampunan
pajak berjalan efektif, maka diprediksi rasio pajak akan meningkat dari 11
persen ke 13 persen atau 14 persen. Dampaknya adalah peningkatan cadangan
devisa dan pembangunan dapat berlangsung masif.
Namun, pemerintah menegaskan
dalam program pengampunan pajak pemerintah tidak akan menerima uang hasil
narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia. Selain itu, pengampunan pajak
juga tidak berlaku untuk koruptor yang kasusnya sudah dilimpahkan ke
pengadilan.
Harapan positif
Jika kita menelisik RUU
Pengampunan Nasional, di dalamnya ada yang memberi harapan positif, namun ada
pula yang tidak menarik bagi wajib pajak yang akan menjadi subyek program
pengampunan pajak ini.
Harapan positifnya adalah
negara akan menghapus utang pokok berikut sanksi administrasi yang terutang
selama ini dan wajib pajak hanya diharuskan membayar dengan tarif 3 persen
jika wajib pajak mengikuti program ini sepanjang Oktober-Desember 2015, tarif
5 persen jika wajib pajak mengikuti program ini pada Januari 2016-Juni 2016,
sedangkan bagi wajib pajak yang mengikuti program ini pada Juli 2016-Desember
2016 akan mendapatkan tarif 8 persen.
Tarif akan dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak (harta yang akan dilaporkan dalam surat permohonan
pengampunan). Hal ini diatur dalam RUU Pengampunan Nasional Pasal 4 (tarif)
dan Pasal 5 (untuk dasar pengenaan pajak).
Menarik
Tarif pengampunan pajak saat
ini menarik karena tarif PPh Badan 25 persen flat, sedangkan PPh Orang Pribadi yang
berlaku progresif dari 5 persen-30 persen. Jadi, tarif pengampunan pajak
secara umum lebih kecil dari tarif biasanya.
Adapun hal yang tidak menarik
bagi wajib pajak adalah tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf e pada draf
RUU Pengampunan Nasional. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa jika ingin
mengikuti program pengampunan pajak, wajib pajak diminta untuk memberikan
surat kuasa kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk membuka akses atas seluruh
rekening wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan yang berada di bank
dalam dan luar negeri, hal ini berlaku untuk transaksi setelah
memperoleh Pengampunan Nasional. Kondisi ini akan menjadikan wajib pajak
tidak nyaman secara psikologis karena harus membuka akses banknya.
Ubah pendekatan
Dalam kebijakan penghapusan
sanksi pajak 2008 antusiasme masyarakat cukup besar dalam mengikutinya karena
pada saat itu payung hukumnya melindungi wajib pajak tidak akan diperiksa dan
tak ada surat kuasa oleh wajib pajak untuk mengakses rekening bank wajib
pajak. Seharusnya pengampunan pajak kali ini melakukan pendekatan seperti
itu. Berangkat dari alasan tersebut, seyogianya draf RUU Pengampunan Nasional
dikaji ulang agar program dapat berjalan sukses.
Semoga program pengampunan
pajak ini berjalan mulus sesuai harapan dan dapat menstimulasi perekonomian
secara makro juga menambah investasi dari dana yang diparkir di luar negeri.
Hal ini sesuai paket kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang selalu
menginginkan investasi berjalan di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar