Minggu, 18 Oktober 2015

Intifadah

Intifadah

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 18 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Januari 2009. Kami berhenti di Kamp Pengungsi Jabaliya, sekitar 4 kilometer sebelah utara Gaza City, Gaza. Dari Jabaliya, apalagi Jabaliya Timur, wilayah Israel terlihat. Jarak antara Jabaliya dan perbatasan Jalur Gaza-Israel hanya sekitar 2,5 kilometer. Begitu dekat.

”Daerah ini, Jabaliya Timur, adalah basis perlawanan pejuang Palestina. Maka, ketika pasukan Israel mencapai daerah ini, mereka mengamuk dan menghancurkan semua rumah dan apa saja yang mereka temukan, seperti jalan-jalan dan kebun-kebun serta infrastruktur lainnya,” kata anggota Parlemen Palestina wakil Jabaliya, Fathi Ahmed, ketika itu (Jalur Gaza, Tanah Terjanji, Intifada, dan Pembersihan Etnis, 2009).

Jabaliya inilah ”ibu kandung” perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel yang disebut Intifadah. Tujuan utama Intifadah adalah mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Tepi Barat, Jerusalem, dan Jalur Gaza, serta mendirikan negara Palestina merdeka dan independen.

Intifadah pertama meledak secara dramatis, 9 Desember 1987 atau 20 tahun setelah pendudukan Israel atas Tanah Palestina (Perang 1967). Pada suatu petang, ketika hujan turun membasahi bumi Jabaliya, 9 Desember 1987, sebuah truk Israel menabrak dua mobil van yang mengangkut para pekerja Palestina yang baru pulang dari tempat kerja di Israel. Empat orang tewas seketika dalam tabrakan itu. Tak lama beredar rumor—yang merupakan unsur paling penting dari sebuah pembuka terjadinya kekerasan etnis—bahwa truk itu sengaja menabrak van yang mengangkut para pekerja.

Setelah memakamkan keempat korban tabrakan, para pelayat menyerbu kantor polisi; melempari pos polisi dengan batu. Terjadi bentrokan dengan polisi. Seorang warga Jabaliya, Hatem Abu Sisi, tewas tertembak. Bagaikan api disiram bensin, perlawanan menjadi-jadi. Demikian pula keesokan harinya. Para demonstran menggunakan segala senjata, termasuk batu, untuk melawan polisi dan tentara Israel. Hari itu, pecahlah Intifadah, sepatah kata dalam bahasa Arab yang berarti ”pemberontakan”, yang segera masuk dalam leksikon internasional (Beverley Milton-Edwards dan Stephen Farrell, Hamas, The Islamic Resistance Movement).

Kecelakaan itu hanya sebagai pemicu. Mereka sudah tidak mampu lagi menanggung derita. Hak milik atas tanah dan rumah mereka diambil; diusir dari rumah mereka pada tahun 1948 untuk membuka jalan bagi mengalirnya imigran Yahudi dari Eropa. Bangsa Palestina menjadi korban proyek kolonialis yang menyangkal eksistensi mereka dan hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri di tanah yang telah mereka tempati secara turun-temurun, bertahun-tahun. Intifadah Jabaliya yang berakhir pada September 1993 menewaskan hampir 2.000 orang.

Intifadah ini akhirnya memaksa semua pihak lebih bersikap pragmatis kalau tidak mau hancur. Terjadi perundingan rahasia antara Israel dan PLO dengan bantuan Pemerintah Norwegia, yang akhirnya melahirkan Persetujuan Oslo, serangkaian kesepakatan yang ditandatangani pada 1993-1995.

Persetujuan itu menegaskan komitmen 1988 PLO—menolak terorisme, mengakui hak Israel untuk eksis, dan menerima Resolusi 242 dan 33 DK PBB. Sebaliknya, Israel mengakui PLO sebagai wakil sah bangsa Palestina, setuju menarik dari wilayah pendudukan dan pembentukan Otoritas Palestina untuk memerintah wilayah tersebut.

Akan tetapi, ternyata kesepakatan itu hanya indah di atas kertas; tidak sepenuhnya ditaati oleh kedua belah pihak. Israel tidak mundur dari wilayah pendudukan, bahkan membangun permukiman baru; keduanya tidak bisa hidup berdampingan secara damai; berulang kali terjadi pelanggaran dan kekerasan. Kekerasan itu memuncak setelah kandidat PM dari Likud, Ariel Sharon, mengunjungi Temple Mount (Haram al-Sharif) di Jerusalem timur sebagai pernyataan yang tegas kedaulatan Israel atas Masjid Al-Aqsa, tahun 2000.

Intifadah Kedua atau Intifadah Al-Aqsa yang berakhir tahun 2005 lebih brutal, lebih keras, dan Israel pun lebih kejam. Korban tewas lebih banyak. Menurut B’Tselem, sebuah organisasi hak asasi manusia Israel, 6.371 orang Palestina tewas, sedangkan Israel kehilangan 1.083 jiwa. Jumlah tersebut belum termasuk yang luka, yang demikian banyak.

Kini, anak-anak muda Israel dan Palestina yang tumbuh di bawah bayang-bayang Intifadah Kedua berhadap-hadapan di Jerusalem timur, di sekitar Masjid Al-Aqsa, di Tepi Barat. Sejak September lalu, pecah kekerasan, kerusuhan antara Israel dan Palestina yang telah menewaskan puluhan orang Palestina serta Israel. Ada dua kemungkinan bisa terjadi: apakah mereka, kedua belah pihak, akan menuruti nafsu saling membunuh dan meledakkan Intifadah Ketiga atau memulai babak baru, mengendalikan diri dan menghidupkan lagi perundingan perdamaian?

Semoga kesucian Kota Suci Jerusalem masih memberikan tuah bagi mereka sehingga mampu menahan diri dan menghindarkan peperangan baru yang hanya akan membawa mereka ke jurang kekelaman yang tanpa batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar