Kamis, 08 Oktober 2015

Memori

Memori

Bre Redana ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 04 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peristiwa G30S 50 tahun lampau, memori macam apa ini? Mencoba mengingatnya, yang tertemukan justru rahasia otak, menyangkut kekuatan dan kerentanannya. Begitu pahitnya, otak agaknya kemudian menciptakan mekanismenya sendiri: apa yang perlu diingat dan apa yang perlu dilupakan. Novelis Milan Kundera memiliki ungkapan sangat bagus yang dikutip banyak orang: perjuangan seseorang melawan kekuasaan sejatinya adalah perjuangan memori melawan lupa.

Persoalan menjadi lebih rumit, ketika lupa yang hendak kita lawan semata-mata produk rekayasa otak, semacam zat tak berbau tak berbentuk yang diinjeksikan ke otak kita. Urusannya untuk menyemaikan kebencian, menciptakan musuh, menemukan dalih untuk memusnahkan suatu golongan, demi kepentingan kekuasaan. Refleksi mengenai bagaimana kebencian dicekokkan ke masyarakat untuk membenci golongan tertentu ini dengan tak kalah bagus diolah oleh Umberto Eco lewat novelnya berjudul The Prague Cemetery.

Berlatar belakang Eropa pada akhir abad ke-19, digambarkan bagaimana seorang agen (bersama agen-agen lain pada zamannya) mengarang-ngarang cerita mengenai gerakan sebuah suku bangsa yang dikhawatirkan bakal membahayakan Eropa. Suku bangsa yang dimaksud adalah Yahudi.

Sang agen, tokoh utama novel itu yang bernama Simone Simonini, menciptakan suatu protokol yang seolah-olah dibikin oleh para tokoh Yahudi. Pada saat itu, kalangan Yahudi, Freemason, Jesuit, dan lain-lain berlomba mendiskreditkan satu sama lain. Bahannya bukan melulu fakta atas sebuah peristiwa, melainkan juga fakta yang bisa didapat dari novel-novel. Dengan kata lain, kita diingatkan, peradaban manusia sebetulnya terbentuk dari proses saling penetrasi antara fakta dan fiksi.

Protokol tadi intinya ingin menyusupkan ideologi entah itu ke paham sekularisme, internasionalisme, ataupun komunisme, untuk menyubversi moral, politik, ataupun ekonomi. Dengan kehancuran ideologi-ideologi penting pada zaman itu, Yahudi akan memperoleh keuntungan sekaligus kesempatan menguasai dunia. Untuk lebih meyakinkan orang, kalau perlu dirancang plot, agar sebuah peristiwa meletus. Banyak agen berkeliaran untuk kepentingan semacam ini.

Rancangan Yahudi untuk menguasai dunia tersebut oleh si agen Simonini didasarkan pada pertemuan mereka, yang selalu terselenggara bersamaan ritual misterius di malam hari, di sebuah kuburan di Praha. Sebegitu hidup cerita mengenai kuburan di Praha itu, barangkali seperti kisah para Gerwani yang dulu konon menari-nari di Lubang Buaya. Padahal, oleh Simonini, dokumen tentang pertemuan kaum Yahudi di kuburan di Praha tadi ia ambil dari bab sebuah novel yang pernah ada sebelumnya, berjudul In the Jewish Cemetery of Prague.

Itulah tidak terpisahkannya fakta dan fiksi dari novel ini. Bagi yang paham mengenai sejarah Eropa, barangkali ingat, bagaimana Rusia pada zaman Nicholas II menghancurkan Yahudi berdasar suatu dokumen yang meyakinkan, yang mampu mendiskreditkan mereka. Kebencian terhadap Yahudi pun terbukti melampaui ruang dan zaman, sampai kemudian terjadi proses genosida terhadap mereka di Jerman pada zaman Hitler.

Tentu saja, pada novel itu bukan tidak ada pertanyaan, tentang kredibilitas cerita yang dibuat sang tokoh, untuk mendiskreditkan kelompok atau golongan tertentu. Sama seperti kalau kita berpikir agak kritis, kenapa peristiwa penculikan para jenderal di Indonesia 50 tahun lampau disebut Gerakan 30 September? Bukankah penculikan berlangsung subuh tanggal 1 Oktober, hari yang sama Soeharto menumpas gerakan itu?

Ada yang menjawab: persiapannya, kan, dari 30 September. Bagaimana kalau persiapannya tidak beberapa jam sebelumnya, melainkan beberapa hari atau beberapa bulan sebelumnya? Menjadi gerakan 30 Agustus? Atau 3 Juli? Atau apa pun Anda mau, gerakan Senin Kliwon, misalnya.

Narasi sejarah kadang memang anakronistik. Apalagi, kalau ia dimaksudkan semata-mata untuk menebar kebencian. Sebab, benci-sebagaimana cinta-sebenarnya tidak memerlukan alasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar