Memori
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
04 Oktober 2015
Peristiwa G30S 50 tahun lampau,
memori macam apa ini? Mencoba mengingatnya, yang tertemukan justru rahasia
otak, menyangkut kekuatan dan kerentanannya. Begitu pahitnya, otak agaknya
kemudian menciptakan mekanismenya sendiri: apa yang perlu diingat dan apa
yang perlu dilupakan. Novelis Milan Kundera memiliki ungkapan sangat bagus
yang dikutip banyak orang: perjuangan seseorang melawan kekuasaan sejatinya
adalah perjuangan memori melawan lupa.
Persoalan menjadi lebih rumit,
ketika lupa yang hendak kita lawan semata-mata produk rekayasa otak, semacam
zat tak berbau tak berbentuk yang diinjeksikan ke otak kita. Urusannya untuk
menyemaikan kebencian, menciptakan musuh, menemukan dalih untuk memusnahkan
suatu golongan, demi kepentingan kekuasaan. Refleksi mengenai bagaimana
kebencian dicekokkan ke masyarakat untuk membenci golongan tertentu ini
dengan tak kalah bagus diolah oleh Umberto Eco lewat novelnya berjudul The Prague Cemetery.
Berlatar belakang Eropa pada akhir
abad ke-19, digambarkan bagaimana seorang agen (bersama agen-agen lain pada
zamannya) mengarang-ngarang cerita mengenai gerakan sebuah suku bangsa yang
dikhawatirkan bakal membahayakan Eropa. Suku bangsa yang dimaksud adalah
Yahudi.
Sang agen, tokoh utama novel itu
yang bernama Simone Simonini, menciptakan suatu protokol yang seolah-olah
dibikin oleh para tokoh Yahudi. Pada saat itu, kalangan Yahudi, Freemason,
Jesuit, dan lain-lain berlomba mendiskreditkan satu sama lain. Bahannya bukan
melulu fakta atas sebuah peristiwa, melainkan juga fakta yang bisa didapat
dari novel-novel. Dengan kata lain, kita diingatkan, peradaban manusia
sebetulnya terbentuk dari proses saling penetrasi antara fakta dan fiksi.
Protokol tadi intinya ingin
menyusupkan ideologi entah itu ke paham sekularisme, internasionalisme,
ataupun komunisme, untuk menyubversi moral, politik, ataupun ekonomi. Dengan
kehancuran ideologi-ideologi penting pada zaman itu, Yahudi akan memperoleh
keuntungan sekaligus kesempatan menguasai dunia. Untuk lebih meyakinkan
orang, kalau perlu dirancang plot, agar sebuah peristiwa meletus. Banyak agen
berkeliaran untuk kepentingan semacam ini.
Rancangan Yahudi untuk menguasai
dunia tersebut oleh si agen Simonini didasarkan pada pertemuan mereka, yang
selalu terselenggara bersamaan ritual misterius di malam hari, di sebuah
kuburan di Praha. Sebegitu hidup cerita mengenai kuburan di Praha itu,
barangkali seperti kisah para Gerwani yang dulu konon menari-nari di Lubang
Buaya. Padahal, oleh Simonini, dokumen tentang pertemuan kaum Yahudi di
kuburan di Praha tadi ia ambil dari bab sebuah novel yang pernah ada
sebelumnya, berjudul In the Jewish
Cemetery of Prague.
Itulah tidak terpisahkannya fakta
dan fiksi dari novel ini. Bagi yang paham mengenai sejarah Eropa, barangkali
ingat, bagaimana Rusia pada zaman Nicholas II menghancurkan Yahudi berdasar
suatu dokumen yang meyakinkan, yang mampu mendiskreditkan mereka. Kebencian
terhadap Yahudi pun terbukti melampaui ruang dan zaman, sampai kemudian
terjadi proses genosida terhadap mereka di Jerman pada zaman Hitler.
Tentu saja, pada novel itu bukan
tidak ada pertanyaan, tentang kredibilitas cerita yang dibuat sang tokoh,
untuk mendiskreditkan kelompok atau golongan tertentu. Sama seperti kalau
kita berpikir agak kritis, kenapa peristiwa penculikan para jenderal di
Indonesia 50 tahun lampau disebut Gerakan 30 September? Bukankah penculikan
berlangsung subuh tanggal 1 Oktober, hari yang sama Soeharto menumpas gerakan
itu?
Ada yang menjawab: persiapannya,
kan, dari 30 September. Bagaimana kalau persiapannya tidak beberapa jam
sebelumnya, melainkan beberapa hari atau beberapa bulan sebelumnya? Menjadi
gerakan 30 Agustus? Atau 3 Juli? Atau apa pun Anda mau, gerakan Senin Kliwon,
misalnya.
Narasi sejarah kadang memang
anakronistik. Apalagi, kalau ia dimaksudkan semata-mata untuk menebar
kebencian. Sebab, benci-sebagaimana cinta-sebenarnya tidak memerlukan alasan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar