Kamis, 08 Oktober 2015

Dialog Para Eksil yang Terhenti

Dialog Para Eksil yang Terhenti

Lola Amaria ;   Sutradara dan Produsen Film
                                                       KOMPAS, 04 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judulnya Dialogue of Exiles (1984). Sebuah film karya sineas eksperimental Cile, Raúl Ernesto Ruiz Pino (1941-2011) ini sangat menusuk jiwa setiap orang yang merasa memiliki negeri. Ruiz sendiri melarikan diri dari Cile sebagaimana ribuan orang lainnya dan memilih menjadi eksil di Paris tak lama setelah Jenderal Pinochet melakukan kudeta menyingkirkan Presiden Allende (1973).

Ruiz menggambarkan eksilitas itu kematian politik dan kematian kemanusiaan sekaligus. Ribuan eksil Cile itu hidup secara komunal dalam kelompok kecil (6-10 orang) dengan berbagi tempat tinggal yang sangat sempit, makanan, dan bahkan pakaian tebal menahan dingin. Sementara untuk hidup, mereka harus berjuang sangat keras bahkan terkadang harus mogok makan bersama-sama demi memperoleh pekerjaan. Di tengah-tengah kesulitan hidup itu, mereka masih menyempatkan waktu untuk membantu kawan-kawan mereka yang berjuang di negerinya. Nasib seperti sudah menggariskan bahwa mereka berjuang hidup di negara yang bukan negerinya untuk negara yang tidak mengakuinya.

Film ini adalah satu di antara sekian film referensi yang membantu saya dalam melakukan riset tentang eksil Indonesia di Eropa, setahun terakhir ini. Narasi eksilitas film ini mengajak membayangkan nasib ribuan orang Indonesia yang tugas belajar di luar negeri dicabut kewarganegaraannya sejak tahun 1965. Persis 50 tahun lalu hingga hari ini, sejauh yang saya tahu, Pemerintah Indonesia belum pernah tercatat memulihkan kembali kewarganegaraan seorang pun di antara mereka.

Bertahan hidup

Kuslan Budiman (lahir 1935), salah seorang narasumber pada riset ini, menuturkan bahwa dirinya yang berangkat ke Tiongkok pada awal 1965 tidak pernah mengira bahwa hidupnya akan berubah. Sebagai seniman dengan tugas belajar, ia tidak bisa melanjutkan lagi studinya mengenai pentas pertunjukan. Paspornya dicabut, dipaksa menghuni kamp penampungan, dilarang bekerja, dilarang bergaul dengan penduduk setempat, dijaga militer, dan hidup dari rasa kasihan Pemerintah Tiongkok selama bertahun-tahun.

Hidup hanya dengan makan dan minum, tanpa aktivitas lain cukup menjadikan mereka stres. Akibatnya, banyak di antara mereka yang bertengkar satu sama lain karena hal sepele. Bahkan menurutnya, ”Tahun-tahun itu sangat cukup buat kami menjadi gila.” Dan, agar tidak mengalami nasib buruk itu, ia dan beberapa kawan lainnya memilih pergi ke Rusia dan Eropa, mencari kehidupan yang lebih baik.

Di Rusia, ia belajar lagi di Universitas Stroganov sampai lulus dan bekerja sebagai desainer. Kehidupannya lebih meningkat lagi ketika ditawari menjadi dosen di Institut Asia Afrika. Namun, itu tak lama. Setelah kebencian terhadap warga asing bermunculan seiring dengan masa Glasnost dan Perestroika (1991), ia memutuskan pindah ke Belanda dan memulai semuanya kembali dari nol.

Sarmadji (lahir 1931), eksil yang juga pernah ”terdampar” di Tiongkok selama beberapa tahun, akhirnya juga memilih pergi ke Belanda. Ia yang mula-mula kerja serabutan selama bertahun-tahun, akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Ia bercerita dengan bangga, ”Saya mendapat penghargaan perusahaan karena selama saya bekerja sampai pensiun tidak pernah sakit dan bolos sehari pun.”

Setelah pensiun, Sarmadji tidak berhenti bekerja. Saat ini ia banyak mengumpulkan kepustakaan tentang Indonesia. Rumah tempat tinggalnya lebih mirip ruang perpustakaan yang dikelolanya sendiri.

Lain halnya dengan Chalid Hamid (lahir 1938) dan Djumaeni. Mereka harus meninggalkan keahliannya demi memenuhi kebutuhan hidup. Chalid bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran china, sementara Djumaeni yang doktor forensik menyerah menjadi petugas perpustakaan dengan gaji yang tak seberapa.

Eksil Indonesia lain mengalami nasib serupa, bertebaran dari Tiongkok hingga Eropa, dari Kuba hingga Rusia. Dulu, ribuan jumlahnya dan sekarang, seperti yang dicatat oleh Sarmadji, yang rajin mencatat informasi para eksil, sudah kurang dari 200 orang yang masih hidup. Mereka berjuang hidup dan berpindah-pindah negeri bertahun-tahun tanpa identitas.

Hidup Kuslan dan kawan-kawan persis seperti tuturan Bertolt Brecht dalam Refugee Conversations bahwa sekolah terbaik untuk dialektika hidup adalah imigrasi dan dialektika hidup yang paling berat adalah kaum terbuang (eksil). Ada perubahan yang memaksa mereka menjadi eksil dan mereka hanya bisa hidup dalam perubahan.

Eksil luar dan dalam

Eksil lainnya, Mintardjo, yang sekolah di Romania dan kemudian pindah ke Belanda, bercerita bahwa persoalan kewarganegaraan merupakan persoalan yang sangat menghantui setiap eksil. Mereka tidak pernah rela menjadi warga negara selain Indonesia. Namun, kebutuhan hidup mereka mengharuskan untuk memiliki status kewarganegaraan, misalnya untuk bekerja dan bepergian.

Selain Pak Min, sapaan akrab Mintardjo, Sarmadji juga mengatakan bahwa sejatinya ia menolak untuk tunduk di bawah hukum Belanda. Mengikuti proses menjadi warga negara Belanda seperti tinggal di kamp penampungan, lapor ke marsose, bolak-balik konsultasi dengan pengacara, wawancara, dan lainnya sangat menyiksa batinnya.

Tahun 2000-an, Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengutus Yusril Ihza Mahendra untuk menyiapkan proses pengembalian kewarganegaraan para eksil dan meminta mereka kembali ke Tanah Air. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan di beberapa negara dengan para eksil, rencana itu surut seiring dengan jatuhnya Presiden Gus Dur.

Sementara Kuslan bercerita, saat ia punya kesempatan kembali ke Indonesia, ia harus punya kewarganegaraan yang jelas. ”Terpaksa saya punya paspor Belanda. Tapi hati saya tetap Indonesia, paspor itu, kan, hanya dokumen identitas,” katanya menjelaskan.

Saat ini, hampir semua eksil sudah pernah kembali ke Indonesia dengan menggunakan paspor negara lain. Sekalipun secara resmi sudah menyandang sebuah kewarganegaraan, mereka tetap sebagai eksil. Kalau dulu mereka adalah eksil luar-dalam, sekarang pun mereka masih eksil, eksil dalam.

Rekonsiliasi dan koeksistensi

Usaha Presiden Abdurrahman Wahid sempat menumbuhkan harapan akan pulihnya kewarganegaraan para eksil, tetapi kemudian menghilang sampai muncul isu akan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada zaman Presiden Megawati.

KKR yang sempat dibentuk untuk kasus Timor Leste diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi persoalan 1965, khususnya nasib para eksil. Dengan berbagai alasan, tidak semua setuju dengan usaha besar ini. Bahkan ada yang menganggap proses rekonsiliasi biarkan saja berjalan apa adanya di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Pendapat yang berbeda juga muncul di kalangan para eksil, ada yang menganggap rekonsiliasi penting dilanjutkan, ada yang mengatakan rekonsiliasi penting tapi lebih penting koeksistensi. Rekonsiliasi memang menjadi pintu bagi penghentian semua bentuk pertikaian, sementara koeksistensi mengandung sikap saling menghormati hidup dan perbedaan sikap masing-masing.

Namun, yang lebih penting sebelumnya adalah usaha menyampaikan kebenaran, termasuk pengakuan masing-masing. Pengakuan-pengakuan semacam ini bisa menjadi pintu terwujudnya rekonsiliasi dan koeksistensi. Maka tidak salah jika Kuslan menyampaikan bahwa dirinya bukan korban karena ia menjadi anggota Lekra bukan ikut-ikutan. ”Saya ini orang kalah,” katanya.

Pukul 00.42 WIB, 18 September 2015, ada berita masuk dalam telepon seluler saya yang mengabarkan Pak Min meninggal di Leiden beberapa hari setelah kembali dari Yogyakarta. Di Yogyakarta, Pak Min jatuh dan sempat koma. Yogyakarta adalah kota yang banyak berarti dalam hidupnya, termasuk pernah menjadi pemain sepak bola andalan kota itu. Pak Min meninggal dengan membawa jutaan terrabite memori tentang eksil Indonesia di luar negeri yang luput kita catat. Satu lagi, negara tak sempat memulihkan kewarganegaraannya seperti yang ia harap-harapkan.

Jokowi sebagai Presiden RI yang terbebas dari beban sejarah masa lalu memiliki kesempatan mewujudkan harapan besar rekonsiliasi demi masa depan Indonesia. Sebagaimana usahanya membangun infrastruktur Indonesia yang lebih baik, dengan tanpa banyak mengumbar kata-kata, Jokowi bisa melanjutkan dialog yang sempat terhenti itu.

Setelah 50 tahun berlalu dan belum tampak rekonsiliasi dan koeksistensi yang kita inginkan, haruskah kita menunggu 50 tahun lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar