Kamis, 08 Oktober 2015

"Metanoia"

"Metanoia"

Trias Kuncahyono ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 04 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Suatu hari di Toronto, Kanada, penerima Nobel Perdamaian 1983, Uskup Agung Desmon Tutu, berpidato: "Jika Anda bertanya kepada para mahasiswa Afrika Selatan, bahkan mahasiswa yang paling sederhana sekalipun, apakah yang mereka pikirkan tentang peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam di Afrika Selatan? Hampir semuanya akan mengatakan, malapetaka yang menakutkan akan menimpa kami. Kami akan disapu bersih oleh bencana berdarah-darah."

"Tetapi, semua itu tidak terjadi. Pada 27 April 1994, mata dunia memandang kami dengan penuh ketakjuban ketika melihat semua orang berbagai macam ras berbaris mengular menuju tempat pemungutan suara. Dan kemudian, dunia semakin terheran-heran, tak mampu berbicara ketika menyaksikan Nelson Mandela, pada 10 Mei 1994, dilantik menjadi Presiden Afrika Selatan. Ini sebuah mukjizat: transisi damai dari ketidakadilan dan penindasan ke kebebasan dan demokrasi."

Nelson Mandela yang selama 27 tahun dipenjara, diperlakukan sangat tidak manusiawi; orang kulit hitam Afrika Selatan yang bertahun-tahun hidup dalam sangkar rasialisme ketidakadilan, penindasan, dan juga perlakuan tidak manusiawi oleh orang kulit putih; mampu meretas belenggu balas dendam, membuang jauh-jauh rasa kebencian, dan membuka hati mereka untuk memaafkan. "Nelson Mandela dikenang sebagai ikon rekonsiliasi dan pemaaf, orang yang sangat luhur budinya," kata Desmon Tutu.

Keteguhan hati Mandela dalam penjara-khususnya selama bertahun-tahun dalam penjara di Robben Island, bekas tempat pembuangan penderita kusta, sikap tanpa putus harapan dalam perjuangan amat panjang menentang diskriminasi, ketegarannya menolak kompromi dan gratifikasi, kebesaran hatinya mengatasi dendam dan memaafkan orang yang telah menghukumnya dengan sewenang-wenang-semua itu merupakan kombinasi keyakinan dan kekuatan moral yang membuat seluruh dunia tercengang.

Itu cerita tentang Afrika Selatan. Tidak mudah berjalan mengikuti jejak Afrika Selatan yang sudah menjadi sejarah; sejarah peradaban bangsa, sejarah yang menunjukkan keluhuran budi manusia. Seperti dikatakan Cicero (106-43 SM), filsuf Romawi Kuno, historia vitae magistra et testis temporarum, sejarah itu guru kehidupan dan saksi dari zaman.

Maukah kita belajar dari sejarah, entah itu sejarah bangsa kita sendiri ataupun bangsa lain? Kata Shimon Peres (Star-up Nation-The Story of Israel's Economic Miracles, 2011), orang lebih suka mengingat ketimbang berimajinasi. Ingatan mengurusi hal-hal yang dikenal baik; sementara imajinasi menyangkut hal-hal yang tidak dikenal. Imajinasi dapat menakutkan. Imajinasi menuntut risiko meninggalkan hal yang telah dikenal.

Berimajinasi memaafkan mereka yang bersalah dan dianggap bersalah, membutuhkan keberanian besar. Afrika Selatan sudah melakukannya. Mereka tak hanya mengingat tragedi apartheid, bencana kemanusiaan yang pernah mereka alami, tetapi juga berani berimajinasi membangun sebuah negara, menjadi sebuah bangsa yang hidup berdampingan secara damai, saling memaafkan, dan melangkah ke depan. Imajinasi itu diwujudkan.

Mewujudkan keberanian untuk memaafkan itu menuntut keseluruhan diri manusia, tidak ada yang boleh tersisa. Diperlukan sebuah totalitas, dibutuhkan kerja keras, dari kepedihan mengalami degradasi kemanusiaan, dari manusia yang pembenci menjadi manusia yang penuh maaf sehingga kemanusiaannya menjadi utuh kembali. Inilah yang disebut metanoia-perubahan radikal yang disusul dengan tindakan yang setara-yang terjadi dalam sikap dan tindakan batin manusia sebagai jawaban terhadap karya-karya Ilahi (Witdarmono, Aku Anak Bumi-ku, Biografi Spiritual Yohanes Paulus II, 2015).

Barangkali, apa yang disebut sebagai "revolusi mental" harus dimasukkan dalam konteks ini, konteks metanoia. Artinya, tidak hanya sekadar diucapkan, diteriakkan, ditulis dengan huruf besar-besar, tetapi benar-benar dilaksanakan dengan penuh kesungguhan hati, pikiran, dan tindakan karena yang dibutuhkan adalah man of action. Tanpa adanya metanoia-sebuah perubahan radikal-tak mungkin revolusi mental itu terwujud. Demikian pula, tanpa adanya metanoia, tak mungkin semangat memaafkan akan muncul, lahir, berkembang, dan berbuah seperti yang dilakukan rakyat, bangsa Afrika Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar