Masalah Krusial Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Em) Universitas Padjadjaran
dan
Universitas Pasundan, Bandung
|
KORAN
SINDO, 06 Oktober 2015
Perjuangan
memberantas korupsi di Tanah Air telah terjadi sejak 1950-an, dilanjutkan
pada 1970-an dengan UU RI Nomor 3 Tahun 1971, diganti pada 1990-an dengan
memberlakukan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 menguatkan pembuktian terbalik,
tetapi terbatas (limited reversal of burden of proof).
Kemudian
aturan tersebut diperbaharui dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dengan menambah
ketentuan gratifikasi dan gugatan perdata atas harta kekayaan terdakwa/
terpidana yang diduga masih ada dan terkait tindak pidana korupsi dan
perintah pembentukan KPK. Penguatan pemberantasan korupsi mulai sarana
perundang-undangan sampai pada penganggaran dan pembentukan organisasi baru
dalam sistem peradilan pidana di luar konstitusi.
Contohnya KPK
dan struktur organisasi baru di instansi penegak hukum seperti unit-unit
Tipikor di Bareskrim Polri, Satgasus di Kejaksaan Agung; serta diperkuat
lembaga pengadilan khusus untuk perkara tindak pidana korupsi.
Penguatan-penguatan tersebut terjadi terutama sejak era reformasi 1998
lampau. Hibah asing sejak saat itu mengalir deras ke instansi penegak hukum
terutama KPK mencapai jutaan dolar ditambah sumber pendanaan dari APBN
semuanya tertuang dalam bentuk proyek-proyek dan kegiatan kerja sama dengan
organisasi dalam dan asing.
Dalam konteks
ini berbagai LSM yang beraktivitas dalam kegiatan tersebut tidak luput
kecipratan dana-dana tersebut. ICW tampaknya meraih banyak bantuan donor
mencapai hampir Rp100 miliar sejak 2006 hingga 2013. Kedatangan ahli-ahli
asing tidak terhitung jumlahnya dengan frekuensi kedatangan yang sangat
intensif dengan tujuan turut membantu membebaskan Indonesia dari penyakit KKN
dengan satu tujuan untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan karena
korupsi.
Bukan main
idealisme yang terselip di balik semua proyek dan kegiatan termasuk bantuan
asing tersebut. Jika dihitung saja sejak era reformasi 1998, telah tumpah
ruah dana APBN dan hibah asing mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, tanpa
terasa bahwa keberhasilannya (output) sebatas kuantitas perkara setiap tahun yang
cenderung meningkat dengan efek jera yang masih dalam perdebatan serta nilai
signifikan pengembalian kerugian keuangan negara yang masih diragukan
kebenarannya.
Fakta
menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat di bawah Malaysia,
Singapura, dan Hong Kong, juga Vietnam dan Filipina. Outcome dalam bentuk
dampak dan manfaat pemberantasan korupsi sampai hari ini belum jelas karena
indikator kinerja penegakan hukum (IPH) sampai saat ini di KPK saja belum
digunakan sehingga menjadi pertanyaan apakah keberhasilan kinerja dapat
dicapai atau diklaim tanpa IPH tersebut?
Pengembalian
kerugian keuangan negara yang merupakan tujuan utama pemberantasan korupsi
pascapemberlakuan UURI Nomor 31 Tahun 1999 sering diabaikan karena telah
terjadi “overvalued“ dalam proses penangkapan, penahanan, dan penghukuman
tersangka/ terdakwa korupsi. Dengan begitu, parameter keberhasilan nyata
(riil) tidak mempertimbangkan “cost and benefit ratio “(CBR), melainkan
berdasarkan polling yang sering menyesatkan.
Polling untuk
mengukur keberhasilan kinerja penegakan hukum pada umumnya dan khusus pemberantasan
korupsi masih diragukan validitasnya apalagi digunakan responden dengan
pedoman kuesioner yang bersifat tertutup. Polling juga tidak tepat untuk
tujuan keberhasilan (output) dan dampak (outcome) pemberantasan korupsi yaitu
pengembalian kerugian keuangan negara secara riil dan terbangunnya “mindset“
antikorupsi pada penyelenggara negara; begitu pula tidak cukup dengan hanya
proyek “pakta integritas” dan “pulau-pulau integritas” karena diselimuti
pencitraan belaka tanpa wujud nyata dan terukur.
Kini dan ke
depan sudah saatnyapemberantasankorupsi yang dimotori oleh KPK dengan
koordinasi dan supervisi dan fungsi trigger mechanism serta proses
“take-over“ menghentikan gaya kepemimpinan pencitraan dan rasajemawa.
karenasemuasikap itu tidak bermakna secara signifikan di hadapan jutaan
rakyat khususnya pada golongan menengah (intelektual).
Gaya
kepemimpinan KPK ke depan harus seperti “padi merunduk” dan paham tatakrama
pergaulan sesama anak bangsa khusus dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Pidato-pidato Presiden Joko Widodo menanggapi “kegaduhan” dalam penegakan
hukum seharusnya dipahami bukan sebagai bentuk antipati terhadap penegakan
hukum, melainkan seharusnya dipahami sebagai sinyal gestur gaya kepemimpinan
Jawa yang berpedoman pada prinsip kehidupan: “sepi ing pamrih rame ing gawe
“dan prinsip hidup orang Sunda, “handap asor“, serta “silih asah, asuh, dan
asih“.
Jika pedoman
hidup itu saja diamalkan, tentu akan membawa kemaslahatan dalam niat bersama
kita memberantas korupsi tanpa harus membuat “air kolam ikan menjadi keruh
dan kotor” karena pedoman hidup tersebut adalah bagian dari budaya bangsa
Indonesia. Pemberantasan korupsi tidak perlu dengan gaya “koboi”, cukup
dengan gaya “supir sado” saja; alon-alon asal kelakon ; tidak juga perlu
terburu-buru dengan jargon “the big
fish“ yang tidak sehat karena mencerminkan diskriminasi perlakuan hukum
dalam tatanan hidup berdemokrasi.
Aspirasi 250
juta rakyat tentunya bukan monopoli KPK sendirian, melainkan juga menjadi “sense of belonging“ seluruh aparatur
hukum termasuk para hakim. Begitu juga aspirasi keadilan jangan hanya dilihat
dari kaca mata kepentingan 250 juta rakyat, melainkan juga harus
dipertimbangkan rasa keadilan tersangka/terdakwa ketika harus terpaksa
“dipisahkan” dari anak dan istrinya.
Janganlah
karena perlakuan yang melanggar hukum, status tersangka/terdakwa berubah
menjadi “korban” perlakuan negara yang tidak luput dari kekeliruan sehingga
merupakan “abuse of power“ dan “miscarriage of justice“. Ada
manfaatnya sekiranya setiap aparatur hukum sebelum memulai bekerja secara
bersama-sama dipimpin oleh atasannya berdoa kepada Tuhan YME agar diberi
kekuatan dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.
Cara ini baik
untuk introspeksi diri bahwa penyidik, penuntut, dan hakim serta birokrasi
hanyalah pemegang amanah untuk bekerja secara profesional dan akuntabel baik
terhadap diri sendiri, tersangka, dan keluarganya serta masyarakat luas
terutama kepada Tuhan Maha Pencipta alam semesta. KPK jilid III sejak Plt
pimpinan KPK telah kembali ke khitah dan amanat UU KPK yang mungkin kurang
disukai oleh penggiat antikorupsi yang menyukai kebebasan tanpa batas dalam keterbukaan
terkait penegakan hukum daripada sunyi senyap yang sering dianggap tidak
bekerja.
Perjalanan
pemberantasan korupsi oleh KPK dengan fungsi korsup dan “trigger mechanism“
perlu dievaluasi secara benar dengan standar evaluasi yang tepercaya di bawah
koordinasi Kantor Kemenpan karena telah mencapai usia selama kurang lebih dua
belas tahun untuk menilai keberhasilan dalam artian riil dan komprehensif
sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan UU KPK, termasuk strategi
pencegahan dan penindakan serta pemantauan K/L.
KPK kini dan
ke depan perlu menguatkan dan meningkatkan fungsi koordinasi dan supervisi
dalam pencegahan untuk tujuan membangun sistem integritas nasional yang kokoh
sehingga diharapkan dapat mengurangi KKN dan menekan kuantitas dan kualitas
korupsi secara signifikan.
Outcome KPK
yang efektif, efisien, proporsional dan akuntabel yang diharapkan adalah, (1)
optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara, (2) perubahan mindset
efek jera fisik kepada finansial dan sosial, (3) berkurangnya laporan
pengaduan masyarakat, (4) menurun signifikan jumlah perkara korupsi.
Outcome
tersebut diharapkan hanya akan berhasil dicapai jika kesadaran nasional dalam
pemberantasan KKN telah merata kepada seluruh elemen birokrasi pada ketiga
pilar kekuasaan, dan begitu juga pada pilar “civil society“ sehingga kita tidak perlu bertanya lagi “who control the controller?”.
Last but not
least, mutlak diperlukan perubahan atas UU KPK untuk
menguatkan fungsi dan peranan koordinasi dan supervisi KPK dalam strategi pencegahan dibandingkan dengan fungsi penindakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar