Selasa, 13 Oktober 2015

Masalah Krusial Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Masalah Krusial Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Romli Atmasasmita ;   Guru Besar (Em) Universitas Padjadjaran dan
Universitas Pasundan, Bandung
                                                  KORAN SINDO, 06 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perjuangan memberantas korupsi di Tanah Air telah terjadi sejak 1950-an, dilanjutkan pada 1970-an dengan UU RI Nomor 3 Tahun 1971, diganti pada 1990-an dengan memberlakukan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 menguatkan pembuktian terbalik, tetapi terbatas (limited reversal of burden of proof).

Kemudian aturan tersebut diperbaharui dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dengan menambah ketentuan gratifikasi dan gugatan perdata atas harta kekayaan terdakwa/ terpidana yang diduga masih ada dan terkait tindak pidana korupsi dan perintah pembentukan KPK. Penguatan pemberantasan korupsi mulai sarana perundang-undangan sampai pada penganggaran dan pembentukan organisasi baru dalam sistem peradilan pidana di luar konstitusi.

Contohnya KPK dan struktur organisasi baru di instansi penegak hukum seperti unit-unit Tipikor di Bareskrim Polri, Satgasus di Kejaksaan Agung; serta diperkuat lembaga pengadilan khusus untuk perkara tindak pidana korupsi. Penguatan-penguatan tersebut terjadi terutama sejak era reformasi 1998 lampau. Hibah asing sejak saat itu mengalir deras ke instansi penegak hukum terutama KPK mencapai jutaan dolar ditambah sumber pendanaan dari APBN semuanya tertuang dalam bentuk proyek-proyek dan kegiatan kerja sama dengan organisasi dalam dan asing.

Dalam konteks ini berbagai LSM yang beraktivitas dalam kegiatan tersebut tidak luput kecipratan dana-dana tersebut. ICW tampaknya meraih banyak bantuan donor mencapai hampir Rp100 miliar sejak 2006 hingga 2013. Kedatangan ahli-ahli asing tidak terhitung jumlahnya dengan frekuensi kedatangan yang sangat intensif dengan tujuan turut membantu membebaskan Indonesia dari penyakit KKN dengan satu tujuan untuk membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan karena korupsi.

Bukan main idealisme yang terselip di balik semua proyek dan kegiatan termasuk bantuan asing tersebut. Jika dihitung saja sejak era reformasi 1998, telah tumpah ruah dana APBN dan hibah asing mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, tanpa terasa bahwa keberhasilannya (output) sebatas kuantitas perkara setiap tahun yang cenderung meningkat dengan efek jera yang masih dalam perdebatan serta nilai signifikan pengembalian kerugian keuangan negara yang masih diragukan kebenarannya.

Fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat di bawah Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, juga Vietnam dan Filipina. Outcome dalam bentuk dampak dan manfaat pemberantasan korupsi sampai hari ini belum jelas karena indikator kinerja penegakan hukum (IPH) sampai saat ini di KPK saja belum digunakan sehingga menjadi pertanyaan apakah keberhasilan kinerja dapat dicapai atau diklaim tanpa IPH tersebut?

Pengembalian kerugian keuangan negara yang merupakan tujuan utama pemberantasan korupsi pascapemberlakuan UURI Nomor 31 Tahun 1999 sering diabaikan karena telah terjadi “overvalued“ dalam proses penangkapan, penahanan, dan penghukuman tersangka/ terdakwa korupsi. Dengan begitu, parameter keberhasilan nyata (riil) tidak mempertimbangkan “cost and benefit ratio “(CBR), melainkan berdasarkan polling yang sering menyesatkan.

Polling untuk mengukur keberhasilan kinerja penegakan hukum pada umumnya dan khusus pemberantasan korupsi masih diragukan validitasnya apalagi digunakan responden dengan pedoman kuesioner yang bersifat tertutup. Polling juga tidak tepat untuk tujuan keberhasilan (output) dan dampak (outcome) pemberantasan korupsi yaitu pengembalian kerugian keuangan negara secara riil dan terbangunnya “mindset“ antikorupsi pada penyelenggara negara; begitu pula tidak cukup dengan hanya proyek “pakta integritas” dan “pulau-pulau integritas” karena diselimuti pencitraan belaka tanpa wujud nyata dan terukur.

Kini dan ke depan sudah saatnyapemberantasankorupsi yang dimotori oleh KPK dengan koordinasi dan supervisi dan fungsi trigger mechanism serta proses “take-over“ menghentikan gaya kepemimpinan pencitraan dan rasajemawa. karenasemuasikap itu tidak bermakna secara signifikan di hadapan jutaan rakyat khususnya pada golongan menengah (intelektual).

Gaya kepemimpinan KPK ke depan harus seperti “padi merunduk” dan paham tatakrama pergaulan sesama anak bangsa khusus dengan lembaga penegak hukum lainnya. Pidato-pidato Presiden Joko Widodo menanggapi “kegaduhan” dalam penegakan hukum seharusnya dipahami bukan sebagai bentuk antipati terhadap penegakan hukum, melainkan seharusnya dipahami sebagai sinyal gestur gaya kepemimpinan Jawa yang berpedoman pada prinsip kehidupan: “sepi ing pamrih rame ing gawe “dan prinsip hidup orang Sunda, “handap asor“, serta “silih asah, asuh, dan asih“.

Jika pedoman hidup itu saja diamalkan, tentu akan membawa kemaslahatan dalam niat bersama kita memberantas korupsi tanpa harus membuat “air kolam ikan menjadi keruh dan kotor” karena pedoman hidup tersebut adalah bagian dari budaya bangsa Indonesia. Pemberantasan korupsi tidak perlu dengan gaya “koboi”, cukup dengan gaya “supir sado” saja; alon-alon asal kelakon ; tidak juga perlu terburu-buru dengan jargon “the big fish“ yang tidak sehat karena mencerminkan diskriminasi perlakuan hukum dalam tatanan hidup berdemokrasi.

Aspirasi 250 juta rakyat tentunya bukan monopoli KPK sendirian, melainkan juga menjadi “sense of belonging“ seluruh aparatur hukum termasuk para hakim. Begitu juga aspirasi keadilan jangan hanya dilihat dari kaca mata kepentingan 250 juta rakyat, melainkan juga harus dipertimbangkan rasa keadilan tersangka/terdakwa ketika harus terpaksa “dipisahkan” dari anak dan istrinya.

Janganlah karena perlakuan yang melanggar hukum, status tersangka/terdakwa berubah menjadi “korban” perlakuan negara yang tidak luput dari kekeliruan sehingga merupakan “abuse of power“ dan “miscarriage of justice“. Ada manfaatnya sekiranya setiap aparatur hukum sebelum memulai bekerja secara bersama-sama dipimpin oleh atasannya berdoa kepada Tuhan YME agar diberi kekuatan dan perlindungan dalam menjalankan tugasnya.

Cara ini baik untuk introspeksi diri bahwa penyidik, penuntut, dan hakim serta birokrasi hanyalah pemegang amanah untuk bekerja secara profesional dan akuntabel baik terhadap diri sendiri, tersangka, dan keluarganya serta masyarakat luas terutama kepada Tuhan Maha Pencipta alam semesta. KPK jilid III sejak Plt pimpinan KPK telah kembali ke khitah dan amanat UU KPK yang mungkin kurang disukai oleh penggiat antikorupsi yang menyukai kebebasan tanpa batas dalam keterbukaan terkait penegakan hukum daripada sunyi senyap yang sering dianggap tidak bekerja.

Perjalanan pemberantasan korupsi oleh KPK dengan fungsi korsup dan “trigger mechanism“ perlu dievaluasi secara benar dengan standar evaluasi yang tepercaya di bawah koordinasi Kantor Kemenpan karena telah mencapai usia selama kurang lebih dua belas tahun untuk menilai keberhasilan dalam artian riil dan komprehensif sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan UU KPK, termasuk strategi pencegahan dan penindakan serta pemantauan K/L.

KPK kini dan ke depan perlu menguatkan dan meningkatkan fungsi koordinasi dan supervisi dalam pencegahan untuk tujuan membangun sistem integritas nasional yang kokoh sehingga diharapkan dapat mengurangi KKN dan menekan kuantitas dan kualitas korupsi secara signifikan.

Outcome KPK yang efektif, efisien, proporsional dan akuntabel yang diharapkan adalah, (1) optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara, (2) perubahan mindset efek jera fisik kepada finansial dan sosial, (3) berkurangnya laporan pengaduan masyarakat, (4) menurun signifikan jumlah perkara korupsi.

Outcome tersebut diharapkan hanya akan berhasil dicapai jika kesadaran nasional dalam pemberantasan KKN telah merata kepada seluruh elemen birokrasi pada ketiga pilar kekuasaan, dan begitu juga pada pilar “civil society“ sehingga kita tidak perlu bertanya lagi “who control the controller?”.

Last but not least, mutlak diperlukan perubahan atas UU KPK untuk menguatkan fungsi dan peranan koordinasi dan supervisi KPK dalam strategi pencegahan dibandingkan dengan fungsi penindakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar