Logika Ngawur RUU KPK
Hifdzil Alim ; Periset di Pukat FH UGM;
Ketua Nonlitigasi LPBH PWNU DI
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2015
Draf Rancangan
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memicu polemik yang luas
di tengah masyarakat. Terdapat beberapa rumusan pasal yang dianggap tidak
masuk akal bila disandingkan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
Tidak hanya
batang tubuh, dalam konsideran filosofinya juga tak luput mengirim perdebatan
yang akut. Rumusan konsideran huruf c—yang ditulis sesuai dengan
draf—menyebutkan, ”bahwa keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditinjau ulang
karena penegakan hukum tidak termasuk bagian dari kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi, tetapi sebagai perwujudan kedaulatan hukum dan masuk
wilayah kekuasaan kehakiman yang harus dijaga dari pengaruh kekuasaan mana
pun”.
Tak usah dulu
membahas pasal per pasal yang kontroversial dalam RUU KPK, pada kalimat
pertimbangannya saja belum-belum sudah mengundang kehebohan penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dari konsideran huruf c di atas dapat
digarisbawahi minimal dua hal. Pertama, eksistensi KPK perlu ditinjau ulang
karena melakukan pemberantasan korupsi.
Kedua,
pemberantasan korupsi tidak masuk wilayah kerja KPK, melainkan kekuasaan
kehakiman. Mengkritisi kinerja komisi antikorupsi dalam usianya yang sudah
mencapai 13 tahun bukanlah perbuatan haram. Tetapi, meninjau ulang eksistensi
KPK atas tugas, fungsi, dan hasilnya dalam memberantas korupsi adalah sesuatu
yang mengada-ada. Persis seperti kurang kerjaan saja.
Balas Dendam?
Laporan
tahunan KPK pada 2014 mengumumkan ada 80 kasus korupsi yang dilidik dan
disidik. Sebanyak 77 kasus sudah dilakukan penuntutan dan 40 kasus telah
berkekuatan hukum tetap. Selain itu, 48 kasus juga berhasil dieksekusi
pascainkracht. KPK juga berhasil memeriksa empat anggota Dewan, sembilan orang
kepala lembaga/kementerian, dua gubernur, dua belas orang bupati/wali kota,
serta dua orang hakim.
Komisi
antirasuah juga berhasil membangun koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan
dan kepolisian. Ada total 911 kasus yang berhasil dikerjasamakan dengan korps
adyaksa serta 273 kasus dengan korps baju cokelat. Hal ini pencapaian yang
nyata dari improvisasi yang diperintahkan oleh undang-undang agar KPK
menjalin kerja sama yang erat dengan penegak hukum lain.
Lalu, di mana
posisi peninjauan ulang terhadap kelembagaan KPK yang disebutkan oleh draf
RUU KPK? Kecuali jika DPR ingin balas dendam ke KPK melalui jalur legislasi.
Sangkaan ini tak berlebihan, mengingat sudah ada juga banyak potensi anggota
DPR yang digelandang Komisi Pemberantas Korupsi ke kursi pesakitan.
Soal ”serangan
balik” ke KPK, tercatat tidak hanya belakangan ini saja gencar dilakukan.
Bolak-balik lembaga antikorupsi menerima hantaman. Jika masih ingat, pembubaran KPK sudah
pernah diwacanakan oleh DPR pada periode 2004-2009. DPR juga sempat menolak
pengajuan anggaran untuk pemberantasan korupsi dan pembangunan gedung baru
KPK dalam RAPBN 2009.
Tidak hanya dari DPR, pemerintah periode
sebelumnya juga pernah mengusulkan penyadapan terduga korupsi sebaiknya
diatur dalam rancangan peraturan pemerintah. Padahal, aturan tentang
penyadapan sudah jelas diatur dalam undang-undang. Kenapa pula harus
diturunkan ke peraturan yang lebih rendah bila kemudian bertentangan? DPR
juga sempat mengamini usulan ini.
Pendek kata,
tidak ada logika selain keanehan untuk meninjau keberadaan KPK saat ini. Saat
lembaga penegak hukum lain sedang mulai meniti efektivitas pemberantasan
korupsi, semestinya eksistensi KPK didukung untuk terus menunjang lembaga
penegakan hukum antikorupsi, bukan malah mengebirinya.
Keanehan Tak Terstruktur
Logika kedua
yang dipakai oleh DPR untuk mengubah UU KPK adalah logika pemberantasan
korupsi bukan bagian dari kerja KPK, tetapi kerja kekuasaan kehakiman. Arti asumsi ini adalah kekuasaan kehakimanlah yang berhak
melakukan pemberantasan korupsi. Apakah demikian adanya? Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Apabila
menganut konstitusi, dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Jika mengacu ke UUD 1945, lembaga yang
melaksanakan kerja kekuasaan kehakiman hanya ada enam yakni MA, Pengadilan
Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan
MK. Karena itu, KPK tidak berhak melakukan pemberantasan korupsi yang menjadi
bagian dari penegakan hukum sebagai domain dari kekuasaan kehakiman.
Dengan logika yang sama, kepolisian tidak boleh
melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaan juga tidak
berhak menuntut kasus korupsi sebab penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
bagian dari pemberantasan korupsi di mana tindakan tersebut bagian dari kerja
kekuasaan kehakiman.
Selain itu,
kepolisian dan kejaksaan juga tidak masuk dalam kerangka Pasal 24 ayat (2)
UUD 1945. Masih dengan logika yang sama, seharusnya MA, Pengadilan Umum,
Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, serta
MK-lah yang mesti melakukan pemberantasan korupsi, bukan KPK, kepolisian,
apalagi kejaksaan.
Pilihan yang
rumit apabila mengikuti logika konsideran menimbang huruf c draf RUU KPK.
Sebuah keanehan yang tidak terstruktur dalam lingkup penegakan hukum. Mungkin
bukan logika seperti di atas yang ingin dibangun oleh DPR meski tetap sebagai
logika yang ngawur tetapi logika bahwa KPK tidak berhak melakukan
pemberantasan korupsi. KPK hanya berhak melakukan pencegahan.
Katakanlah
jika benar logika demikian yang diinginkan, tentunya akan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan masih
menempatkan Ketetapan MPR sebagai produk hukum di bawah UUD 1945 dan di atas
undang-undang/perppu.
TAP MPR Nomor
VIII/MPRRI/ 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berisi perintah agar dilakukan
penindakan hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi.
Secara implisit TAP MPR—dan masih diberlakukan sampai sekarang menjadi dasar
hukum bagi KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
Karena itu, logika yang mengeluarkan (exclude)
KPK, kepolisian, dan kejaksaan dari tugas dan kewenangan pemberantasan
korupsi sebagai bagian dari penegakan hukum adalah keliru besar. Dengan dua
logika ngawur tersebut, draf RUU KPK sudah cacat materiil sejak
penyusunannya. Draf RUU bertentangan dengan TAP MPR.
Supaya tidak
terjerumus semakin dalam pada kekeliruan penyusunan undang-undang, alangkah
lebih baik jika DPR mau mencabut usulan revisi UU KPK itu. Perlu ada
perbaikan yang maksimal apabila ingin benar-benar membantu upaya
pemberantasan korupsi. Kekeliruan tidak hanya di batang tubuh RUU, melainkan
sudah dimulai sejak konsiderannya.
Begitu juga Presiden Joko Widodo harus bertindak aktif untuk
mencabut RUU KPK agar tidak ada syak wasangka bahwa pemerintah saat ini
sedang mengalihkan getah draf revisi UU KPK ke Senayan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar