Selasa, 13 Oktober 2015

Jangan Bunuh KPK

Jangan Bunuh KPK

Aradila Caesar Ifmaini Idris  ;   Peneliti Hukum ICW
                                                  KORAN SINDO, 10 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Usulan revisi UU KPK kembali mencuat ke permukaan. Setelah beberapa waktu lalu usulan ini ditolak Presiden Jokowi karena dirasa belum dibutuhkan. Kini usulan itu gencar disuarakan oleh anggota DPR.

DPR beralasan hal ini penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. Ide penguatan KPK tentu sejalan dengan aspirasi setiap rakyat Indonesia yang menginginkan KPK kuat. Sayangnya, ide penguatan KPK tak dibarengi logika yang sejalan dengan hasil rumusan RUU KPK. Masih banyak substansi atau materi muatan RUU KPK yang tak mencerminkan semangat penguatan.

RUU KPK seolah memberikan gambaran bahwa ada persolan serius yang tak dipahami DPR soal ide penguatan. Ataukah, DPR menggunakan perspektif yang berbeda? Sulit rasanya mengamini logika penguatan KPK jika melihat substansi dalam RUU tersebut. Alih-alih memperkuat KPK pada kenyataannya rumusan pasal dalam RUU KPK seperti mencoba membunuh KPK secara perlahan.

Dalam temuan ICW setidaknya persoalan dalam RUU KPK dapat dikelompokkan dalam tiga persoalan besar. Di antaranya persoalan eksistensi KPK, kewenangan penegakan hukum KPK, dan soal kelembagaan. Eksistensi KPK menjadi persoalan yang paling fundamental. Keberadaan lembaga ini sepertinya coba dimatikan secara perlahan. RUU hanya membatasi usia KPK selama 12 tahun sejak RUU disahkan.

Artinya, setelah 12 tahun KPK hanya akan menjadi catatan sejarah karena bubar dengan sendirinya. Pertanyaan yang perlu diperhatikan, mengapa dibatasi selama 12 tahun? Apakah dalam 12 tahun ada jaminan Indonesia bebas dari korupsi? Sebagai perbandingan untuk jawaban itu perlu kiranya merujuk pada praktik negara lain. Hong Kong memiliki ICAC yang dibentuk pada 1974.

Pembentukan ICAC merupakan upaya Hong Kong untuk menyelesaikan persoalan korupsi yang sangat kronis kala itu. Berkat ICAC kini Hong Kong menjadi salah satu negara paling bersih di Asia. Keberhasilan itu tak serta-merta Hong Kong membubarkan ICAC. ICAC masih berdiri kokoh dan terus menjalankan mandat pemberantasan korupsi.

Keberadaan lembaga antikorupsi tetap diperlukan meski negara telah bebas dari korupsi. Hal ini juga merupakan amanah United Nation Contion Against Corruption (UNCAC) PBB yang sudah diratifikasi Indonesia. Dalam Pasal 6 disebutkan setiap negara dengan memperhatikan sistem hukumnya harus memastikan keberadaan sebuah lembaga yang secara khusus berkaitan dengan urusan pemberantasan korupsi, dalam hal ini KPK. Penghapusan KPK merupakan pilihan paling tak logis dan tak berdasar jika pemberantasan korupsi merupakan agenda prioritas nasional.

Penegakan Hukum

RUU KPK seolah ingin memisahkan penegakan hukum bukan bagian dari pemberantasan korupsi. Baik dalam konsideran maupun substansi RUU jelas memperlihatkan hal tersebut. Dalam ketentuan umum definisi antara pemberantasan korupsi dan penegakan hukum bahkan dipisah.

Penegakan hukum yang KPK lakukan selama ini bukanlah merupakan upaya pemberantasan korupsi dalam RUU KPK. Tentu hal ini berimplikasi besar pada tugas dan kewenangan KPK. Dengan memisahkan dua hal tersebut, pembentuk UU menginginkan KPK lebih banyak fokus pada pencegahan.

Logika ini berbanding terbalik dari logika pembentukan KPK. Salah satu alasan lahirnya KPK adalah ketidakefektifan institusi penegak hukum lain dalam memberantas korupsi. Kewenangan penegakan hukum KPK melalui penindakan masih sangat dibutuhkan. ICW mencatat sejak 2010 baik kepolisian dan kejaksaan masih memiliki ribuan tunggakan kasus korupsi yang tak tuntas (lihat Tren Korupsi ICW).

Mereduksi fungsi penegakan hukum KPK juga dilakukan dalam ketentuan penuntutan KPK. RUU secara tegas menyatakan penuntut umum adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan Agung, bukan pada institusi KPK. Implikasinya proses penuntutan hanya dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang bertugas di institusi kejaksaan. Berbeda dengan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK di mana penuntut umum adalah jaksa yang bertugas di KPK sehingga kewenangan penuntutan dipegang oleh penuntut umum KPK.

Proses penuntutan yang dilakukan kejaksaan akhirnya akan menimbulkan persoalan birokrasi yang berbelit-belit. Kewenangan penegakan hukum KPK yang berada dalam satu atap justru lebih efektif. Sistem ini meminimalisasi bolak- balik perkara antara penyidik dan penuntut umum.

Selain itu, sistem penuntutan yang tak satu atap juga memunculkan peluang penghentian perkara oleh kejaksaan. Selain hal tersebut, yang perlu diperhatikan adalah rapor penuntutan di kejaksaan. Tren Vonis ICW 2014-2015 sedikitnya mencatat ada 86 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas pengadilan tipikor. Artinya, penuntut umum gagal membuktikan bahwa terdakwa bersalah dalam dugaan kasus korupsi. Hal ini berbanding terbalik dengan KPK yang memiliki 100% conviction rate.

Kelembagaan KPK

Kelembagaan KPK pun tak luput dari upaya pelemahan. Upaya ini seakan melengkapi berbagai upaya pelemahan dalam RUU. Dalam susunan kelembagaan KPK versi RUU, penasihat KPK dihilangkan dan diganti dengan dewan eksekutif. Jika dilihat lebih jauh, ada dua persoalan besar dari kehadiran dewan eksekutif.

Pertama, persoalan seleksi dewan eksekutif. RUU mengamanatkan pemilihan dewan eksekutif dilakukan laiknya pemilihan calon komisioner KPK. Ada tahapan seleksi yang harus diikuti hingga terpilih anggota dewan eksekutif. Proses yang demikian tentu akan menghabiskan anggaran yang dapat dialokasikan untuk keperluan KPK lainnya. Di samping akan memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan.

Proses pemilihan diakhiri dengan dipilihnya anggota dewan eksekutif oleh Presiden. Dewan eksekutif dalam hal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Karena dipilih oleh Presiden, artinya dewan eksekutif juga bertanggung jawab pada Presiden. Ketentuan ini tentu akan mengganggu independensi KPK sebagai lembaga yang juga mengawasi kekuasaan eksekutif.

Kedua, tugas dan wewenang dewan eksekutif sedikit-banyak tumpang tindih dengan kewenangan komisioner KPK. Persoalan ini akan menimbulkan masalah serius di keorganisasian KPK. KPK sebagai organisasi yang terus tumbuh juga dibonsai dengan membatasi rekrutmen pegawai secara mandiri. RUU KPK mengamanatkan pegawai KPK merupakan PNS pada kepolisian, kejaksaan, BPK, dan Kementerian Informasi.

Ketentuan ini menutup celah bagi KPK untuk merekrut orang-orang yang memiliki kualifikasi baik untuk bergabung dengan KPK. Dengan berbagai persoalan dalam RUU KPK, tidak salah rasanya jika menilai semangat RUU KPK ini adalah melemahkan KPK. RUU KPK ini dapat dinilai sebagai upaya pembunuhan berencana pada kerja-kerja KPK dan pemberantasan korupsi. Sudah sewajarnya pemerintah menolak dan menarik dukungan atas rencana pembahasan UU KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar