KPK Tak Boleh Dibubarkan
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana, Kupang Surabaya
|
JAWA
POS, 09 Oktober 2015
KORUPSI merupakan bentuk
kejahatan yang menghambat hak masyarakat untuk merasakan kesejahteraan.
Karena itu, parlemen memiliki peran strategis dalam pemberantasan korupsi.
Begitu pidato Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat terpilih sebagai presiden Global Organization of Parliamentarians
Against Corruption (GOPAC) di Jogjakarta pada Kamis (8/10). Fadli
dipercaya oleh seluruh delegasi yang hadir untuk menempati posisi presiden
GOPAC periode 2015– 2018, menggantikan Ricardo Garcia Cervantes dari Meksiko.
Namun, pidato tersebut terancam
jadi pepesan kosong karena dalam waktu yang nyaris bersamaan, yakni mulai
Selasa lalu (6/10), DPR justru mengajukan rancangan revisi UU Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Rancangan itu terdiri atas 73 pasal dan 12 bab.
Pasal 5 menyebutkan, KPK dibentuk untuk masa 12 tahun sejak diundangkan.
Artinya, KPK akan dibubarkan setelah 12 tahun.
Draf revisi lainnya menyangkut
jumlah kerugian negara. Pasal 13 huruf (b) menyebutkan, KPK hanya menangani
kasus korupsi yang dalam tahap penyidikan ditemukan kerugian negara minimal
Rp 50 miliar. Sebelumnya, jumlah minimal kerugian negara Rp 1 miliar. Menurut
pasal 13 huruf (c), jika kerugian negara kurang dari Rp 50 miliar, kasus
diserahkan ke kepolisian atau kejaksaan.
Draf revisi lainnya ada dalam pasal
14 huruf (a). Penyadapan oleh KPK dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan
yang cukup dengan seizin ketua pengadilan negeri. Aturan itu makin merumitkan
kerja KPK. Terlebih, bagaimana jika ketua pengadilan negerinya justru
terlibat korupsi? Jika penyadapan dimutilasi, KPK tak bisa lagi melakukan
operasi tangkap tangan (OTT).
Makin Melembaga
Belajar dari pengalaman
sebelumnya, KPK kini tak hanya berhadapan dengan resistansi kelompok sporadis
yang terkait dengan kasus yang sedang ditanganinya. Tapi juga harus
berhadapan dengan resistansi kekuatan politik, ekonomi, sosial, maupun
lembaga penegak hukum konvensional. Termasuk kelompok kepentingan (predatory interest).
Itu menunjukkan bahwa korupsi
di Indonesia semakin melembaga dan membudaya. Dengan demikian, kekuatan
institusional dan kultural korupsi tak bisa dilawan hanya dengan strategi
penindakan atau pemberantasan yang bersifat terbatas dalam memberikan efek
edukasi dan titik jera. Sebab, menurut Sandholtz dan Koetzle (2000),
bertambahnya frekuensi penangkapan koruptor di sisi lain justru menstimulasi
calon-calon koruptor yang berfulus banyak dan memiliki jaringan berlapis
untuk ikut melakukan korupsi.
Terkait dengan itu, studi yang
dilakukan Fisman dan Miguel (dalam Pramusinto, 2009) terhadap diplomat dari
149 negara untuk mencari tahu hubungan budaya dan perilaku korupsi di New
York City menyebutkan, diplomat dari negara yang angka korupsinya tinggi
cenderung melanggar parkir ketimbang diplomat dari negara yang tingkat
korupsinya rendah. Artinya, tradisi nilai korupsi di sebuah negara menentukan
perilakunya ketika ada di sebuah wilayah baru.
Perkuat Program
Karena itu, aktor, sistem, dan
desain program antikorupsi yang bersih, transparan, serta efektif menyasar
target potensial korupsi di berbagai ranah harus menjadi kesatuan formasi KPK
yang baru kelak. Nafsu menangkap koruptor juga harus diikuti dengan keampuhan
memproyeksikan nilai-nilai antikorupsi (kejujuran, sensitivitas, solidaritas,
transparansi, dan akuntabilitas) ke dalam tubuh lembaga negara serta
kemasyarakatan sebagai basis untuk memperkuat resistansi terhadap virus
korupsi. Misalnya, KPK perlu terus menginisiatori secara serius program
sekolah antikorupsi dan kantin kejujuran dari jenjang pendidikan terendah
sampai tertinggi.
Selain itu, format edukasi
masyarakat melalui kegiatan seni budaya seperti yang dilakukan di Kenya,
Maroko, maupun Bangladesh perlu diinisiatori oleh KPK. Di Kenya, lembaga
antikorupsi bersanding dengan lembaga lain menyelenggarakan pertunjukan
boneka dan musikalisasi untuk menginspirasi perlawanan sosial terhadap
berbagai praktik korupsi uang negara. Di Maroko, bekerja sama dengan seniman
lokal, lembaga Transparancy International menyelenggarakan kegiatan kesenian
yang bertema antikorupsi dalam pengelolaan rumah sakit, pemilu, maupun
administrasi pemerintahan. Sedangkan di Bangladesh, lembaga antikorupsi
menggandeng sejumlah kelompok teater untuk membuat visualisasi ekses korupsi
kepada kepolisian, pelayanan kesehatan, pendidikan, pengadilan, kehutanan,
dan administrasi pertanahan. Itu sudah coba dilakukan Simponi Band –yang
dibentuk pada 28 Oktober 2010– yang gemar menyampaikan kritik sosial
antikorupsi lewat pertunjukan musik dan telah manggung di berbagai negara.
Strategi kreatif itu cukup
ampuh dalam menginternalisasi nilainilai good governance ke berbagai
institusi sosial masyarakat.
Kita jelas tak setuju jika KPK
dilemahkan, apalagi dibubarkan. Namun, ke depan, jika masih ingin eksis
sebagai lembaga yang futuristis dan dipercaya publik untuk mengeliminasi
korupsi, KPK harus memerankan dirinya sebagai bagian integral elemen
demokrasi. KPK harus memiliki strategi kerja yang selaras dengan asas
desentralisasi (Arghiros, 2001; Kaiser, 2002) sebagai basis pemenuhan prinsip
demokrasi (lokal) yang substantif. Sepanjang era reformasi, KPK memang lebih
terasa menggebrak di wilayah operasi pusat (Jakarta) ketimbang di
daerah-daerah. Akibatnya, turbin konsolidasi korupsi di daerah terus
memperoleh angin surga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar