Rabu, 14 Oktober 2015

KPK Tak Boleh Dibubarkan

KPK Tak Boleh Dibubarkan

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang Surabaya
                                                      JAWA POS, 09 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KORUPSI merupakan bentuk kejahatan yang menghambat hak masyarakat untuk merasakan kesejahteraan. Karena itu, parlemen memiliki peran strategis dalam pemberantasan korupsi. Begitu pidato Wakil Ketua DPR Fadli Zon saat terpilih sebagai presiden Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) di Jogjakarta pada Kamis (8/10). Fadli dipercaya oleh seluruh delegasi yang hadir untuk menempati posisi presiden GOPAC periode 2015– 2018, menggantikan Ricardo Garcia Cervantes dari Meksiko.

Namun, pidato tersebut terancam jadi pepesan kosong karena dalam waktu yang nyaris bersamaan, yakni mulai Selasa lalu (6/10), DPR justru mengajukan rancangan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rancangan itu terdiri atas 73 pasal dan 12 bab. Pasal 5 menyebutkan, KPK dibentuk untuk masa 12 tahun sejak diundangkan. Artinya, KPK akan dibubarkan setelah 12 tahun.

Draf revisi lainnya menyangkut jumlah kerugian negara. Pasal 13 huruf (b) menyebutkan, KPK hanya menangani kasus korupsi yang dalam tahap penyidikan ditemukan kerugian negara minimal Rp 50 miliar. Sebelumnya, jumlah minimal kerugian negara Rp 1 miliar. Menurut pasal 13 huruf (c), jika kerugian negara kurang dari Rp 50 miliar, kasus diserahkan ke kepolisian atau kejaksaan.

Draf revisi lainnya ada dalam pasal 14 huruf (a). Penyadapan oleh KPK dilakukan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan seizin ketua pengadilan negeri. Aturan itu makin merumitkan kerja KPK. Terlebih, bagaimana jika ketua pengadilan negerinya justru terlibat korupsi? Jika penyadapan dimutilasi, KPK tak bisa lagi melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

Makin Melembaga

Belajar dari pengalaman sebelumnya, KPK kini tak hanya berhadapan dengan resistansi kelompok sporadis yang terkait dengan kasus yang sedang ditanganinya. Tapi juga harus berhadapan dengan resistansi kekuatan politik, ekonomi, sosial, maupun lembaga penegak hukum konvensional. Termasuk kelompok kepentingan (predatory interest).

Itu menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia semakin melembaga dan membudaya. Dengan demikian, kekuatan institusional dan kultural korupsi tak bisa dilawan hanya dengan strategi penindakan atau pemberantasan yang bersifat terbatas dalam memberikan efek edukasi dan titik jera. Sebab, menurut Sandholtz dan Koetzle (2000), bertambahnya frekuensi penangkapan koruptor di sisi lain justru menstimulasi calon-calon koruptor yang berfulus banyak dan memiliki jaringan berlapis untuk ikut melakukan korupsi.

Terkait dengan itu, studi yang dilakukan Fisman dan Miguel (dalam Pramusinto, 2009) terhadap diplomat dari 149 negara untuk mencari tahu hubungan budaya dan perilaku korupsi di New York City menyebutkan, diplomat dari negara yang angka korupsinya tinggi cenderung melanggar parkir ketimbang diplomat dari negara yang tingkat korupsinya rendah. Artinya, tradisi nilai korupsi di sebuah negara menentukan perilakunya ketika ada di sebuah wilayah baru.

Perkuat Program

Karena itu, aktor, sistem, dan desain program antikorupsi yang bersih, transparan, serta efektif menyasar target potensial korupsi di berbagai ranah harus menjadi kesatuan formasi KPK yang baru kelak. Nafsu menangkap koruptor juga harus diikuti dengan keampuhan memproyeksikan nilai-nilai antikorupsi (kejujuran, sensitivitas, solidaritas, transparansi, dan akuntabilitas) ke dalam tubuh lembaga negara serta kemasyarakatan sebagai basis untuk memperkuat resistansi terhadap virus korupsi. Misalnya, KPK perlu terus menginisiatori secara serius program sekolah antikorupsi dan kantin kejujuran dari jenjang pendidikan terendah sampai tertinggi.

Selain itu, format edukasi masyarakat melalui kegiatan seni budaya seperti yang dilakukan di Kenya, Maroko, maupun Bangladesh perlu diinisiatori oleh KPK. Di Kenya, lembaga antikorupsi bersanding dengan lembaga lain menyelenggarakan pertunjukan boneka dan musikalisasi untuk menginspirasi perlawanan sosial terhadap berbagai praktik korupsi uang negara. Di Maroko, bekerja sama dengan seniman lokal, lembaga Transparancy International menyelenggarakan kegiatan kesenian yang bertema antikorupsi dalam pengelolaan rumah sakit, pemilu, maupun administrasi pemerintahan. Sedangkan di Bangladesh, lembaga antikorupsi menggandeng sejumlah kelompok teater untuk membuat visualisasi ekses korupsi kepada kepolisian, pelayanan kesehatan, pendidikan, pengadilan, kehutanan, dan administrasi pertanahan. Itu sudah coba dilakukan Simponi Band –yang dibentuk pada 28 Oktober 2010– yang gemar menyampaikan kritik sosial antikorupsi lewat pertunjukan musik dan telah manggung di berbagai negara.
Strategi kreatif itu cukup ampuh dalam menginternalisasi nilainilai good governance ke berbagai institusi sosial masyarakat.

Kita jelas tak setuju jika KPK dilemahkan, apalagi dibubarkan. Namun, ke depan, jika masih ingin eksis sebagai lembaga yang futuristis dan dipercaya publik untuk mengeliminasi korupsi, KPK harus memerankan dirinya sebagai bagian integral elemen demokrasi. KPK harus memiliki strategi kerja yang selaras dengan asas desentralisasi (Arghiros, 2001; Kaiser, 2002) sebagai basis pemenuhan prinsip demokrasi (lokal) yang substantif. Sepanjang era reformasi, KPK memang lebih terasa menggebrak di wilayah operasi pusat (Jakarta) ketimbang di daerah-daerah. Akibatnya, turbin konsolidasi korupsi di daerah terus memperoleh angin surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar