Rabu, 14 Oktober 2015

Hijrah Satyagraha

Hijrah Satyagraha

Fathorrahman Ghufron  ;  Dosen Sosiologi Fakultas Hukum dan Syariah
UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
                                                       KOMPAS, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tercatat dalam sejarah bahwa hijrah (migrasi) yang dilakukan Nabi Muhammad adalah untuk menghindar dari tindakan barbar kaum Quraisy. Mereka setiap saat memaki, menghujat, bahkan tanpa segan menyiksa Nabi Muhammad beserta pengikutnya dengan perilaku yang otoritarian (Philip K Hitti, History of The Arabs).

Di tengah masifnya intimidasi kaum Quraisy yang menolak ajaran Nabi Muhammad SAW, pilihan yang selalu diambil oleh Nabi Muhammad adalah menyikapinya dengan kepala dingin dan sikap persuasif. Berkat kesantunan dan kelembutannya menerima kenyataan pahit, banyak orang Arab yang bersedia mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW dan terlibat di setiap perjuangan menjalankan ajaran Islam.

Kota Yatsrib yang kala itu tengah dirundung konflik antara suku Aws dan Khazraj menjadi pilihan lokasi untuk melanjutkan perjuangan dengan cara nir-kekerasan. Semangat persatuan yang dibangun Nabi Muhammad tanpa memandang latar belakang suku, ras, dan agama berhasil menjadikan kota Yatsrib sebagai wilayah yang berperadaban (tamaddun). Dalam perkembangannya, kota Yatsrib disebut sebagai Madinah yang menunjukkan adanya pijar keberadaban.

Interrelasi kemanusiaan yang disematkan Nabi Muhammad jadi raison d’etre yang melampaui sekat geografis, teologis, dan sekat tribalistik. Lambat laun, cara ini membentuk biduk peralihan asimilatif dan akulturatif antargolongan dan berpartisipasi secara proaktif dalam membangun Madinah sebagai karakteristik yang heterogen. Berbagai kelompok dengan sistem kepercayaan yang berbeda-beda tanpa segan berbaur dalam ikatan kemanusiaan untuk saling menghargai dan saling memahami.

Itulah cara Nabi Muhammad membangun konsep hijrah satyagraha (perjuangan tanpa kekerasan) yang melempengkan hubungan geografis antara Mekkah dan Madinah dalam perasaan yang sama, yaitu rasa memiliki dan bertanggung jawab atas lestarinya kehidupan yang damai (salam).

Purifikasi identitas

Satu hal yang perlu dicatat juga dari perjalanan hijrah Nabi Muhammad bahwa kehendak untuk meninggalkan tempat muasal tidak patut disertai dengan kemarahan. Meskipun kondisi Mekkah yang begitu karut-marut dan menjadi hambatan luar biasa bagi Nabi untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran kepada umatnya, tak sedikit pun Nabi menaruh dendam terhadap tanah kelahiran dan garis nasab- nya. Bahkan, dalam satu riwayat, Nabi pernah menyatakan ”ana fakhirun bi quraisyin”, yang bermakna ”saya tetap bangga menjadi orang Quraisy”.

Spirit nir-kekerasan dan kedamaian selalu dijadikan rujukan Nabi dalam memperlakukan identitas nasabiyah dalam solidaritas mekanisnya yang tetap diakui di satu sisi dan membangun biduk kehidupan yang melintas batas kesukuan, ras dan keyakinan dalam solidaritas organis yang mengeratkan persaudaraan antarberbagai kelompok.

Dalam konteks ini, tentu bukan perkara mudah tetap mengekspresikan kebanggaan terhadap ikatan kesukuannya, yang secara nyata telah menjadi bagian dari realitas kebiadaban yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Namun, Nabi Muhammad tetap menunjukkan kesantunannya dalam menghargai garis keturunan yang bermuasal dari suku Quraisy. Hal ini menjadi mungkin tersebab oleh spirit kedamaian dan cara nir-kekerasan yang dilakukan Nabi dalam menjalankan perjuangannya mengemban ajaran kebenaran.

Spirit kedamaian dan cara nir-kekerasan itu membentuk sebuah purifikasi identitas yang meneguhkan dua unsur. Pertama, kekuatan beradaptasi untuk merespons dengan baik setiap perbedaan cara pandang antarindividu ataupun kelompok dalam memahami ajaran yang dijalankan dan beradaptasi terhadap perubahan realitas sosial yang jadi arena penyebaran ajaran Nabi. Kedua, kekuatan identitas untuk mengintegrasikan berbagai ras, suku, agama dalam satu ikatan kebangsaan seperti yang dilakukan di Madinah dan mengonsolidasikan berbagai pola hubungan sosial agar hidup dalam perasaan yang sama, yaitu spirit perdamaian.

Dengan pendekatan ini, merujuk pada pandangan Abdelmajid Sharfi dalam buku Islam Between Divine Message and History, Nabi Muhammad mampu menampilkan karakteristik kenabian yang sungguh-sungguh menjalankan pesan ketuhanan dengan penuh kesabaran dan ketegaran demi bersemainya nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan manusia. Ini sekaligus karakterisik kesejarahan yang menyilangkan budaya antarkelompok berdasarkan bangunan identitas yang melekat pada masing-masing orang.

Pada titik ini, hijrah satyagraha yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW jadi momentum profilerasi ajaran kebenaran yang tak sekadar mengibarkan pesan ketuhanan, tetapi juga meliputi semangat kemanusiaan yang memiliki hak rerata dalam menjunjung identitasnya sebagai pihak yang patut memperoleh kedamaian dan pengakuan.

”Lesson learn”

Gelombang pengungsi Suriah dan beberapa negara Timur Tengah yang begitu masif menyebar ke sejumlah negara di Eropa sebenarnya memiliki kemiripan motif. Para pengungsi yang bermigrasi ke satu tempat itu disebabkan kekacauan sosial yang penuh dengan perilaku intimidasi, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan di daerah asalnya.

Pilihan para pengungsi Suriah untuk tidak bertahan di daerahnya yang dilanda 
konflik dan aneksasi antarkelompok makar, sekaligus menolak untuk tidak terlibat dalam lingkaran perang saudara yang tak jelas juntrung penyebabnya, mencerminkan sikap perjuangan tanpa kekerasan. Bagi para pengungsi, mencari tempat lain yang bisa memberikan penghidupan yang lebih damai adalah solusi terbaik dalam situasi yang serba pelik.

Semangat juang tanpa kekerasan yang ditempuh pengungsi Suriah tentu patut diapresiasi dan harus dilindungi oleh semua pihak. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang memperoleh perlindungan dari banyak pihak di Yatsrib, sekaligus dirangkul sebagai bagian dari umat manusia yang harus difasilitasi tempat tinggalnya, pengungsi pun harus diperlakukan manusiawi oleh negara yang menjadi tujuannya.

Sebab, tidak mudah melakukan hijrah dengan spirit kejuangan tanpa kekerasan di saat bersamaan mereka harus merelakan tanah kelahiran dan berbagai modal lainnya ditinggalkan untuk menemukan tempat lain yang tidak jelas juga juntrung perlindungannya. Bagi mereka, hijrah bisa jadi adalah kecelakaan sejarah yang memang harus dilalui. Namun, dari kondisi ini ada harapan  blessing in disguise yang bisa mengantarkan mereka pada takdir yang lebih baik daripada kehidupan sebelumnya.

Meski demikian, bila suatu saat sudah menemukan ruang penghidupan yang lebih menjanjikan di tempat barunya, pengungsi tak boleh melupakan akar identitas sebagai bagian dari orang Suriah. Sebab, bisa jadi hijrah yang penuh kejuangan tanpa kekerasan ini hanyalah peralihan sementara untuk membangkitkan energi baru yang bermanfaat bagi terciptanya semangat persatuan dan perdamaian di bumi Suriah dan negara Timur Tengah lainnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar