Rabu, 14 Oktober 2015

Berapa Harga HSR Buatan Tiongkok?

Berapa Harga HSR Buatan Tiongkok?

René L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sampai sekarang, belum ada penandatanganan kerja sama pembangunan kereta cepat (high speed railways/HSR) Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok. Masih banyak kejanggalan dan pertanyaan muncul akibat kontrak HSR secara sepihak, tanpa melakukan tender ulang ketika Presiden Joko Widodo menyatakan, Indonesia tidak perlu HSR dengan kecepatan 350 km per jam.

Keanehan muncul ketika kesepakatan konsorsium BUMN yang digagas Menteri BUMN Rini Soemarno membentuk konsorsium empat BUMN (PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PTPN VIII, dan PT KAI) bekerja dengan konsorsium RRT yang akan dipimpin China Railway. Semua proses HSR ini sama sekali tidak melibatkan Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab atas transportasi publik Indonesia, khususnya masalah teknis.

Pertanyaannya, mengapa persaingan Jepang-RRT dalam HSR ini menjadi sangat ketat dan mengapa RRT mendapatkan proyek HSR Jakarta-Bandung tanpa melakukan studi kelayakan dan penjelasan publik tentang rincian biaya pembangunan HSR untuk jarak sekitar 150 kilometer ini? Menteri BUMN hanya menjelaskan, apa yang ditawarkan RRT lebih baik daripada Jepang dan tidak melibatkan dana APBN dalam waktu pembiayaannya.

Kita memahami, dalam skala regional, terutama pengukuhan pengaruh geopolitik di kawasan Asia Tenggara antara Jepang dan Tiongkok sangat ketat, khususnya melihat perilaku kebangkitan RRT yang modern dan kuat secara ekonomi, perdagangan, keuangan, serta militer. Namun, keputusan secara unilateral atas pembangunan HSR ini menghadirkan beberapa risiko bukan hanya bagi Indonesia karena protes publik dalam negeri, melainkan juga bagi RRT yang seolah-olah berada dalam posisi pasif menerima semua persyaratan Indonesia.

Ada beberapa hal yang coba kita pahami. Pertama, keberhasilan RRT menerapkan "model Indonesia" bagi ekspor HSR memiliki dampak negatif atas berbagai tawaran yang disebar di sejumlah negara ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia. Dalam kasus Thailand, misalnya, proyek HSR yang ditawarkan RRT pada awalnya melalui mekanisme barter beras, tetapi gagal.

Kedua, akan terkait dengan biaya dasar proyek pembangunan HSR yang pastinya sangat mahal dan menemui kegagalan di Meksiko. Selama ini, proyek HSR Tiongkok belum pernah ditawarkan dalam skema lengkap dan utuh tidak hanya gerbong-gerbong kereta, tetapi juga sistem signaling, sistem jalur kereta cepat, dan elektronisasi yang ada di dalamnya.

Kelompok media berita Huifeng (Phoenix) melalui situs webnya (ifeng.com), misalnya, melaporkan, paket investasi HSR yang ditawarkan RRT sebenarnya tidak atraktif. Usulan pembangunan HSR Tiongkok untuk Indonesia setiap kilometernya berkisar 213 juta renminbi (sekitar Rp 453,6 miliar). Di dalam negeri RRT, trayek Wuhan-Guangzhou berjarak sekitar 960 km biaya per kilometer 100 juta renminbi (sekitar Rp 212 miliar) dan Beijing-Shanghai yang berjarak sekitar 1.200 km biaya per kilometer sekitar 177 juta renminbi (sekitar Rp 376,8 miliar).

Kantor perwakilan Bank Dunia di Beijing dalam laporannya bulan Juli lalu menyebutkan, biaya konstruksi rata-rata HSR dengan kecepatan 350 km per jam mencapai sekitar 129 juta renminbi (sekitar Rp 274,6 miliar) setiap kilometer. Adapun biaya HSR kecepatan 250 km per jam mencapai sekitar 87 juta renminbi per kilometer (sekitar Rp 185,2 miliar).

Beberapa ahli di RRT memperkirakan, biaya pembangunan HSR secara internasional sangat tergantung kondisi geografis dan bisa mencapai sekitar 300 juta renminbi per kilometer (sekitar Rp 638,5 miliar). Berdasarkan data dari Bank Ekspor-Impor RRT, sampai Januari 2015 telah mengeluarkan utang pada 35 proyek konstruksi HSR di sejumlah negara dengan nilai dukungan keuangan mencapai 13 miliar dollar AS mencakup konstruksi HSR sepanjang 3.500 kilometer.

Industri HSR adalah mata rantai menyangkut sistem rekayasa, termasuk desain survei, infrastruktur, jalur kereta, sinyal komunikasi, pasokan traksi listrik, manajemen operasi, monitoring keselamatan, dan bidang teknis lain. Kita khawatir, tanpa rincian penjelasan proyek HSR RRT, persoalan akan menjadi meluas tidak hanya masalah bisnis, tetapi juga persoalan politik yang rumit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar