Berapa Harga HSR Buatan Tiongkok?
René L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
13 Oktober 2015
Sampai sekarang, belum ada penandatanganan kerja sama
pembangunan kereta cepat (high speed
railways/HSR) Indonesia-Republik Rakyat Tiongkok. Masih banyak
kejanggalan dan pertanyaan muncul akibat kontrak HSR secara sepihak, tanpa
melakukan tender ulang ketika Presiden Joko Widodo menyatakan, Indonesia
tidak perlu HSR dengan kecepatan 350 km per jam.
Keanehan muncul ketika kesepakatan konsorsium BUMN yang digagas
Menteri BUMN Rini Soemarno membentuk konsorsium empat BUMN (PT Wijaya Karya
Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PTPN VIII, dan PT KAI) bekerja dengan konsorsium RRT
yang akan dipimpin China Railway. Semua proses HSR ini sama sekali tidak melibatkan
Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab atas transportasi publik
Indonesia, khususnya masalah teknis.
Pertanyaannya, mengapa persaingan Jepang-RRT dalam HSR ini
menjadi sangat ketat dan mengapa RRT mendapatkan proyek HSR Jakarta-Bandung
tanpa melakukan studi kelayakan dan penjelasan publik tentang rincian biaya
pembangunan HSR untuk jarak sekitar 150 kilometer ini? Menteri BUMN hanya
menjelaskan, apa yang ditawarkan RRT lebih baik daripada Jepang dan tidak
melibatkan dana APBN dalam waktu pembiayaannya.
Kita memahami, dalam skala regional, terutama pengukuhan
pengaruh geopolitik di kawasan Asia Tenggara antara Jepang dan Tiongkok
sangat ketat, khususnya melihat perilaku kebangkitan RRT yang modern dan kuat
secara ekonomi, perdagangan, keuangan, serta militer. Namun, keputusan secara
unilateral atas pembangunan HSR ini menghadirkan beberapa risiko bukan hanya
bagi Indonesia karena protes publik dalam negeri, melainkan juga bagi RRT
yang seolah-olah berada dalam posisi pasif menerima semua persyaratan
Indonesia.
Ada beberapa hal yang coba kita pahami. Pertama, keberhasilan
RRT menerapkan "model Indonesia" bagi ekspor HSR memiliki dampak
negatif atas berbagai tawaran yang disebar di sejumlah negara ASEAN, seperti
Thailand dan Malaysia. Dalam kasus Thailand, misalnya, proyek HSR yang
ditawarkan RRT pada awalnya melalui mekanisme barter beras, tetapi gagal.
Kedua, akan terkait dengan biaya dasar proyek pembangunan HSR
yang pastinya sangat mahal dan menemui kegagalan di Meksiko. Selama ini,
proyek HSR Tiongkok belum pernah ditawarkan dalam skema lengkap dan utuh
tidak hanya gerbong-gerbong kereta, tetapi juga sistem signaling, sistem
jalur kereta cepat, dan elektronisasi yang ada di dalamnya.
Kelompok media berita Huifeng (Phoenix) melalui situs webnya
(ifeng.com), misalnya, melaporkan, paket investasi HSR yang ditawarkan RRT
sebenarnya tidak atraktif. Usulan pembangunan HSR Tiongkok untuk Indonesia
setiap kilometernya berkisar 213 juta renminbi (sekitar Rp 453,6 miliar). Di
dalam negeri RRT, trayek Wuhan-Guangzhou berjarak sekitar 960 km biaya per
kilometer 100 juta renminbi (sekitar Rp 212 miliar) dan Beijing-Shanghai yang
berjarak sekitar 1.200 km biaya per kilometer sekitar 177 juta renminbi
(sekitar Rp 376,8 miliar).
Kantor perwakilan Bank Dunia di Beijing dalam laporannya bulan
Juli lalu menyebutkan, biaya konstruksi rata-rata HSR dengan kecepatan 350 km
per jam mencapai sekitar 129 juta renminbi (sekitar Rp 274,6 miliar) setiap
kilometer. Adapun biaya HSR kecepatan 250 km per jam mencapai sekitar 87 juta
renminbi per kilometer (sekitar Rp 185,2 miliar).
Beberapa ahli di RRT memperkirakan, biaya pembangunan HSR secara
internasional sangat tergantung kondisi geografis dan bisa mencapai sekitar
300 juta renminbi per kilometer (sekitar Rp 638,5 miliar). Berdasarkan data
dari Bank Ekspor-Impor RRT, sampai Januari 2015 telah mengeluarkan utang pada
35 proyek konstruksi HSR di sejumlah negara dengan nilai dukungan keuangan
mencapai 13 miliar dollar AS mencakup konstruksi HSR sepanjang 3.500
kilometer.
Industri HSR adalah mata rantai menyangkut sistem rekayasa,
termasuk desain survei, infrastruktur, jalur kereta, sinyal komunikasi,
pasokan traksi listrik, manajemen operasi, monitoring keselamatan, dan bidang
teknis lain. Kita khawatir, tanpa rincian
penjelasan proyek HSR RRT, persoalan akan menjadi meluas tidak hanya masalah
bisnis, tetapi juga persoalan politik yang rumit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar