Pasal Kretek di RUU Kebudayaan
Badrul Munir ; Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar,
Malang;
Dosen Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya
|
KOMPAS,
13 Oktober 2015
Dewan Perwakilan Rakyat kita tidak pernah lepas dari sensasi
demi sensasi.
Setelah pimpinan DPR jalan-jalan ke luar negeri, bertemu dan
ber-selfie dengan Donald Trump, juga rencana kenaikan gaji dan lainnya,kini
ada ”kegaduhan” baru, yakni isu masuknya pasal kretek di RUU Kebudayaan. Ini
yang menyebabkan kontroversi di masyarakat.
Bahkan, banyak pihak menuduh ada penyelundupan pasal ini.
Istilahnya ”diselundupkan” karena pasal ini tidak masuk dalam draf pembahasan
RUU versi Komisi X; pasal ini tiba-tiba muncul dalam draf RUU. Apabila tidak
dicermati, pasal ini bisa-bisa disahkan sebagai salah satu pasal dalam UU
Kebudayaan.
Permainan licik
Motivasi ”menyelundupkan” pasal ini dilakukan oleh sebagian
anggota DPR, mungkin didasari keberhasilan menghilangkan dua ”ayat tembakau”
dalam UU Kesehatan. Dengan permainan sangat ”cantik, tetapi licik”, ayat
tentang tembakau di Pasal 113 RUU Kesehatantiba-tibahilang saat disahkan
sebagai UU Kesehatan pada 2009.
Penghilangan ayat tembakau diduga ada konspirasi tingkat tinggi
yang sangat rapi sehingga sulit dibuktikan. Ujungnya hanya sanksi etika yang
dijatuhkan kepada salah satu anggota DPR yang diduga kuat penyebab hilangnya
ayat tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum terjadi persaingan kuat antara
kelompok masyarakat anti rokok dan pro rokok (pro tembakau). Keduanya
sama-sama mengklaim membela kepentingan rakyat kecil.
Komunitas pro tembakau mengklaim ada jutaan orang yang terkait
dengan tembakau dan industri rokok akan kehilangan mata pencarian
(petani-buruh tembakau, buruh rokok sampai pedagang eceran rokok, dan
lainnya). Dampak ekonomi dan sosial juga sangat memukul bila industri rokok
tidak berkembang. Sementara lapangan pekerjaan lain pengganti produk tembakau
dan olahannya masih terbatas.
Sementara kelompok anti tembakau mengampanyekandampak negatif
merokok di masyarakat Indonesia. Mulai dari dampak negatif terhadap
kesehatan, ekonomi,sosial sampai kualitas generasi muda yang sudah terpapar
asap rokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif. Perseteruan dan perang
opini ini berlangsung lama dan melibatkan beberapa pihak, termasuk para
pemangku kepentingan, seperti parlemen dan pemerintah. Tentu keduanya
melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan agendanya masing masing. Dan,
itu memang pantas juga sah-sah saja.
Namun, yang jadi pembahasan kita adalah etis dan layakkah memasukkan
kretek sebagai warisan budayadalam RUU Kebudayaan? Bukankah banyak kebudayaan
luhur hasil karya anak bangsa yang lebih berhak untuk dijaga, seperti reog
ponorogo, wayang kulit, batik, keris, dan ratusan lainnya? Apa istimewanya
kretek dibandingkan kebudayaan lainnya sehingga harus mendapat sebutan khusus
di salah satu pasal dalam RUU Kebudayaan?
Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, adalahingin
melindungi kretek yang merupakan warisan asli budaya Indonesia dari
kepunahan, melindungi petani tembakau, bahkan menyangkut sikap nasionalisme
bangsa Indonesiadalam rangka melindungi produk lokal dari serbuan asing. Satu
hal lainnya adalah antisipasi terhadap serangan komunitas anti tembakau yang
dengan gencar melakukan advokasi lewat lobi-lobi tingkat atas.
Pasal ini juga didasari ketakutanakan masifnyakampanye anti
rokok yang ditumpangi agenda asing dalam agenda Frame Convention on Tobacco
Control untuk menghancurkan petani tembakau Indonesia. Padahal,
sesungguhnyaindustri rokok dalam negeri Indonesia sudah menjadi milik asing.
Sampoerna dikuasai Philip Morris, Bentoel milikBritish American Tobacco, dan
Djarum juga dikuasai asing. Artinya, keuntungan perusahaan akan lari keluar
negeri, sedangkan dampak negatif akibat rokok menjadi tanggung jawab negara
kita.
Data lain menunjukkan, penghasilan petanitembakauhancur bukan
karena kampanye anti merokok, melainkan karena tembakau impor yang setiap
tahun semakin membesar (data dari tembakau impor tahun 2014-2015). Data dari
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, biaya impor tembakau tahun 2011
senilai 376,3 juta dollar AS naik menjadi 503,2 juta dollar AS tahun 2012 dan
cenderung naik di waktu yang akan datang. Bahkan, saat ini, 50 persen
kebutuhan tembakau untuk industri rokok di Indonesia berasal dari impor.
Pasal perselingkuhan
Maka, sesungguhnya para pelaku industri rokok di luar negeri
lari dari negaranya yang sangat ketat tentang aturan rokok, kemudian masuk ke
Indonesia karena longgarnya peraturan tentang rokok serta besarnya jumlah perokok
di Indonesia. Dengan demikian, tidak salah kalau ada yang menyebut Indonesia
adalah surga bagi industri rokok dunia.
Bilamana ada keinginanbaik dari DPR untuk melindungi petani
tembakau,tentunya akan lebih bagus bila diperjuangkan lewat RUU lain, seperti
RUU Perlindungan Pertanian dan lainnya, bukan menyelundupkan ”pasal kretek”
dengan cara kurang elegan seperti ini.
Sebab, apabila telah disahkan menjadi UU, konsekuensi lanjutan
dari UU adalah kewajiban untuk menyosialisasikan agarUU ini bisa diberlakukan
di masyarakat. Artinya akan ada kampanye ”merokok kretek” yangwajib dilakukan
oleh pemerintah pada saat sosialisasi UU Kebudayaan di masyarakat.
Sungguh naif! RUU Kebudayaan yang bertujuan mulia untuk
melindungi warisan luhur budaya bangsa justru tercemar dengan adanya ”pasal
kretek” akibat perselingkuhan seperti ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar