Rabu, 14 Oktober 2015

Pasal Kretek di RUU Kebudayaan

Pasal Kretek di RUU Kebudayaan

Badrul Munir  ;  Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar, Malang;
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
                                                       KOMPAS, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dewan Perwakilan Rakyat kita tidak pernah lepas dari sensasi demi sensasi.
Setelah pimpinan DPR jalan-jalan ke luar negeri, bertemu dan ber-selfie dengan Donald Trump, juga rencana kenaikan gaji dan lainnya,kini ada ”kegaduhan” baru, yakni isu masuknya pasal kretek di RUU Kebudayaan. Ini yang menyebabkan kontroversi di masyarakat.

Bahkan, banyak pihak menuduh ada penyelundupan pasal ini. Istilahnya ”diselundupkan” karena pasal ini tidak masuk dalam draf pembahasan RUU versi Komisi X; pasal ini tiba-tiba muncul dalam draf RUU. Apabila tidak dicermati, pasal ini bisa-bisa disahkan sebagai salah satu pasal dalam UU Kebudayaan.

Permainan licik

Motivasi ”menyelundupkan” pasal ini dilakukan oleh sebagian anggota DPR, mungkin didasari keberhasilan menghilangkan dua ”ayat tembakau” dalam UU Kesehatan. Dengan permainan sangat ”cantik, tetapi licik”, ayat tentang tembakau di Pasal 113 RUU Kesehatantiba-tibahilang saat disahkan sebagai UU Kesehatan pada 2009.

Penghilangan ayat tembakau diduga ada konspirasi tingkat tinggi yang sangat rapi sehingga sulit dibuktikan. Ujungnya hanya sanksi etika yang dijatuhkan kepada salah satu anggota DPR yang diduga kuat penyebab hilangnya ayat tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum terjadi persaingan kuat antara kelompok masyarakat anti rokok dan pro rokok (pro tembakau). Keduanya sama-sama mengklaim membela kepentingan rakyat kecil.

Komunitas pro tembakau mengklaim ada jutaan orang yang terkait dengan tembakau dan industri rokok akan kehilangan mata pencarian (petani-buruh tembakau, buruh rokok sampai pedagang eceran rokok, dan lainnya). Dampak ekonomi dan sosial juga sangat memukul bila industri rokok tidak berkembang. Sementara lapangan pekerjaan lain pengganti produk tembakau dan olahannya masih terbatas.

Sementara kelompok anti tembakau mengampanyekandampak negatif merokok di masyarakat Indonesia. Mulai dari dampak negatif terhadap kesehatan, ekonomi,sosial sampai kualitas generasi muda yang sudah terpapar asap rokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif. Perseteruan dan perang opini ini berlangsung lama dan melibatkan beberapa pihak, termasuk para pemangku kepentingan, seperti parlemen dan pemerintah. Tentu keduanya melakukan lobi-lobi politik untuk memuluskan agendanya masing masing. Dan, itu memang pantas juga sah-sah saja.

Namun, yang jadi pembahasan kita adalah etis dan layakkah memasukkan kretek sebagai warisan budayadalam RUU Kebudayaan? Bukankah banyak kebudayaan luhur hasil karya anak bangsa yang lebih berhak untuk dijaga, seperti reog ponorogo, wayang kulit, batik, keris, dan ratusan lainnya? Apa istimewanya kretek dibandingkan kebudayaan lainnya sehingga harus mendapat sebutan khusus di salah satu pasal dalam RUU Kebudayaan?

Beberapa alasan yang disampaikan, antara lain, adalahingin melindungi kretek yang merupakan warisan asli budaya Indonesia dari kepunahan, melindungi petani tembakau, bahkan menyangkut sikap nasionalisme bangsa Indonesiadalam rangka melindungi produk lokal dari serbuan asing. Satu hal lainnya adalah antisipasi terhadap serangan komunitas anti tembakau yang dengan gencar melakukan advokasi lewat lobi-lobi tingkat atas.

Pasal ini juga didasari ketakutanakan masifnyakampanye anti rokok yang ditumpangi agenda asing dalam agenda Frame Convention on Tobacco Control untuk menghancurkan petani tembakau Indonesia. Padahal, sesungguhnyaindustri rokok dalam negeri Indonesia sudah menjadi milik asing. Sampoerna dikuasai Philip Morris, Bentoel milikBritish American Tobacco, dan Djarum juga dikuasai asing. Artinya, keuntungan perusahaan akan lari keluar negeri, sedangkan dampak negatif akibat rokok menjadi tanggung jawab negara kita.

Data lain menunjukkan, penghasilan petanitembakauhancur bukan karena kampanye anti merokok, melainkan karena tembakau impor yang setiap tahun semakin membesar (data dari tembakau impor tahun 2014-2015). Data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, biaya impor tembakau tahun 2011 senilai 376,3 juta dollar AS naik menjadi 503,2 juta dollar AS tahun 2012 dan cenderung naik di waktu yang akan datang. Bahkan, saat ini, 50 persen kebutuhan tembakau untuk industri rokok di Indonesia berasal dari impor.

Pasal perselingkuhan

Maka, sesungguhnya para pelaku industri rokok di luar negeri lari dari negaranya yang sangat ketat tentang aturan rokok, kemudian masuk ke Indonesia karena longgarnya peraturan tentang rokok serta besarnya jumlah perokok di Indonesia. Dengan demikian, tidak salah kalau ada yang menyebut Indonesia adalah surga bagi industri rokok dunia.

Bilamana ada keinginanbaik dari DPR untuk melindungi petani tembakau,tentunya akan lebih bagus bila diperjuangkan lewat RUU lain, seperti RUU Perlindungan Pertanian dan lainnya, bukan menyelundupkan ”pasal kretek” dengan cara kurang elegan seperti ini.

Sebab, apabila telah disahkan menjadi UU, konsekuensi lanjutan dari UU adalah kewajiban untuk menyosialisasikan agarUU ini bisa diberlakukan di masyarakat. Artinya akan ada kampanye ”merokok kretek” yangwajib dilakukan oleh pemerintah pada saat sosialisasi UU Kebudayaan di masyarakat.

Sungguh naif! RUU Kebudayaan yang bertujuan mulia untuk melindungi warisan luhur budaya bangsa justru tercemar dengan adanya ”pasal kretek” akibat perselingkuhan seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar