Birokrasi Kampus Harus Direformasi
Nanang Martono ; Dosen Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed);
Kandidat PhD Sosiologi
Pendidikan, Universite de Lyon 2, Prancis
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2015
Beberapa waktu lalu dunia pendidikan tinggi (PT) kembali
”dikejutkan” dengan aksi pemecatan salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga oleh
Kemenag.
Pemecatan tersebut hanya disebabkan faktor ”sepele”, kelengkapan
administrasi. Ini berkaitan dengan masalah surat-surat serta status dosen
yang bersangkutan ketika melaksanakan studi lanjut S-3 di Australia. Ribut
masalah administrasi sebenarnya bukan hanya dialami oleh Achmad Uzair Fauzan
(AUF), dosen UIN yang dipecat Kemenag tersebut.
Saya sebagai dosen bukan hendak membela yang bersangkutan, namun
dalam tulisan ini saya hendak membeberkan bagaimana ”keribetan ” menjadi
dosen di Indonesia. Kasus yang menimpa AUF salah satu kasus yang mencuat ke
media. Entah disengaja diangkat ke media oleh yang bersangkutan atau karena
hal lain. Ini (masalah administrasi) sebenarnya masalah klasik.
Dari segi yuridis, dosen memiliki tiga fungsi utama yang disebut
Tridharma Pendidikan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, serta pengabdian
masyarakat. Di luar tiga tugas tersebut, dosenmasihmemilikikewajiban
melaksanakan aktivitas penunjang Tridharma PT. Tiga tugas tersebut sebenarnya
sangat simpel.
Dalam kondisi normal, semua dosen pasti dapat memenuhi kewajiban
melaksanakan tugas sebanyak (minimal) 12 SKS yang terdiri atas empat komponen
tersebut. Bila 12 SKS telah terpenuhi, dosen berhak mendapatkan tunjangan
sertifikasi. Sangat simpel.
Namun, masalah besar yang menimpa dunia perdosenan adalah
pemerintah, melalui Dikti dan Kemenag, sangat mengagungkan keberadaan dokumen
administrasi sebagai bukti bahwa seorang dosen telah melaksanakan
tugas-tugasnya. Sebagai bukti telah mengajar, dosen harus memfotokopi semua
daftar hadir perkuliahan, baik daftar hadir dosen maupun mahasiswa, serta
dokumen SK mengajar dari atasan.
Untuk bukti penelitian, dosen harus menunjukkan bukti berupa SK
atau surat kontrak penelitian dengan pihak penyedia dana. Dalam hal ini,
dosen yang melakukan penelitian dengan dana mandiri akan menghadapi masalah
besar karena seringkali penelitian dengan biaya mandiri dianggap tidak
berkualitas. Sebagai bukti pelaksanaan program pengabdian masyarakat, dosen
juga harus menunjukkan SK dan dokumen pelengkap lainnya.
Memang, segala bentuk pelaksanaan tugas harus ada bukti hitam di
atas putih. Namun, ini sangat menyesatkan ketika dokumen tersebut justru
menjadi dewa penolong bagi dosen. Maka yang terjadi adalah, dosen memiliki
lima tugas pokok. Selain Tridharma PT dan pendukungnya, dosen juga memiliki
tugas pokok sebagai kolektor SK dan dokumen lain.
Alhasil, ketika dosen mengajukan kenaikan pangkat, ia harus
mengumpulkan banyak dokumen, dan seringkali tebal dokumen bisa mencapai 30
sampai 50 cm, dan semuanya berbentuk kertas. Semua berkas dikirim ke Dikti
untuk dievaluasi.
Dosen yang beruntung akan cepat mendapatkan keputusan hasil
penilaian dan dosen yang kurang beruntung ada kemungkinan dokumen-dokumen
tersebut akan hilang di Dikti. Kembali, dosen yang seharusnya telah berhak
mendapatkan kenaikan tunjangan harus kehilangan hak-haknya hanya karena Dikti
terlambat mengevaluasi dokumen.
Tugas dosen akhirnya tidak beda dengan tenaga administrasi. Asal
ada dokumen penunjang, dosen telah layak disebut dosen profesional dan berhak
mendapat tunjangan sertifikasi. Untuk itu, menjadi dosen di Indonesia memang
tergolong mudah dan simpel, yang penting mereka memiliki suratsurat lengkap.
Dikti tidak ingin berpusing ria dengan menilai kualitas dosen dari sisi ”de
facto”.
Masalah seorang dosen mengajar dengan baik atau tidak, dosen
kreatif dalam pembelajaran atau tidak, termasuk aspek kedisiplinan juga,
bukan urusan Dikti. Mereka hanya memerlukan bukti hitam di atas putih. Sama
halnya ketika dosen menyusun publikasi di jurnal ilmiah, banyak dosen hanya
”numpang nama”.
Sebuah artikel ditulis ”keroyokan”, namun dalam kenyataannya
artikel tersebut hanya ditulis satu atau dua orang saja, yang lain ”hanya
nunut”. Dosen-dosen modal nunut itu pun mudah mengajukan kenaikan pangkat
PNS. Sebenarnya berita horor kasus AUF juga dialami banyak dosen yang
mendapatkan tugas belajar ke luar negeri.
Beberapa dosen gagal atau mengalami hambatan ketika akan
berangkat ke luar negeri karena terganjal masalah birokrasi kampus maupun
birokrasi di Dikti. Ini juga menyangkut masalah administrasi berkaitan dengan
status kepegawaian dan masalah dokumen perbeasiswaan.
Kita semua tahu ada dua kata sakti ketika mengurus dokumen di
Indonesia: lama dan berbelit-belit. Ini juga yang menjadi penghambat sebagian
besar dosen yang ingin menempuh studi. Banyak di antaranya yang harus
terlambat mengikuti proses perkuliahan.
Ditambah lagi, pengurusan dokumen harus dilakukan secara manual,
bukan online, kemudian dokumen yang dibutuhkan cukup dikirim lewat e-mail
atau pos. Semua dosen yang berurusan dengan Dikti harus datang ke Jakarta
meski hanya untuk mengambil selembar surat. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana dengan dosen yang tinggal di luar Pulau Jawa, berapa banyak rupiah
yang mereka keluarkan hanya demi mendapatkan selembar ”surat sakti”.
Saya membayangkan ketika dosen bisa fokus pada tugas pokoknya
tanpa sibuk mengurus masalah administrasi. Kasus AUF sebenarnya dapat diatasi
dengan mudah ketika para birokrat tidak mempersoalkan masalah administrasi sebagai
pertimbangan utama. Bila perlu, pemerintah harus mengubah aturan tertulisnya.
Satu hal yang harus diingat, mendapatkan beasiswa bukanlah
perkara mudah. Ratusan ribu dosen harus bersaing untuk mendapatkan beasiswa
tersebut. Kesempatan mendapatkan beasiswa tidak akan datang dua kali. Untuk
itu, dalam kasus ini, AUF telah mengambil keputusan tepat: menempuh studi
lanjut meski tanpa berbekal surat tugas rektor (atau dokumen lain).
Ia melaksanakan studi lanjut untuk kemajuan lembaganya, bukan
untuk kepentingan pribadi. Ketika secara de facto seorang dosen telah
”telanjur” berada di luar negeri untuk menempuh studi, pengurusan dokumen
sebenarnya bisa dilakukan oleh staf administrasi. Dokumen bisa diurus
”belakangan”.
Bila perlu, permohonan izin belajar cukup dilakukan secara
online melalui e-mail atau perangkat lain ke dekan atau rektor, dan bukti
e-mail tersebut dianggap sah. Masalahnya, apakah birokrat UIN memiliki itikad
baik atau tidak, atau mereka kemudian tetap mengambil langkah ”kolot” dengan
berpegang teguh pada aturan secara kaku dan tunduk pada aturan Kemenag?
Secara logika, ketika dosen berhasil menempuh studi di usia
muda, berarti ia akan memiliki masa pengabdian yang lebih panjang dengan ilmu
yang diperolehnya. Dosen yang berhasil menyelesaikan pendidikan doktor di
usia 30 tahun misalnya, ia dapat mengaplikasikan ilmunya selama 30 tahun
(asumsi ia pensiun di usia 60 tahun).
Lalu, bila seorang dosen dihambat ketika ingin menempuh studi
dan baru selesai S-3 di usia 40 tahun, ia hanya memiliki waktu 20 tahun untuk
mengaplikasikan ilmunya. Sangat disayangkan, pemerintah membuang waktu 10
tahun. Sudah saatnya pemerintah melakukan reformasi birokrasi yang berkaitan
dengan masalah tata administrasi.
Era serbaonline seharusnya menjadi faktor yang memudahkan
masalah ini. Era online, tapi birokrasi masih manual hanyalah omong kosong.
Pemerintah harus fokus pada masalah substansi, bukan administrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar