Memimpin Pemerintahan Gaduh
W Riawan Tjandra ; Pengajar Senior pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2015
Kepemimpinan
Jokowi-JK sungguh-sungguh diuji luar-dalam oleh berbagai fenomena politik
yang tak kunjung senyap. Kegaduhan di Kabinet Kerja ini sempat terjadi saat
Rizal Ramli melontarkan sejumlah pernyataan yang menyerang kebijakan
pemerintah Jokowi sehari setelah dia menjabat Menteri Koordinator
Kemaritiman.
Dalam
pidatonya pada acara serah-terima jabatan di Kementerian Koordinator Maritim,
Rizal menyatakan akan memanggil direksi PT Garuda Indonesia untuk membatalkan
pembelian pesawat Airbus A350. Alasannya, pembelian itu berpotensi membuat
laporan keuangan Garuda jadi merah.
Rizal juga
mengkritik proyek listrik 35.000 megawatt. Menurut ekonom yang dikenal kritis
ini, proyek tersebut tak realistis sehingga berpotensi tak tercapai pada
akhir pemerintahan Jokowi-Kalla. Rizal juga menyentil proyek kereta cepat
Jakarta-Bandung dan menyebutkan ada pejabat yang ”bermain” di megaproyek
tersebut.
Akhirnya,
Presiden Joko Widodo turun tangan menengahi perseteruan Wakil Presiden Jusuf
Kalla dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Rabu, 19
Agustus 2015, Jokowi mempertemukan Kalla dengan Rizal dalam sidang kabinet di
Istana.
Belum berhenti
gaung ”perseteruan politik” antara dua elite politik di lingkungan Kabinet
Kerja tersebut, kini situasi memanas lagi setelah Gubernur Bank Indonesia
(BI) Agus Martowardojo meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) konsisten
terkait mekanisme penentuan harga bahan bakar minyak (BBM).
Hal tersebut
dikatakan Agus menanggapi pernyataan Jokowi yang meminta PT Pertamina
(Persero) untuk menurunkan harga BBM jenis premium. Argumentasi Gubernur BI
terkait kritiknya tersebut adalah masyarakat global saat ini sudah mendengar
bahwa sejak awal tahun lalu pemerintah melakukan reformasi subsidi BBM agar
kondisi keuangan Indonesia lebih sehat.
Pemerintah
telah memutuskan untuk menentukan mekanisme evaluasi harga BBM tiap tiga
hingga enam bulan. Pernyataan Agus Martowardojo tersebut dibalas dengan
pernyataan dari pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tergabung dalam
organisasi Projo yang menuding bahwa Agus yang seharusnya membantu pemerintah
malah terkesan bertindak seperti oposisi dengan pernyataannya tersebut.
Projo sebagai
pendukung Jokowi garis keras selanjutnya bahkan mendorong ada peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk memangkas masa jabatan Agus
Marto sebagai gubernur BI, sekaligus mengurangi independensi bank sentral.
Relawan Projo
menyebut perppu itu penting demi menyelamatkan nilai tukar rupiah. Gubernur
BI selama ini dianggap bertanggung jawab terhadap pelemahan nilai tukar
rupiah karena BI tak mampu menjalankan kewenangannya dengan baik melalui
kebijakannya untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Dalam sistem
presidensial, kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam arti
sempit (eksekutif) maupun dalam arti luas seharusnya sangat kuat. UUD Negara
RI 1945 telah meletakkan pilihan untuk memperkuat sistem presidensial dengan
harapan agar terwujud stabilitas sistem pemerintahan.
Selain
Presiden tak mudah dijatuhkan di tengah jalan tanpa melalui mekanisme pemakzulan
presiden (impeachment) berdasarkan
alasan-alasan konstitusional yang bersifat restriktif, Presiden juga memegang
kekuasaan pemerintahan (Pasal 5 UUD Negara RI 1945).
Jika berkaca
pada UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan jelas ditegaskan
kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan (the chief executive) dengan
mendefinisikan bahwa menteri adalah pembantu presiden yang memimpin
kementerian. Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, seharusnya siapa pun menteri yang ditunjuk Presiden duduk
di kursi kabinet harus bertindak dalam ritme dan irama orkestra di bawah
”dirigen” sang Presiden. Menteri atau siapa pun pejabat dalam struktur
eksekutif harus mengikuti perintah Presiden.
Demikian pula,
meski sebagai jabatan politik menteri yang berasal dari unsur partai politik,
seharusnya tunduk di bawah koordinasi Presiden sebagai pucuk pimpinan
tertinggi dalam kabinet. Namun, ternyata realitas politik sistem pemerintahan
saat ini berbicara lain. Masih ada menteri yang secara administratif
merangkap jabatan di DPR karena keanggotaannya belum diputuskan sejak yang
bersangkutan diangkat sebagai pejabat di lingkungan eksekutif.
Praktik bak
sistem parlementer ini tentu saja bisa mengacaukan administrasi pemerintahan
sistem presidensial karena bertentangan dengan kelaziman administratif sistem
pemerintahan presidensial. Di sisi lain, masih terlihat beberapa menteri
menunjukkan ”kesetiaan ganda” di antara kesetiaan terhadap Presiden dan
pemimpin partai yang juga membalikkan logika berpikir sistem pemerintahan
presidensial yang mengonsentrasikan kekuasaan pemerintah di kursi Presiden.
Dalam
perspektif hubungan kerja antara Presiden dan Gubernur BI yang memang oleh
konstitusi diatribusikan ada independensi BI sebagai bank sentral, Gubernur
BI memang memimpin lembaga yang independen secara konstitusional, namun tak
berarti boleh begitu saja mengkritik secara terbuka kebijakan Presiden.
Dalam sistem
ketatanegaraan, selain terdapat hubungan kewenangan antarlembaga negara, juga
terdapat etika organisasi yang seharusnya menjadi rujukan bagi setiap pejabat
dalam bersikap dan bertutur kata. Seluruh kegaduhan yang selama ini terjadi
tampaknya disebabkan oleh masih belum dipahaminya dengan baik etika
organisasi pemerintahan.
Setiap pejabat
publik bisa ngomong sesukanya dan berpolemik di muka publik seakanakan tanpa
mempertimbangkan implikasi dari ucapannya secara sistemik maupun sosial. Di
sisi lain, fenomena kegaduhan politik itu mencerminkan tak memadainya sistem
koordinasi kewenangan antara lembaga negara maupun antarpejabat negara yang
seharusnya bisa dilakukan untuk menghindari kegaduhan politik.
Masyarakat
disuguhi tontonan tak sedap dari polemik pejabat publik yang bertutur kata
secara sembrono seakan-akan tanpa menyadari bahwa rakyat saat ini hanya
membutuhkan pemenuhan kebutuhan pokoknya tak terganggu daripada mendengar
para pejabat negara saling memaki di muka publik yang salah-salah juga bisa
berimplikasi terjadi keguncangan politik secara bertahap.
Namun, di sisi
lain, Presiden seringkali terlihat tak cukup cepat bertindak saat rakyat
membutuhkan sikap jelas dan tegas dari seorang pemimpin. Kelambanan sikap
seorang Presiden dalam memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang terjadi
bisa menimbulkan penilaian bahwa kabinet saat ini justru ”gagal menghadirkan
negara” yang menjadi logika terbalik dari Nawacita yang ingin mewujudkan
gagasan negara yang hadir dalam kehidupan rakyatnya.
Padahal,
Presiden dan para menteri sudah berupaya untuk rajin ”blusukan ” untuk
membangun citra tentang pemimpin yang care dan empatik. Lambatnya penyerapan
anggaran di daerah yang selama ini didramatisasikan seakanakan para pejabat
di daerah takut dikriminalisasikan jika kebijakannya salah dan segera
direspons oleh Presiden dengan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah
Antikriminalisasi Pejabat, membuktikan fenomena pembangkangan politik yang
dilakukan oleh beberapa oknum pejabat daerah yang abai terhadap pemenuhan
hak-hak politik maupun hak-hak ekonomi-sosial dan budaya rakyatnya melalui
pelaksanaan program/kegiatan di daerah dengan pendanaan yang bersumber dari
APBD/APBN.
Meskipun harus
diakui masih ada kelemahan dalam sistem penegakan hukum antikorupsi saat ini
karena kelemahan dalam sistem regulasi pendukungnya, pemerintah harus
memiliki kepastian arah penyelenggaraan pemerintahan secara jelas yang dapat
dijabarkan melalui kebijakan sektoral di pusat maupun daerah.
Negara tak
boleh sibuk berpolemik dengan dirinya sendiri dan rakyat dijadikan penonton
dari konflik elite dengan bahasa- bahasa yang tak sepenuhnya mereka pahami.
Rakyat hanya membutuhkan kepastian bahwa kebutuhan pokoknya terpenuhi dan
keselamatan hidupnya terjamin oleh pemerintah yang sudah mereka bayar lunas
melalui pajak yang mereka bayar secara rutin.
Pull out: Kelambanan sikap seorang Presiden dalam memberikan
solusi bisa menimbulkan penilaian bahwa kabinet saat ini justru ”gagal
menghadirkan negara” yang menjadi logika terbalik dari Nawacita yang ingin
mewujudkan gagasan negara yang hadir dalam kehidupan rakyatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar