Selasa, 17 Januari 2017

”Buzzer” dalam Politik Kontemporer

”Buzzer” dalam Politik Kontemporer
Tommy F Awuy ;  Dosen Filsafat FIB UI, IKJ, IMDI
                                                      KOMPAS, 16 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Buzzer (bajer) istilah yang terbilang masih baru, khususnya dalam dunia politik kontemporer, tetapi sudah menjadi unsur yang serius diperhitungkan. Subyek atau agen-agen politik tak segan lagi menggunakan bajer untuk memopulerkan program dan pencitraan demi memenangi kompetisi.

Istilah buzzer muncul dari penemuan teknologi audio modern, bel, lonceng, dering, dan peralatan sound system, yang pada hematnya bisa ditelusuri pula sampai pada teknologi audio tradisional semacam kentungan, gong, dan sebagainya. Istilah ini lalu digunakan dalam marketing pemasaran oleh perusahaan-perusahaan besar untuk memperkenalkan produknya lewat figur- figur populer.

Istilah buzzer makin akrab dikenal sejak era ”masyarakat internet”, tahun 1990-an, di mana media massa tidak lagi terbatas pada televisi, radio, dan media cetak. Masyarakat internet akrab dengan laman atau situs-situs komunikatif yang lebih cepat bisa diakses secara lebih personal. Kemunculan Youtube, Facebook, WhatsApp, Tweeter, Instagram, dan sejenisnya membuat bajer mendapat posisi istimewa karena kian jelas popularitasnya dengan hitungan jumlah follower.

Bajer kini adalah sosok atau pihak penting dalam marketing periklanan. Bukan saja oleh perusahaan-perusahaan besar, juga oleh siapa saja yang mengharapkan peningkatan citra dan untuk memenangi sebuah kompetisi. Tak mengherankan apabila bajer lalu menjadi sebuah profesi mandiri dan seksi, khususnya dalam dunia media komunikasi digital.

Di negeri kita, bajer mulai menjadi fenomena dalam dunia politik bisa terhitung sejak Pilkada 2012. Kendati jika disimak pengertiannya secara umum,bajer bisa diacukan juga pada praktik lembaga-lembaga survei yang muncul sebelumnya, khususnya mereka yang dibayar oleh subyek atau agen politik tertentu. Dalam media sosial (medsos), bajer adalah akun yang dibayar untuk memengaruhi pemilih demi pemenangan dalam kompetisi politik.

Keserempakan

Mengapa bajer adalah profesi yang kemunculannya tak terelakkan? Hal ini hanya bisa dipahami dengan melihat dari atau dalam konteks apa ia muncul, yakni era masyarakat internet atau media komunikasi digital.

Bajer muncul karena desakan kebutuhan oleh semangat zaman yang menunjuk pada sebuah gerak komunikasi yang serba ”cepat dan serempak” penerimaannya. Untuk ini, kita butuh penjelasan dari seorang yang dianggap sebagai bapaknya komunikasi media informasi, yakni Marshall McLuhan, dengan apa yang dikonsepkannya sebagai simultaneously dalam bukunya yang spektakuler, Understanding Media, the Extension of Man (1964).

Dengan hadirnya dua teknologi komunikasi satelit dan komputer, serta dipacu teknologi elektrik, menurut McLuhan, kita memasuki abad postliterate, yakni semangat ”keserempakan” yang menampik gerak komunikasi yang sistematik atau kontinu sebagaimana pada abad literate. ”Siaran langsung” sebagai salah satu contoh merupakan modus komunikasi yang revolusioner, di mana dunia bisa secara berbarengan menyaksikan sebuah peristiwa tanpa bergantung pada serangkaian hitungan waktu satu dengan lainnya.

Semangat keserempakan ini memberikan pemahaman pada kita bagaimana media komunikasi menjadi jawaban bagi kebijakan ekonomi, politik, budaya oleh negara-negara di dunia untuk eksis dan—langsung atau tak langsung—mengikat diri mereka membangun dunia baru yang disebut global village (desa gede). Dengan topangan internet, dunia global nyaris tak ada batasan ruang waktu yang signifikan.

Dunia dengan ruang waktu yang menyempit dan nyaristak kenal batas dalam semangat keserempakan ini logisnya menuntut daya kompetisi ekstra cepat- ketat. Dalam dunia politik, fenomena ini akan saya kaitkan dengan konsep dromocracy oleh filsuf kontemporer Perancis, Paul Virilio, Speed and Politics (1977). Bagi Virilio, dalam konteks komunikasi ini politik tak lain adalah urusan distribusi logistik, dan menguasai sarana-sarana komunikasi transportasi merupakan sebuah keniscayaan.

Istilah dromocracy diambil Virilio dari bahasa Yunani Kuno yang diterjemahkan sebagai speed untuk menggambarkan bagaimana politik modern bergantung pada sarana-sarana transportasi untuk pendistribusian logistik secara cepat dan efektif. Geografi pun jadi urusan krusial bagi gerak politik dalam perhitungan waktu jarak tempuh: darat, laut, dan udara. Namun, dengan munculnya teknologi media komunikasi internet-digital, serta-merta persoalan itu harus dipertimbangan serius oleh dunia politik.

Fenomena dan performa

Meminjam istilah simultaneouly McLuhan dan dromocracy Virilio ini sekadar menunjuk kecepatan gerak dunia politik, yang mau tidak mau mesti menyelaraskan diri dengan jiwa teknologi media informasi digital ini. Bajer muncul sebagai sebuah peran yang menawarkan efektivitas pendistribusian logistik tersebut dengan modus kekhasan semangat keserempakan atau kecepatannya. Jelas, politik kontemporer tidak lagi bermain dalam kekuatan demonstrasi logistik di jalanan. Media sosial telah mengambil alih jadi sebuah ”parlemen baru” dalam mengonstruksi isu dan informasi untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik keseharian.

Bajer adalah pekerja dengan satu tujuan, yakni menguasai dan memenangi kompetisi sebagai tuntutan logis semangat zaman dromocracy. Suatu hal, selain mengandalkan modal pengaruh atau karisma popularitas dan pengetahuan, mereka memiliki pula keterampilan komunikatif tertentu. Bajer sadar soal keberadaan masyarakat dengan kebutuhan, keinginan, dan harapannya. Di sana ada jarak waktu dan emosi yang harus dipertimbangkannya sewaktu-waktu. Audiens atau akun dalam media sosial tidaklah tunggal, baik akun pengikut maupun yang bukan ataupun dari akun penyambar.

Pada sisi yang lain, subyek atau agen politik tidak hanya mengandalkan bajer yang memiliki banyak pengikut karena mereka selebritas, tetapi bisa saja menciptakan bajer-bajer dengan nama yang sama sekali tak dikenal, bahkan anonim. Dari sini kita lalu bisa menilik pada fenomena yang sedang berlangsung di medsos.

Bajer selebritas biasanya cukup hati-hati dengan isi dan gaya bahasanya dan tahu sekali menjaga jarak waktu mewarta agar tidak begitu mencolok sebagai bajer lalu dicibir, dibuli, dan diunfollow. Sementara bajer-bajer buatan dadakan biasanya demikian beragam, memilih untuk mencari perhatian dengan bahasa makian, lucu, iba, optimistis, benci, bahkan dengan berita bohong (hoax) dan tak segan melayangkan gambar, video, foto meme berbagai macam.

Dunia medsos dan bajer adalah sebuah dunia dalam bahasa performatif. Betapa pun isian-isian warta bajer terkait dengan fakta, tetapi bukan pada fakta untuk menyatakan benar atau tidaknya, tetapi pada dimensi apakah kita terbujuk dan tunduk atau tidak.

Penting untuk ditekankan di sini bahwa performatika bajer akan kurang relevan jika kita mencoba serius menggunakan logika untuk mengkritisinya. Lebih baik menanggapinya dengan apakah kita merasa terhibur atau terhina. Jika terhibur, kita ikuti saja pewartaannya tanpa harus terpengaruh dan meyakininya. Jika merasa terhina, sebaiknya kita hapus saja dari lini-masa karena jika kita menyerang balik, akan sia-sialah hasilnya tersebab jelas tidak akan berpengaruh pada bajer tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar