”Buzzer”
dalam Politik Kontemporer
Tommy F Awuy ; Dosen Filsafat FIB UI, IKJ, IMDI
|
KOMPAS, 16 Januari
2017
Buzzer
(bajer) istilah yang terbilang masih baru, khususnya dalam dunia politik
kontemporer, tetapi sudah menjadi unsur yang serius diperhitungkan. Subyek
atau agen-agen politik tak segan lagi menggunakan bajer untuk memopulerkan
program dan pencitraan demi memenangi kompetisi.
Istilah
buzzer muncul dari penemuan teknologi audio modern, bel, lonceng, dering, dan
peralatan sound system, yang pada hematnya bisa ditelusuri pula sampai pada
teknologi audio tradisional semacam kentungan, gong, dan sebagainya. Istilah
ini lalu digunakan dalam marketing pemasaran oleh perusahaan-perusahaan besar
untuk memperkenalkan produknya lewat figur- figur populer.
Istilah
buzzer makin akrab dikenal sejak era ”masyarakat internet”, tahun 1990-an, di
mana media massa tidak lagi terbatas pada televisi, radio, dan media cetak.
Masyarakat internet akrab dengan laman atau situs-situs komunikatif yang
lebih cepat bisa diakses secara lebih personal. Kemunculan Youtube, Facebook,
WhatsApp, Tweeter, Instagram, dan sejenisnya membuat bajer mendapat posisi
istimewa karena kian jelas popularitasnya dengan hitungan jumlah follower.
Bajer
kini adalah sosok atau pihak penting dalam marketing periklanan. Bukan saja
oleh perusahaan-perusahaan besar, juga oleh siapa saja yang mengharapkan
peningkatan citra dan untuk memenangi sebuah kompetisi. Tak mengherankan
apabila bajer lalu menjadi sebuah profesi mandiri dan seksi, khususnya dalam
dunia media komunikasi digital.
Di
negeri kita, bajer mulai menjadi fenomena dalam dunia politik bisa terhitung
sejak Pilkada 2012. Kendati jika disimak pengertiannya secara umum,bajer bisa
diacukan juga pada praktik lembaga-lembaga survei yang muncul sebelumnya,
khususnya mereka yang dibayar oleh subyek atau agen politik tertentu. Dalam
media sosial (medsos), bajer adalah akun yang dibayar untuk memengaruhi
pemilih demi pemenangan dalam kompetisi politik.
Keserempakan
Mengapa
bajer adalah profesi yang kemunculannya tak terelakkan? Hal ini hanya bisa
dipahami dengan melihat dari atau dalam konteks apa ia muncul, yakni era
masyarakat internet atau media komunikasi digital.
Bajer
muncul karena desakan kebutuhan oleh semangat zaman yang menunjuk pada sebuah
gerak komunikasi yang serba ”cepat dan serempak” penerimaannya. Untuk ini,
kita butuh penjelasan dari seorang yang dianggap sebagai bapaknya komunikasi
media informasi, yakni Marshall McLuhan, dengan apa yang dikonsepkannya
sebagai simultaneously dalam bukunya yang spektakuler, Understanding Media,
the Extension of Man (1964).
Dengan
hadirnya dua teknologi komunikasi satelit dan komputer, serta dipacu
teknologi elektrik, menurut McLuhan, kita memasuki abad postliterate, yakni
semangat ”keserempakan” yang menampik gerak komunikasi yang sistematik atau
kontinu sebagaimana pada abad literate. ”Siaran langsung” sebagai salah satu
contoh merupakan modus komunikasi yang revolusioner, di mana dunia bisa
secara berbarengan menyaksikan sebuah peristiwa tanpa bergantung pada
serangkaian hitungan waktu satu dengan lainnya.
Semangat
keserempakan ini memberikan pemahaman pada kita bagaimana media komunikasi
menjadi jawaban bagi kebijakan ekonomi, politik, budaya oleh negara-negara di
dunia untuk eksis dan—langsung atau tak langsung—mengikat diri mereka
membangun dunia baru yang disebut global village (desa gede). Dengan topangan
internet, dunia global nyaris tak ada batasan ruang waktu yang signifikan.
Dunia
dengan ruang waktu yang menyempit dan nyaristak kenal batas dalam semangat
keserempakan ini logisnya menuntut daya kompetisi ekstra cepat- ketat. Dalam
dunia politik, fenomena ini akan saya kaitkan dengan konsep dromocracy oleh
filsuf kontemporer Perancis, Paul Virilio, Speed and Politics (1977). Bagi Virilio,
dalam konteks komunikasi ini politik tak lain adalah urusan distribusi
logistik, dan menguasai sarana-sarana komunikasi transportasi merupakan
sebuah keniscayaan.
Istilah
dromocracy diambil Virilio dari bahasa Yunani Kuno yang diterjemahkan sebagai
speed untuk menggambarkan bagaimana politik modern bergantung pada
sarana-sarana transportasi untuk pendistribusian logistik secara cepat dan
efektif. Geografi pun jadi urusan krusial bagi gerak politik dalam
perhitungan waktu jarak tempuh: darat, laut, dan udara. Namun, dengan
munculnya teknologi media komunikasi internet-digital, serta-merta persoalan
itu harus dipertimbangan serius oleh dunia politik.
Fenomena dan performa
Meminjam
istilah simultaneouly McLuhan dan dromocracy Virilio ini sekadar menunjuk
kecepatan gerak dunia politik, yang mau tidak mau mesti menyelaraskan diri
dengan jiwa teknologi media informasi digital ini. Bajer muncul sebagai
sebuah peran yang menawarkan efektivitas pendistribusian logistik tersebut
dengan modus kekhasan semangat keserempakan atau kecepatannya. Jelas, politik
kontemporer tidak lagi bermain dalam kekuatan demonstrasi logistik di
jalanan. Media sosial telah mengambil alih jadi sebuah ”parlemen baru” dalam
mengonstruksi isu dan informasi untuk memengaruhi keputusan-keputusan politik
keseharian.
Bajer
adalah pekerja dengan satu tujuan, yakni menguasai dan memenangi kompetisi
sebagai tuntutan logis semangat zaman dromocracy. Suatu hal, selain
mengandalkan modal pengaruh atau karisma popularitas dan pengetahuan, mereka
memiliki pula keterampilan komunikatif tertentu. Bajer sadar soal keberadaan
masyarakat dengan kebutuhan, keinginan, dan harapannya. Di sana ada jarak
waktu dan emosi yang harus dipertimbangkannya sewaktu-waktu. Audiens atau
akun dalam media sosial tidaklah tunggal, baik akun pengikut maupun yang
bukan ataupun dari akun penyambar.
Pada
sisi yang lain, subyek atau agen politik tidak hanya mengandalkan bajer yang
memiliki banyak pengikut karena mereka selebritas, tetapi bisa saja
menciptakan bajer-bajer dengan nama yang sama sekali tak dikenal, bahkan
anonim. Dari sini kita lalu bisa menilik pada fenomena yang sedang
berlangsung di medsos.
Bajer
selebritas biasanya cukup hati-hati dengan isi dan gaya bahasanya dan tahu
sekali menjaga jarak waktu mewarta agar tidak begitu mencolok sebagai bajer
lalu dicibir, dibuli, dan diunfollow. Sementara bajer-bajer buatan dadakan
biasanya demikian beragam, memilih untuk mencari perhatian dengan bahasa
makian, lucu, iba, optimistis, benci, bahkan dengan berita bohong (hoax) dan
tak segan melayangkan gambar, video, foto meme berbagai macam.
Dunia
medsos dan bajer adalah sebuah dunia dalam bahasa performatif. Betapa pun
isian-isian warta bajer terkait dengan fakta, tetapi bukan pada fakta untuk
menyatakan benar atau tidaknya, tetapi pada dimensi apakah kita terbujuk dan
tunduk atau tidak.
Penting
untuk ditekankan di sini bahwa performatika bajer akan kurang relevan jika
kita mencoba serius menggunakan logika untuk mengkritisinya. Lebih baik
menanggapinya dengan apakah kita merasa terhibur atau terhina. Jika terhibur,
kita ikuti saja pewartaannya tanpa harus terpengaruh dan meyakininya. Jika
merasa terhina, sebaiknya kita hapus saja dari lini-masa karena jika kita
menyerang balik, akan sia-sialah hasilnya tersebab jelas tidak akan
berpengaruh pada bajer tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar