Ancaman
Partisipasi Pilkada
Ali Rif’an ; Peneliti Poltracking Indonesia
|
KOMPAS, 10 Januari
2017
Riak-riak
ancaman golongan putih atau golput pada pergelaran pilkada serentak 2017
mulai menyembul di sejumlah daerah. Ancaman itu, misalnya, datang dari Kota
Cimahi, Jawa Barat. Salah satu calon, Atty Suharti, ditangkap KPK bersama
suaminya dalam kasus dugaan korupsi pembangunan pasar di Cimahi.
Selain
dari Kota Cimahi, ancaman golput juga mengemuka dari DKI Jakarta, tepatnya di
Kepulauan Seribu. Ancaman dilayangkan tokoh masyarakat dan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi). Salah satu alasan adalah berlarutnya permasalahan
sengketa kepemilikan lahan di Pulau Pari antara warga dan suatu perusahaan.
Dua
peristiwa itu seakan menambah pesimisme terhadap tingkat partisipasi pemilih
pada pilkada serentak gelombang kedua Februari 2017. Sebab, partisipasi di
pilkada gelombang pertama 2015 cukup mengecewakan, 64,02 persen. Jumlah
tersebut jauh di bawah target KPU, 77,5 persen. Bahkan, di beberapa daerah
angkanya di bawah 50 persen, misalnya Kota Medan (18 persen) dan Kabupaten
Lamongan (28 persen).
Mengutip
Prihatmoko (2005), pemilihan kepala daerah secara langsung, baik gubernur
maupun bupati/wali kota, merupakan perwujudan pengembalian hak- hak dasar
dalam memilih pemimpin di daerah. Pemilihan langsung lahir sebagai sebuah
kehendak untuk menjadikan rakyat pemegang kedaulatan tertinggi. Semakin
tinggi tingkat partisipasi pemilih, maka semakin tinggi pula mandat yang
diberikan rakyat. Sebaliknya, rendahnya partisipasi pemilih-apalagi di bawah
50 persen-berimplikasi terhadap "pincangnya" mandat rakyat terhadap
pemimpin terpilih di satu sisi dan runtuhnya kedaulatan rakyat di sisi lain.
Ancaman serius
Karena
itu, munculnya gelombang gerakan "emoh nyoblos" baru-baru ini
merupakan ancaman yang perlu disikapi secara serius. Pertama, penyelenggara
pilkada mesti lebih gencar melakukan sosialisasi politik ihwal pentingnya
berpartisipasi dalam hajatan demokrasi, bukan sekadar sosialisasi terkait
hal-hal teknis pilkada. Sebab, selama ini, porsi penyelenggara pilkada lebih
getol sosialisasi terkait hal teknis ketimbang sosialisasi politik terkait
pentingnya partisipasi.
Sosialisasi
politik, mengutip Efrizal (2012), ialah proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik
ini, masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik
yang berlangsung dalam masyarakat.
Kedua,
penyelenggara pilkada perlu melakukan terobosan-terobosan kreatif guna menarik
simpati pemilih. Sebagai contoh, apa yang dilakukan KPU Banten baru-baru ini
bisa dicontoh dan menjadi inspirasi. Untuk meningkatkan partisipasi pemilih
di Pilkada 2017, KPU Banten (bekerja sama Perludem dan UMN) memanfaatkan
teknologi dengan perlombaan Apps Challenge.
Melalui
cara itu, mereka ingin menghadirkan nuansa fun tetapi mendidik, terutama
kepada anak-anak muda yang senang bermain teknologi informasi (TI), misalnya
game. Cara ini rupanya dapat menarik minat segmen pemilih muda dan pemula di
mana mayoritas dari mereka adalah pengguna teknologi internet. Hal ini
terbukti saat Pemilu 2014.
Ketiga,
penyelenggara pilkada perlu, misalnya, mendiagnosis secara geografis
daerah-daerah mana yang rawan terjadi golput-seperti kasus di Kota Cimahi dan
Kepulauan Seribu-sekaligus dari sisi demografis kelompok-kelompok mana yang
belum menentukan pilihan (undecided voters).
Gelar survei
Untuk
mengetahui kelompok undecided voters ini, penyelenggara pilkada dapat
menggelar survei atau bekerja sama dengan lembaga survei. Ceruk pemilih itu
yang nantinya perlu diberikan sosialisasi intensif-kalau perlu face to
face-guna mengubah persepsi mereka agar mau memberikan hak pilihnya.
Keempat,
penyelenggara pilkada perlu mendorong munculnya kampanye-kampanye kreatif dan
membuka sebanyak-banyaknya ruang debat publik. Kampanye kreatif penting
dengan memuat gagasan sekaligus hiburan. Selain cenderung disukai kalangan
muda, kampanye kreatif juga dapat menjadi sarana sosialisasi politik
sekaligus menyemarakkan pergelaran demokrasi.
Sosialisasi visi
Sementara
debat publik berfungsi untuk meyakinkan pemilih sekaligus sosialisasi program
dan visi misi kandidat. Ini penting supaya pemilih tidak seperti membeli
kucing dalam karung. Selain itu, mimbar debat biasanya juga dapat menarik
simpati kelompok-kelompok (pemilih) yang belum menentukan pilihan (undecided voters).
Akhirnya,
kita berharap ancaman partisipasi pada "pilkada borongan" gelombang
kedua ini bisa diatasi dan diantisipasi. Kita tidak ingin penyelenggara
pilkada masuk dalam lubang yang sama. Mumpung masih ada waktu, bekerjalah
dengan lebih trengginas.
Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar