Menghadirkan
Negara dalam Pengelolaan SDA
Hariadi Kartodihardjo ; Guru Besar Kebijakan Kehutanan
Institut Pertanian Bogor; Narasumber GNSDA- Komisi Pemberantasan Korupsi
|
KOMPAS, 10 Januari
2017
Sangatlah
tepat di dalam Nawacita disebut ada persoalan negara tidak hadir.
Ketidakhadiran negara dapat disebabkan oleh berbagai bentuk. Salah satu di
antaranya berupa privatisasi peran intervensi negara dalam pengelolaan sumber
daya alam.
Peran
negara diambil untuk kepentingan perorangan atau kelompok penyelenggara
negara itu sendiri atas nama daerah dan sektor-sektor. Maka, harapan negara
hadir semestinya bukanlah hadir secara fisik belaka, melainkan hadir dengan
kelahiran baru yang dapat memegang nilai dan norma sebagai negara.
Kebijakan
penataan ruang dan lingkungan hidup dapat dianggap relatif terbebas dari
kepentingan sektor-sektor itu secara langsung. Semua sektor memerlukannya.
Secara ideal, dua undang-undang yang mengaturnya, yaitu UU Penataan Ruang dan
UU Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah memandatkan kepentingan
sektor-sektor dalam memanfaatkan ruang berdasarkan kriteria agar dipenuhinya
kepentingan publik, yaitu tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
Berdasarkan
data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), semua provinsi telah
memiliki peraturan daerah mengenai penataan ruang, kecuali Sumatera Utara,
Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Namun,
kenyataan di lapangan menunjukkan kecilnya hubungan antara keberadaan perda
serta banyaknya konflik penggunaan hutan dan lahan.
Dalam
15 tahun terakhir, terutama di luar Pulau Jawa, perkembangan industri
ekstraktif, seperti tambang maupun perkebunan kelapa sawit, dan akibat
perkembangannya mengikuti mekanisme pasar (intervensi negara tidak hadir)
telah mengurangi fungsi kawasan hutan negara ataupun hilangnya lahan-lahan
pertanian tanaman pangan produktif secara signifikan.
Misalnya,
secara nasional kawasan konservasi yang telah jadi tambang seluas 1,3 juta
hektar. Hutan lindung yang telah jadi tambang 4,9 juta hektar. Itu berarti
ancaman bagi pertanian tanaman pangan bukan hanya lahan tanaman pangan
berkurang, melainkan pasokan sumber daya air juga akan kian menyusut.
Di
Jawa juga serupa. Sawah dan lahan-lahan pertanian produktif dikonversi dari
waktu ke waktu, baik akibat perkembangan perkotaan dan perumahan, industri
ekstraktif seperti semen, maupun hilangnya fungsi lahan pertanian itu akibat
tidak adanya pasokan air yang diperlukan.
Tidak
berjalannya pengendalian ruang juga disebabkan oleh tak berjalannya
pembangunan ekonomi berbasis ekoregion yang dipandu melalui Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan harus diadopsi oleh
Rencana Pembangunan Jangka Panjang ataupun Menengah oleh pusat dan daerah,
kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) bagi pelaksanaan kebijakan, rencana
ataupun program sebagaimana dituangkan dalam UU PPLH.
Dari
proses Nota Kesepakatan Bersama/Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya
Alam (NKB/GNSDA) KPK diketahui bahwa implementasi UU PPLH itu secara politik
dalam lima tahun terakhir dihambat oleh semua sektor pembangunan yang
berbasis ekonomi.
Mengapa negara tak hadir
Fungsi
negara yang dijalankan pemerintah/pemda di lapangan dapat dikalahkan oleh
privatisasi peran intervensi negara akibat setidaknya dua hal. Pertama,
kapasitas penyelenggaraan pemerintahan yang terbatas (materiil, moril) telah
terbeli oleh nilai triliunan rupiah dari rente ekonomi ataupun kewajiban
usaha-usaha pembayar pajak yang sengaja tidak dipenuhi.
Misalnya
dalam laporan pelaksanaan NKB-KPK 2013 terdapat perusahaan tambang yang tak
clear and clean dan tak membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak puluhan
triliun rupiah. Dari 474 perusahaan kebun di Riau yang dilaporkan Dinas
Perkebunan Provinsi Riau (2016), 127 di antaranya tak berizin. Kantor Pajak
Provinsi Riau juga melaporkan jumlah perusahaan yang berizin yang membayar
pajak hanya sepertiganya. Hal ini dikonfirmasi Komisi A DPRD Provinsi Riau,
awal Agustus 2016, yang melaporkan bahwa target pajak daerah dari perkebunan
Rp 24 triliun hanya diterima Rp 9 triliun.
Pemberi
izin dan perusahaan turut andil dan membiarkan situasi tersebut dengan cara
tak bersedia memberikan data perusahaan kepada petugas pajak. Dengan situasi
seperti itu, artinya terdapat potensi Rp 15 triliun per tahun di Riau untuk
membeli pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh negara.
Kedua,
akibat adanya state capture (upaya sekelompok orang, di dalam dan di luar
pemerintahan yang memengaruhi isi peraturan dan/atau pengambilan keputusan
sehingga menguntungkan mereka dan pada waktu yang sama merugikan kepentingan
publik), mereka dapat menjalankan misi buruknya melalui regulasi atau
keputusan sah.
State
capture dalam pengelolaan SDA dapat mengakibatkan alokasi pemanfaatan sumber
daya cenderung untuk kelompok usaha tertentu, pajak yang dibayar lebih rendah
dari yang seharusnya, izin usaha dapat diperluas dan/diperpanjang meski tak
sesuai ketentuan, syarat kinerja usaha terutama terhadap dampak sosial dan
lingkungan dapat diperlonggar. Namun, dalam waktu yang sama terjadi
keputusan-keputusan transaksional dengan biaya tinggi yang harus dibayar
perusahaan.
Sejauh
perusahaan mempunyai rente ekonomi tinggi, bukan hanya karena usahanya secara
finansial menguntungkan, melainkan juga akibat membayar pajak yang rendah
atau tak membayar pajak sama sekali, biaya-biaya transaksional tak jadi
kendala. Namun, apabila iklim usahanya buruk, seperti dialami usaha hutan
alam produksi saat ini, usaha-usaha itu cenderung bangkrut. Meski begitu,
bangkrut dan rusaknya hutan alam tidak serta- merta merugikan pengusaha
karena seluruh kekayaan alam yang dimanfaatkan milik negara.
Kedua
hal itu mengakibatkan tindakan-tindakan di lapangan harus dianggap legal,
karena sesuai peraturan perundang-undangan, tetapi jiwa dan substansinya
penuh sengketa sehingga walau legal tetapi tak memiliki legitimasi secara
sosial. Demikian pula posisi pemerintah/pemda serta aparat keamanan bukan
menjadi instrumen negara yang dapat melakukan intervensi pasar pemanfaatan
SDA, melainkan menjadi bagian dari mekanisme pasar itu sendiri.
Maka,
siapa yang kuat dialah yang menang, ibarat di sebuah pasar: siapa yang punya
uang dialah yang bisa membeli barang, tak peduli orang lain dapat memperoleh
barang itu atau tidak. Itulah yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Kehadiran negara justru bersaing dengan kebutuhan masyarakat banyak karena
negara berfungsi sebagai privat.
Kondisi
itu menyebabkan hal- hal yang menjadi kepentingan publik, seperti lingkungan
hidup, ataupun hal-hal yang jadi kepentingan golongan masyarakat yang lemah
secara politik, seperti petani, diabaikan. Maka, mudah dimengerti mengapa UU
No 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan tidak
bisa berjalan.
Permintaan
lahan untuk pangan, ketika peran negara digantikan free riders, tak ada yang
akan memenuhinya. Karena permintaan tak disertai kesanggupan bersaing dengan
membayar biaya transaksi, sebagaimana permintaan lahan yang sama untuk
non-pertanian telah disediakan triliunan rupiah.
Peran penting tata kelola
Persoalan
di atas hanya dapat diselesaikan apabila negara dapat fokus menyelesaikan
soal hak/ status dan fungsi hutan/lahan. Kepastian property rights dan
keadilan alokasinya, baik secara ekonomi maupun institusi, akan menghidupkan
insentif pemanfaatan sumber daya bagi rakyat kecil ataupun pengusaha besar.
Juga meminimumkan perilaku free riders dan situasi transaksional, karena
kejelasan lokasi, penguasaan, ataupun fungsi SDA akan memperkecil peluang
terjadinya manipulasi.
Bagaimana
melakukannya? Nawacita yang telah populer sejak dua tahun lalu masih tumpul
ketika memasuki ruang politik pengelolaan SDA di lapangan, di mana jiwa
Nawacita harus diwujudkan bentuknya. Berbagai bentuk perubahan untuk
perbaikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional juga
belum mampu menggeser privatisasi peran negara di lapangan itu.
Untuk
itu, yang mungkin dapat dilakukan adalah membuka jaringan privatisasi peran
negara itu melalui keterbukaan informasi dalam pengelolaan SDA. Di samping
itu, penegasan presiden sekali lagi dalam pemberantasan korupsi sangat
diperlukan. Demikian pula janji pimpinan KPK di awal pelaksanaan jabatannya
untuk memperkuat pencegahan korupsi harus diwujudkan.
Untuk
itu, KPK perlu tetap fokus dan mendesain pemberantasan korupsi di
sektor-sektor SDA untuk memecah jaringan privatisasi peran negara. Di samping
itu juga perlu penguatan fungsi koordinasi dan supervisi guna mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pengelolaan SDA. Itu
artinya kedua program KPK, pencegahan dan penindakan, perlu diintegrasikan
agar dapat saling menunjang.
Pengalaman
saya melakukan fasilitasi dalam pelaksanaan perbaikan tata kelola seperti
itu, di kementerian/lembaga ataupun di tingkat provinsi dalam dua tahun
terakhir, sangat tidak efektif apabila tak diikuti koordinasi dan supervisi
KPK. Hal itu dapat dipahami karena kehadiran negara, kalaupun memang sudah
hadir, baru sebatas fisiknya. Sementara nilai dan normanya sebagai negara
yang sesungguhnya masih tertinggal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar