Kamis, 01 Oktober 2015

Tiongkok, BUMN, Sistem Global

Tiongkok, BUMN, Sistem Global

Fachry Ali ;   Salah Satu Pendiri Lembaga Studi
dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia
                                                       KOMPAS, 01 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Merenungkan perkembangan ekonomi global dewasa ini, apa yang bisa dipelajari dari pengalaman Republik Rakyat Tiongkok?

Dengan mengacu pada krisis finansial global 2008, Rana Foroohar menulis di Newsweek (19/1/2009), ”Tiongkok adalah satu-satunya ekonomi utama yang mungkin memperlihatkan pertumbuhan berarti tahun ini karena negara ini satu-satunya yang secara rutin melanggar aturan-aturan ekonomi dalam buku teks”.

Apa yang dimaksudkan dengan ”pelanggaran” di sini? Jawabannya adalah karena kebijakan ekonomi Tiongkok lebih mengandalkan badan usaha milik negara (BUMN) daripada mekanisme pasar. Dan justru karena itu, perekonomian Tiongkok tidak saja sintas (survive), tetapi juga terus tumbuh.

Pernyataan ini berjalan seiring analisis sejarawan keuangan Niall Ferguson. Dalam karyanya, The Great Degeneration (2012), Ferguson memperkenalkan frasa stationary state, negara kaya yang telah berhenti tumbuh. Dengan terus terang Ferguson menyatakan, ”It is we Westerners who are in the stationary state.” Lalu, bagaimana dengan Tiongkok? Ferguson menjawab, ”Tiongkok tumbuh lebih cepat dibandingkan perekonomian utama dunia. Kepemimpinan sejarah ekonomi beralih kepada pihak lain.”

Peralihan model pertumbuhan

Di dalam beberapa hal, peralihan kepemimpinan ekonomi dunia kepada Tiongkok ini tidak saja ditandai bahwa negara itu menjadi aktor utama kedua setelah Amerika Serikat dalam perekonomian dunia sejak reformasi ekonomi Deng Xiaoping pada 1979. Peralihan itu juga karena perannya sebagai penarik gerbong perekonomian global akibat Resesi Besar (The Great Recession) 2008 dengan menyerap ekspor berbagai belahan dunia. Dalam tulisannya di The Jakarta Post (6/9), Leonid Bershidsky menyatakan, di samping menyerap ekspor negara-negara G-20, Tiongkok juga telah membuat ekspor Australia, Brasil, dan Afrika Selatan sangat tergantung kepadanya.

Persoalannya adalah mengapa perekonomian Tiongkok lesu dewasa ini? Menurut Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde dalam pidatonya di Universitas Indonesia (1/9), adalah penyesuaian perekonomian Tiongkok ke dalam model pertumbuhan ekonomi baru (a new economic growth model) yang lebih didasarkan pada mekanisme pasar. Lagarde tak menjelaskan mengapa penyesuaian ini harus dilakukan. Dalam spekulasi saya, strategi pertumbuhan ekonomi yang didorong ekspor (export-led growth strategy) yang dilaksanakan selama ini membuat perekonomian Tiongkok rentan terhadap Dutch disease (”penyakit Belanda”).

Penyakit Belanda ini adalah gejala kemakmuran ekonomi sebuah negara akibat pertumbuhan ekspor yang mendongkrak kenaikan upah dalam negeri dan, akhirnya, membuat produk negara itu tak kompetitif di pasar global. Ini cocok dengan data upah yang disodorkan Bershidsky dalam tulisan terkutip di atas. Sampai akhir 2014, upah buruh Tiongkok mencapai 770 dollar AS per bulan. Angka ini tergolong tinggi mengingat upah buruh di Rusia dan Romania masing-masing 591 dollar AS dan 632 dollar AS per bulan. Dengan fakta ini, Bershidsky menulis, ”Made in China isn’t always the best option now”.

Inilah yang mendorong penyesuaian model pertumbuhan Tiongkok yang, merunut kembali kepada Bershidsky, diwujudkan pada services-driven growth (pertumbuhan yang dihela sektor jasa). Namun, peralihan ini problematik karena sumbangan sektor industri dalam pertumbuhan Tiongkok menurun. Celakanya, kendatipun meningkat (di atas 10 persen pada semester pertama dibandingkan tahun lalu), ekspansi konsumsi dalam negeri melambat dibandingkan lima tahun lalu ketika pertumbuhan penjualan eceran (retail sale growth) mencapai 20 persen.

Pelambatan ini tidak bisa tergantikan secara penuh karena melemahnya ekspor. Jalan tercepat pemulihan konsumsi dalam negeri ini adalah kembali pada export-driven model. Maka, pelemahan mata uang yuan adalah jalan tercepat mencapai tujuan itu. Walau pada tingkat dunia devaluasi mata uang Tiongkok itu telah menyebabkan pelarian modal, seperti dinyatakan The Economist (29 Agustus), sebesar 5 triliun dollar AS dari pasar modal dunia demi kembali pada export-driven model, tindakan itu harus dilakukan Tiongkok untuk menggenjot ekspor.

Sementara menunggu akhir cerita ini, ada pertanyaan penting menyangkut struktur dan sistem ekonomi global. Apakah ekonomi di bawah kepemimpinan negara (state-led economy) yang dimotori BUMN secara struktural menjadi tidak relevan sehingga mendorong penyesuaian strategi pertumbuhan ekonomi Tiongkok dewasa ini? Ini diajukan karena realitas ekonomi global lebih mencerminkan artikulasi kekuatan modal swasta daripada negara. Demi menciptakan efisiensi, produktivitas dan kontrol atas inflasi, menurut David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism (2005), justru negara-negara di seluruh dunia harus mengorganisasikan diri guna memberi kesempatan kebebasan modal swasta mengalir ke berbagai belahan dunia. Dalam arti kata lain, sebagai non-market actor, negara harus mundur dari ekonomi. BUMN, dengan demikian, termasuk di dalamnya.

Dalam terbitan 19 September, The Economist, majalah ekonomi yang lahir di Inggris pada 1843 (dan karena itu berpengaruh), menyatakan, salah urus BUMN berkaitan dengan masalah ekonomi Tiongkok dewasa ini. Itulah sebabnya, The Economist menjuluki BUMN negara itu sebagai bloated behemoths (monster raksasa bengkak). Contohnya China National Erzhong Group, BUMN permesinan, yang akhir-akhir ini berpotensi gagal membayar bunga pinjamannya 150 juta dollar AS. Tak perlu dijelaskan, dengan ini The Economist lantas menyerukan pemberlakuan sistem ekonomi pasar bagi Tiongkok.

Dalam faktanya, justru BUMN-BUMN Tiongkok yang memperlihatkan kemampuan ekspansif tingkat global. The Wall Street Journal (31 Agustus-2 September 2012) melukiskan gerak ekspansi China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan kemampuan modal raksasa dan karena itu berani melakukan blockbuster deal (tindakan bisnis besar). Untuk membeli perusahaan energi Kanada, Nexen Inc, misalnya, CNOOC mampu menyediakan dana 15 miliar dollar AS. Bahkan, The Economist sendiri mengakui kemampuan ekspansi BUMN ini.

Dalam terbitan 4 Agustus 2012, majalah ini melukiskan dua BUMN telekomunikasi Tiongkok, Huawei dan ZTE, telah berekspansi dari pasar dalam negerinya yang luas untuk menjadi pemain global. Ekspansi ini ditandai kemampuan menangguk untung besar. Melebihi perusahaan telekomunikasi yang lebih ”senior”, seperti Ericsson (dengan pendapatan 15,5 miliar dollar AS) pada Juli 2012, Huawei berhasil menangguk pendapatan 16 miliar dollar AS pada periode yang sama. Sementara data mutakhir Huawei tidak diketahui, kekayaan total CNOOC adalah 671,8 miliar yuan atau kira-kira 97 miliar dollar AS pada pertengahan 2015. Dan, seperti dinyatakan Jonathan R Woetzel dalam Reassessing China’s State-Owned Enterprises (2008), terdapat 150 BUMN Tiongkok yang berkemampuan setingkat ini.

Inilah, antara lain, pelajaran yang terpetik dari pengalaman ekonomi Tiongkok dewasa ini. Bahwa perkembangan BUMN Tiongkok dengan kemampuan ekspansi modal mencengangkan pada tingkat global itu mencerminkan kekuatan sektor riil dalam perekonomian negara itu. Karena tegak di sektor riil, BUMN Tiongkok bisa disebut sebagai jangkar kokoh yang mampu mencegah terombang-ambingnya perekonomian nasional dalam sistem finansial yang sangat fluktuatif itu. Sebagaimana dilaporkan The Economist (30 Mei), aktivitas sektor finansial merupakan frothy (buih) dari total perekonomian nasionalnya, yaitu hanya 10 persen dari produk domestik bruto Tiongkok. Karena itu, fluktuasi pasar saham Tiongkok yang terjadi dewasa ini tidak memberi ancaman berarti terhadap perekonomian negara itu.

BUMN di Indonesia

Apa arti strategis keberadaan BUMN dalam konteks Indonesia? Untuk menjawabnya, kita harus melihat Kompas (23/9) yang memberitakan perintah Menteri BUMN Rini Soemarno kepada BUMN untuk menghasilkan devisa, memperbesar peran dan fungsinya sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selain sejalan dengan program Presiden Joko Widodo yang tercantum dalam Nawacita, pada tingkat yang riil perintah ini berkaitan dengan lambatnya pengeluaran pemerintah (state spending) karena faktor-faktor teknis-administratif dan psikologis yang melanda pejabat negara.

Dalam arti kata lain, perintah Rini itu adalah tindakan aktif negara mengisi ruang-ruang kosong perekonomian akibat relatif absennya kinerja sektor swasta karena terganggu kelesuan perekonomian global. Di sini, walau berlatar belakang swasta, melalui perintahnya kepada BUMN itu, Rini telah mendorong terciptanya active state (negara aktif) dalam perekonomian.

Membandingkannya dengan pengalaman Amerika Serikat, nilai perintah itu menjadi sangat strategis. Mengapa? Untuk mencegah terulangnya tragedi perekonomian Amerika Serikat yang, karena hanya mengandalkan kinerja sektor swasta selama ini, limbung berat dilanda krisis finansial 2008. Untuk memahaminya, kita harus kembali kepada Foroohar. Dengan latar belakang krisis global finansial Amerika, Foroohar membalik mitos the private sector will make it all better melalui tulisannya di majalah Times (20/6/2011).

Arti mitos di atas adalah bahwa sektor swasta akan kembali masuk ke dalam pasar domestik (Amerika Serikat) ketika intervensi negara telah cukup menstabilkan perekonomian nasional. Yang justru terjadi, tulis Foroohar, adalah fundamental disconnect between companies and workers (tak ada hubungan sama sekali antara perusahaan-perusahaan swasta dan kaum pekerja). Sementara yang pertama, lanjut Foroohar, menghasilkan banyak uang, mereka tidak membelanjakannya untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Perusahaan-perusahaan Amerika menghasilkan 1,68 triliun dollar AS di kuartal terakhir 2010 saja. Pada saat yang sama, separuh penduduk Amerika menyatakan tidak bisa memperoleh 2.000 dollar AS dalam 30 hari tanpa menjual beberapa milik mereka.

Dengan mengutip The Next Convergence karya Micheal Spence, Foroohar menyatakan, pada periode ”globalisasi ekstrem” (1990-2008) diperoleh data bahwa perusahaan-perusahaan Amerika lingkup global yang bergerak dalam manufaktur, perbankan, ekspor, dan energi hampir tak memberikan sumbangan berarti pada pertumbuhan tenaga kerja di Amerika. ”Clearly,” simpul Foroohar, ”it is a myth that businesses are simply waiting for more economic and regulatory certainty to invest back home (Jelas, itu hanya mitos belaka bahwa perusahaan-perusahaan swasta sekadar menunggu kondisi ekonomi dan peraturan yang lebih pasti sebelum berinvestasi kembali di kampung halaman)”.

Dengan melihat pengalaman Tiongkok dan Amerika Serikat, sistem perekonomian global (yang hanya mengungkapkan supremasi kekuatan modal swasta), kita melihat betapa strategis posisi BUMN dalam perekonomian nasional sebuah negara, terutama di Indonesia. Dengan mengontrol dan mendorong kinerja BUMN seefisien dan seefektif mungkin, negara masih mempunyai kendali terhadap sumber daya ekonomi di luar dana negara.

Hal inilah yang secara mencolok dilakukan Presiden Jokowi ketika memutuskan pembangunan kereta api cepat di Jawa dilaksanakan BUMN dengan skema business to business bersama investor asing. Sebab, sebagaimana dilaporkan The Jakarta Post (4/9), energi dana negara untuk tujuan yang sama akan disalurkan hanya kepada wilayah-wilayah belum berkembang: Papua, Kalimantan, dan Sulawesi.

Dalam situasi frekuensi ketidakpastian sistem perekonomian global yang kian meningkat akhir-akhir ini, memperkuat posisi BUMN sebagai jangkar perekonomian nasional adalah pilihan tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar