Kamis, 01 Oktober 2015

Ketika ”Blusukan” Jokowi Dibatalkan

Ketika ”Blusukan” Jokowi Dibatalkan

Taufik Ikram Jamil ;   Sastrawan; Korban Kabut Asap di Riau
                                                       KOMPAS, 01 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pembatalan blusukan Presiden Joko Widodo ke Jambi dan Riau, akhir pekan lalu, karena dihadang asap sungguh memilukan. Ini juga memperlihatkan bahwa hasil pembakaran lahan tersebut telah menaklukkan aktivitas pejabat tertinggi di negara terbesar nomor empat dunia dengan penduduk melebihi 240 juta orang itu. Padahal, Jokowi hendak datang dengan pesawat khusus, pesawat kepresidenan RI, diapit gambar burung garuda yang perkasa dengan kepak mengembang membelah udara.

Sudah barang tentu pembatalan blusukan itu sama sekali tidak menunjukkan kekurangan empati negara kepada nasib rakyat yang menderita akibat asap tersebut, paling tidak ini dirasakan 5 juta penduduk. Pembatalan itu juga bukanlah tipe sosok sekaliber Jokowi untuk menghindar dari suasana merasakan langsung derita masyarakat. Masuk parit, berada di tempat kumuh, bukanlah sesuatu yang aneh bagi Jokowi.

Terlebih lagi, pembatalan itu pasti bukan memperlihatkan perangai negara yang asyik membangun sembari mengabaikan kepentingan masyarakat kecil. Serangan asap di Riau itu, misalnya, terjadi seiringan dengan pembukaan kebun sawit dan hutan tanaman industri (HTI) besar-besaran, sekitar 4 juta hektar sejak zaman Orde Baru, sebagian besar telah berdampak buruk bagi masyarakat. Pembukaan lahan itu sendiri dilakukan tidak saja oleh perusahaan nasional, tetapi juga milik negara luar, termasuk Malaysia dan Singapura.

Sebagaimana diselidiki Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau, telah terjadi sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan sawit serta HTI pada sekitar 240 titik, yang dengan sendirinya mengandung potensi konflik. Selain itu, kesempatan masyarakat tempatan membuka kebun baru kini sudah menjadi amat terbatas, sementara jumlah penduduk terus bertambah. Selebihnya, setiap tahun rakyat didera asap, malah sampai tiga bulan dalam dua masa, di awal dan pertengahan tahun.

Pastilah Jokowi amat sedih dengan pembatalan blusukan-nya itu. Sebab, ia sendiri tahu bahwa kunjungan seorang kepala negara, apalagi di tengah masyarakat yang masih paternalistik, dipastikan menjadi setawar dan sedingin dari rasa suatu sakit. Untuk itulah, agaknya ia akan menyesal kalau tahu bahwa agenda blusukan itu masih bisa dilakukan pada saat dijanjikan akhir pekan lalu kalau sedikit ada ikhtiar lain yang kreatif.

Caranya? Ia tak perlu memaksakan diri mendarat di Jambi, sebagaimana direncanakan semula, yang ternyata dihadang asap tersebut. Seperti selalu dilakukan pejabat Riau dalam dua bulan terakhir, mereka ke dan dari Pekanbaru-Jakarta melalui Padang, yang kiranya bisa ditiru Jokowi. Menggunakan mobil dari Padang selama empat jam, Jokowi sudah bisa sampai ke Riau. Pakai helikopter dari Padang tentu akan lebih mempersingkat perjalanan pada rute itu.

Hampir tanpa matahari

Dari fakta pembatalan blusukan ke Riau dan Jambi ini, Jokowi pasti merasakan aktivitas seorang kepala negara saja bisa terganggu akibat asap, apalagi kegiatan masyarakat.

Sekolah buka-tutup, bandar udara tersendat-sendat, yang kesemuanya sudah terjadi hampir dua bulan. Hampir tanpa matahari pada siang bolong, tetapi panasnya menembus angka 32 derajat celsius. Dalam keadaan begini, listrik mati dua kali sekejap pula, seperti terjadi baru-baru ini (25-26/9).

Paling parah tentu berkaitan dengan kesehatan karena asap bercampur partikel—yang lebih tepat disebut jerebu dalam ungkapan Melayu—itu tidak saja mengganggu paru-paru, tetapi juga dapat masuk ke dalam darah, menimbulkan kanker pada otak. Tidak berlebihan kalau Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar mengatakan, sesungguhnya Riau kini tidak lagi layak huni. Orang-orang asing di Riau, seperti Malaysia dan Singapura, memang telah mengungsi ke negara asal mereka, tetapi bagaimana dengan sebagian besar masyarakat Riau?

Alhasil, tak mengherankan, serangan pada pernapasan melonjak drastis. Pada awal September saja sudah hampir 30.000 orang terserang gangguan pernapasan di Riau, bahkan telah merenggut dua korban jiwa. Bagaimana kalau angka ini diakumulasi dalam belasan tahun seiringan dengan awal serangan asap ke Riau tersebut? Celakanya pula, kondisi semacam ini diperkirakan akan terjadi sampai bulan November mendatang. Alamak....

Tak terkecuali juga berkaitan dengan ekonomi rakyat sebab asap pasti memengaruhi komoditas perkebunan wong cilik, seperti karet dan kelapa, apalagi hortikultura. Belum lagi berkaitan dengan lahan rakyat biasa juga ikut terbakar setiap kali musim semacam ini. Tahun lalu,misalnya, tak kurang dari 50.000 hektar kebun rakyat Riau, terutama kebun sagu di Kabupaten Meranti, habis terpanggang dilalap si jago merah tersebut.

Di atas semuanya itu, pasti, meski membatalkan blusukan-nya tersebut, Jokowi tetap berpikir bagaimana sekurang-kurangnya asap tidak muncul lagi tahun depan dan tahun-tahun berikutnya. Ia juga pasti berpikir bagaimana memulihkan kesehatan warga dari akumulasi korban asap ini, selain mengembalikan hak rakyat atas lahan. Iya, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar