Rabu, 14 Oktober 2015

Asap

Asap

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
                                               KORAN JAKARTA, 10 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kalau tak ada api, tak mungkin ada asap. Peribahasa itu kini bahkan menemukan bentuknya yang paling wadag, paling realitis. Terutama di Sumatera dan Kalimantan. Berlangsung lama, mendatangkan bencana, juga rasa marah. Ada korban meninggal dunia karena asap, ratusan ribu menderita pernapasan dan dirawat, dan kerugian materi lebih banyak. Mulai dari perjalanan pesawat terbang tertunda atau batal, sampai yang nonmateri. Seperti halnya anak-anak sekolah yang terpaksa diliburkan.Juga keputus-asaan.

Dengan dampak mengerikan dan masih berlanjut, wajar kalau masyarakat menuntut jawaban. Apa dan siapa yang bertanggung jawab. Dan ternyata jawabannya tidak sederhana. Misalnya ketika pembakaran ini dilakukan oleh pengusaha yang memilih jalan pintas. Dari pada mengeluarkan beaya mahal membuldoser lahan yang ribuan atau jutaan hektar, lebih murah membakar—hanya dengan modal korek api. Itu tak sepenuhnya tuduhan salah.

Namun dalam hal ini para pengusaha, yang berkaitan dengan korporasi yang memiliki lahan luas di banyak provinsi, juga bisa berdalih : bukan mereka. Atau membela dengan mengatakan bahwa masyarakatlah yang membakar lahan gambut—dan itu dimungkinkan karena begitulah tata kramanya, aturan yang berlaku. Masyarakat boleh membakar lahan gambut dengan luas satu hektar misalnya. Dan cukup izin dari kepala rukun tetangga atau kepala desa. Api itu yang menjalar ke tempat lain yang luas. Lahan luas yang biasanya dimiliki korporasi— yang luasnya bisa ribuah atau puluhan ribu kilometer persegi. Mungkin ini ada benarnya.

Namun serentak dengan itu masalahnya jadi berliku dan tumpang tindih. Bagaimana sesungguhnya prosedur menyewa atau menggunakan lahan itu? Kenapa bahkan jutaan kilometer persegi dinyatakan sebagai lahan illegal? Bisakah kemudian ditelusuri bagaimana proses perizinan itu turun dan diberlakukan dan bagaimana pengawasannya? Kalau ribuan titik api bisa diawasi dengan mudah bisa dideteksi dan dipetakan, tidak demikian dengan prosedur pengelolaan lahan.

Dalam pikiran yang awam ini, pastilah orang tertentu yang memiliki akses bisa memperoleh lahan ratusan ribu kilometer. Dan begitulah kenyataannnya. Para pejabat terlibat atau mantan pejabat, dan tokoh yang memiliki akses. Akses pada pemegang kuasa, atau pemegang modal. Tidak berarti ini salah, kalau sudah sesuai dengan prosedur. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa masalah mendasar lebih mudah terdeteksi. Jumlah mereka ini tak terlalu banyak, dan bisa menjadi contoh cara mengelola kebun sawit atau penambangan tanpa tragedi yang dihujat. Jangan bermain api kalau tak mau terbakar. Ini juga peribahasa yang bagus direnungkan.

Api memang panas dan membakar. Seharusnya dijaga agar tidak menyebar. Kalau tidak awas, kurang waspada, bisa berbahaya. Saya memakai perumpamaan, kalau gelas di pinggir meja, harus diangkat dan kembali diletakkan ke tengah. Karena kelengahan itu akan dibayar mahal ketika gelas jatuh dan pecah. Nah termasuk di dalam “mengembalikan gelas ke tengah meja” ini adalah pengawasan kembali sejak izin usaha, pengelolaan, sampai dengan hasil setelah panen. (Ini juga kenyataan : saat sawit akan panen, atau selama panen, tak ada kebakaran lahan). Dalam kesempatan ini saya ingin mengingatkan optimism yang terjadi di saat kehancuran mengerikan ini.

Banyak sekali bantuan, banyak sekali solidaritas terbentuk secara spontan. Baik perorangan maupun kelompok yang terbentuk. Mereka ini adalah saudara-saudari kita juga yang peduli, yang memengerti perasaan dan keadaan mereka yang menderita. Sikap peduli yang tak dibatasi oleh unsur lain, selain kemanusiaan itu sendiri. Ini sungguh sikap yang membanggakan di tengah kepedihan yang panjang. Sikap ini menjadi sempurna, jika saja saat-saat ini hujan lebat turun. Alam menyatu dengan niat baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar