Asap
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 10 Oktober 2015
Kalau tak ada api, tak mungkin ada asap. Peribahasa itu kini
bahkan menemukan bentuknya yang paling wadag,
paling realitis. Terutama di Sumatera dan Kalimantan. Berlangsung lama,
mendatangkan bencana, juga rasa marah. Ada korban meninggal dunia karena
asap, ratusan ribu menderita pernapasan dan dirawat, dan kerugian materi
lebih banyak. Mulai dari perjalanan pesawat terbang tertunda atau batal,
sampai yang nonmateri. Seperti halnya anak-anak sekolah yang terpaksa
diliburkan.Juga keputus-asaan.
Dengan dampak mengerikan dan masih berlanjut, wajar kalau
masyarakat menuntut jawaban. Apa dan siapa yang bertanggung jawab. Dan
ternyata jawabannya tidak sederhana. Misalnya ketika pembakaran ini dilakukan
oleh pengusaha yang memilih jalan pintas. Dari pada mengeluarkan beaya mahal
membuldoser lahan yang ribuan atau jutaan hektar, lebih murah membakar—hanya
dengan modal korek api. Itu tak sepenuhnya tuduhan salah.
Namun dalam hal ini para pengusaha, yang berkaitan dengan
korporasi yang memiliki lahan luas di banyak provinsi, juga bisa berdalih :
bukan mereka. Atau membela dengan mengatakan bahwa masyarakatlah yang
membakar lahan gambut—dan itu dimungkinkan karena begitulah tata kramanya,
aturan yang berlaku. Masyarakat boleh membakar lahan gambut dengan luas satu
hektar misalnya. Dan cukup izin dari kepala rukun tetangga atau kepala desa.
Api itu yang menjalar ke tempat lain yang luas. Lahan luas yang biasanya
dimiliki korporasi— yang luasnya bisa ribuah atau puluhan ribu kilometer
persegi. Mungkin ini ada benarnya.
Namun serentak dengan itu masalahnya jadi berliku dan tumpang
tindih. Bagaimana sesungguhnya prosedur menyewa atau menggunakan lahan itu?
Kenapa bahkan jutaan kilometer persegi dinyatakan sebagai lahan illegal?
Bisakah kemudian ditelusuri bagaimana proses perizinan itu turun dan
diberlakukan dan bagaimana pengawasannya? Kalau ribuan titik api bisa diawasi
dengan mudah bisa dideteksi dan dipetakan, tidak demikian dengan prosedur
pengelolaan lahan.
Dalam pikiran yang awam ini, pastilah orang tertentu yang
memiliki akses bisa memperoleh lahan ratusan ribu kilometer. Dan begitulah
kenyataannnya. Para pejabat terlibat atau mantan pejabat, dan tokoh yang
memiliki akses. Akses pada pemegang kuasa, atau pemegang modal. Tidak berarti
ini salah, kalau sudah sesuai dengan prosedur. Saya hanya ingin menunjukkan
bahwa masalah mendasar lebih mudah terdeteksi. Jumlah mereka ini tak terlalu
banyak, dan bisa menjadi contoh cara mengelola kebun sawit atau penambangan
tanpa tragedi yang dihujat. Jangan bermain api kalau tak mau terbakar. Ini
juga peribahasa yang bagus direnungkan.
Api memang panas dan membakar. Seharusnya dijaga agar tidak
menyebar. Kalau tidak awas, kurang waspada, bisa berbahaya. Saya memakai
perumpamaan, kalau gelas di pinggir meja, harus diangkat dan kembali
diletakkan ke tengah. Karena kelengahan itu akan dibayar mahal ketika gelas
jatuh dan pecah. Nah termasuk di dalam “mengembalikan gelas ke tengah meja”
ini adalah pengawasan kembali sejak izin usaha, pengelolaan, sampai dengan
hasil setelah panen. (Ini juga kenyataan : saat sawit akan panen, atau selama
panen, tak ada kebakaran lahan). Dalam kesempatan ini saya ingin mengingatkan
optimism yang terjadi di saat kehancuran mengerikan ini.
Banyak sekali bantuan, banyak sekali solidaritas terbentuk
secara spontan. Baik perorangan maupun kelompok yang terbentuk. Mereka ini
adalah saudara-saudari kita juga yang peduli, yang memengerti perasaan dan
keadaan mereka yang menderita. Sikap peduli yang tak dibatasi oleh unsur
lain, selain kemanusiaan itu sendiri. Ini sungguh sikap yang membanggakan di
tengah kepedihan yang panjang. Sikap ini menjadi sempurna, jika saja
saat-saat ini hujan lebat turun. Alam menyatu dengan niat baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar