Rabu, 14 Oktober 2015

Hukum Efek II

Hukum Efek II

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 11 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pernah melihat anjing kelaparan yang diberi makan oleh majikannya? Dia meloncat-loncat kegirangan sambil air liurnya bercucuran.

Ini terjadi pada setiap anjing di mana pun dan kapan pun. Tidak ada yang aneh dalam gejala ini. Tetapi pada suatu saat di Rusia ada seorang peneliti ilmu faal, bernama Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) tertarik untuk meneliti gejala yang tidak ada anehnya ini. Maka dia bawa seekor anjing ke laboratoriumnya dan dia pasangkan suatu alat tertentu untuk mengukur air liur si anjing.

Pertama sekali dia namakan makanan yang menimbulkan selera anjing dengan nama unconditioned stimulus (US) alias rangsangan tanpa syarat dan air liur yang bercucuran menyertai makanan itu disebutnya unconditioned response (UR) atau reaksi tak bersyarat, karena kedua hal itu terjadi tanpa syarat apa pun. Kemudian dia bunyikan bel setiap kali sebelum makanan disajikan.

Awalnya anjing tidak bereaksi apa pun ketika bel berbunyi, tetapi liur melimpah ketika makanan tersaji. Tetapi setelah berkali-kali secara konsisten bel dibunyikan setiap kali sebelum makanan tersaji, lama kelamaan anjing sudah berliur duluan, padahal makanan sama sekali belum muncul. Liur terhadap bunyi bel itu disebut oleh Pavlov sebagai conditioned response (CR) atau reaksi bersyarat, dan bel itu sendiri disebut conditioned stimulus (CS) alias rangsang bersyarat.

Disebut bersyarat karena hanya anjing-anjing yang sudah memenuhi syarat yang bisa bereaksi seperti itu. Syaratnya adalah anjing-anjing itu sudah melewati proses tertentu yang oleh Pavlov dinamai proses conditioning. Proses conditioning itulah yang terjadi pada Blacky, anjing milik Bu Sastro. Setiap kali terdengar suara motor ojek, Blacky sudah meloncat-loncat kegirangan sambil air liurnya tumpah ke mana-mana karena ia sudah mengantisipasi tulang yang akan dibawakan Bu Sastro yang pulang naik ojek itu.

Antisipasi itu adalah hasil belajar (conditioning) yang terjadi pada Blacky. Penelitian Pavlov ini kemudian menarik perhatian banyak peneliti lain, termasuk Edward Lee Thorndike (1879-1949), seorang psikolog Amerika. Dia kemudian mengamati bagaimana efek proses conditioning ini. Ternyata, jika sebuah CS tertentu selalu diikuti dengan US yang positif (disebut ganjaran atau reward, misalnya makanan), maka CR makin lama makin diperkuat.

Sebaliknya kalau CS selalu diikuti oleh US yang negatif (misalnya bel diikuti kejutan listrik) maka anjing itu justru akan menghindari US yang bersifat punishment itu. Oleh Thorndike, kesimpulan ini disebutnya sebagai Hukum Efek. Kemudian John B Watson (1878-1858), seorang murid Thorndike, mengukuhkan Hukum Efek ini sebagai dasar dari aliran psikologinya (yang khas Amerika) yaitu behaviorisme.

Behaviorisme percaya bahwa semua perilaku, kepribadian manusia, bahkan moral dan kebudayaan, dasarnya adalah hukum efek. Seseorang menjadi penakut, misalnya, karena sejak kecil ia selalu ditakut-takuti, sedangkan seorang yang selalu dibanggakan oleh orang tuanya akan menjadi orang yang percaya diri. Demikian pula bahasa, yang menurut Watson adalah hasil conditioning sejak masa kecil.

Karena itu, menurut Watson, nilai dan moral (termasuk agama) adalah juga hasil conditioning sejak masa kecil masing-masing. Hukum rajam, misalnya, biasa-biasa saja di Arab Saudi sana, tetapi jangan harap terjadi di Indonesia karena memang di Indonesia tidak pernah ada sejarah hukum rajam.

Jadi, menurut hukum efek, conditioning dulu yang terjadi, dan kebiasaan yang berkembang akan diinternalisasikan dan akan dilanjutkan sebagai perilaku walaupun rangsang tak berkondisinya sudah tidak ada lagi. Dalam kasus Blacky, anjing itu akan tetap saja meloncat-loncat sambil berliur-liur walaupun majikannya tidak membawa tulang, bahkan kalau itu bukan bunyi ojek majikannya, melainkan ojek lain yang membawa tetangga.

Di sisi lain, kebanyakan orang awam justru percaya bahwa norma atau moral dulu yang harus ditanamkan kepada anak, sehingga kelak jika dewasa otomatis dia akan berperilaku normatif. Seorang anak, misalnya diajari oleh orang tuanya bahwa anak yang baik adalah anak yang rajin belajar dan rajin salat.

Maka anak itu dipaksa belajar atau dipaksa salat. Kalau perlu dihukum (dimarahi, dicubit, atau dikunci di kamar mandi). Makin anak menangis makin keras hukumannya. Si ibu mengira bahwa itulah cara terbaik untuk membina moral anak. Tetapi dari kacamata hukum efek justru belajar atau salat itu diasosiasikan dengan hukuman, bukan ganjaran. Akibatnya terjadi proses conditioning yang negatif. Anak makin malas belajar dan salat. Begitu juga dalam revolusi mental.

Bangsa ini memerlukan perubahan mental sehingga semua orang lebih tertib, disiplin, tidak mengamalkan jam karet, melayani dengan sebaik-baiknya, saling menghargai, jujur, antikorupsi, dan sebagainya. Menurut hukum efek akan siasia saja kalau metodenya dari mental (pelajaran budi pekerti, pelatihan Pancasila, atau pendidikan agama) ke perilaku. Metode ini akan menghasilkan orang-orang yang normatif (bicara baik), tetapi kelakuan tetap saja nol (tetap saja korupsi, malas bekerja, maksiat, dsb).

Revolusi mental harus dimulai dari periferi (pinggir), dengan memaksakan perilaku yang benar dengan berbagai instrumen (termasuk penegakan hukum). Intinya, biasakan yang benar, bukan membenarkan yang sudah biasa. Sukses PT KAI adalah contoh konkret sebuah revolusi mental yang berhasil tanpa melalui proses mental itu sendiri. Cukup melalui proses conditioning saja.

Semua kebiasaan jelek (penumpang di atap kereta api, penumpang tidak membayar, tidak mau antre, PKL naik ke gerbong dll) lenyap hanya dalam waktu 1-2 tahun. Semua yang sekolah atau tidak sekolah, yang salat atau tidak salat, pokoknya berperilaku tertib dan disiplin sesuai aturan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar