Kamis, 19 Januari 2017

Kekerasan sebagai Kejahatan

Kekerasan sebagai Kejahatan
Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum UGM
                                                KORAN SINDO, 18 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kekerasan di STIP Jakarta ataupun tempat-tempat lain bukanlah budaya, melainkan kejahatan. Karena itu, perlu direspons secara progresif berupa penindakan secara tegas.

Ki Hadjar Dewantara (1948) dalam buku Kebudayaan mengajarkan bahwa kebudayaan merupakan buah budi jiwa manusia yang masak, cerdas, sehingga mampu mencipta kemenangan perjuangan hidup. Dua sifat istimewa melekat pada budi manusia, yakni luhur dan halus. Karena itu, perkembangan budaya patut diapresiasi.

Dalam pengertian demikian, alur pemikiran bagus dalam TAJUK KORAN SINDO, 13 Januari 2017, perlu dikoreksi pada ranah pengertian budaya sehingga kekerasan wajib dipandang sebagai kejahatan, bukan budaya. Kejahatan kekerasan memang mencemaskan masyarakat dan bangsa.

Di Yogyakarta dikenal sebagai fenomena klithih. Elang Gaziya, 16, warga Sewon, tanpa tahu sebab-musababnya, dibacok manusia biadab (22/6/2016). Klithih terus mewabah pada 2017. Korbankorban klithih terus berjatuhan antara lain siswa SMA tewas. Isu liar pun beredar, diduga motif politik ada di balik tragedi itu.

Terlepas apa pun motifnya, apakah politik, ekonomi, balas dendam, narkoba, atau motif lain, pelakunyawajibdikutuk. Aparatur negara wajib segera menangkap pelakunya dan menyerahkannya kepada lembaga peradilan untuk diadili seadil-adilnya. Kejahatan kekerasan banyak sekali bentuknya dan berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia. Max Weber (1954) melihat ada hubungan antara hukum dan kekerasan.

Dia mengatakan, suatu tatanan dapat disebut hukum ketika keberadaannya dijamin dengan penggunaan paksaan (psikologis maupun fisik) oleh suatu lembaga agar hukum dipatuhi atau suatu tindakan dapat dibalas dengan kekerasan. Perhatian terhadap kejahatan kekerasan, khususnya kekerasan struktural, pernah dilakukan Unesco (1981) melalui penelitian tentang sebab-musababnya, beserta upaya-upaya penanggulangannya.

Terkuak bahwa setiap tipe hukum tertentu selalu terkait dengan jenis kekerasan tertentu pula. Sejarah menunjukkan bahwa hukum semakin lama semakin keras. Pada masyarakat atau negara modern, perekonomiannya kapitalistik, politiknya liberalistik, dan hukumnya positivistik, kecenderungan maraknya kekerasan semakin masif.

Tiada kata ”menyerah” atau ”pembiaran” terhadap kekerasan. Demi terwujudnya kondisi aman dan nyaman negeri ini, berbagai strategi penangkalan dan penindakan sistemik perlu diselenggarakan sungguh-sungguh. Pertama, para pejabat publik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama mesti cancut taliwanda, bergegas dan berkomitmen, untuk memancarkan energi dan cahaya Pancasila agar merasuk dalam jiwa segenap anak bangsa.

Tidak dapat dipungkiri, sejak bergulirnya Era Reformasi, kebebasan individu (liberalisme) dibuka lebar-lebar. Pada hal, kebebasan tak terkendali, sama maknanya dengan anarki. Ujung-ujungnya kehancuran. Kebebasan bertindak merupakan penyakit batin-kejiwaan yang perlu diobati agar tidak menular dan mewabah sebagai penyakit masyarakat.

Apabila Pancasila benar-benar diajarkan dan diamalkan sebagai way of life, dapat dipastikan menjadi obat mujarab, penyubur kelembutan, sekaligus penangkal kekerasan. Kedua,saat ini banyak orangorang, khususnya anak muda berada dalam kegelapan kehidupan, tidak mampu membedakan antara benar atau salah, baik atau buruk.

Klaim bahwa dirinya benar, diiringi tuduhan orang lain salah, telah menjadi fenomena umum. Mereka seperti orang buta, menduga kehidupan hanya seluas mata memandang, hanya sejauh logika berpikir, hanya sesempit perasaan. Mereka pandai berdebat, tetapi tabu berdialog.

Mereka cepat menyerang orang lain, tetapi tak pernah introspeksi, pintar dan cekatan bertindak, tapi tunamoral. Dalam keangkuhannya, apa pun miliknya dijadikan senjata melukai orang lain. Maka, menerangi kehidupan dengan sinar moralitas merupakan langkah konkret pencerahan kehidupan bersama.

Ketiga, pada ranah praksis, perekonomian nasional dikelola secara kapitalistik, politik dipraktikkan secara liberalistik, dan hukum disempitkan pemahamannya sebagai hukum positif saja. Asas kekeluargaan, gotong- royong, dan religiusitas cenderung dicampakkan. Muaranya, rakyat tak berdaya, rentan jatuh ke jurang kemiskinan dan penindasan.

Pemutusan hubungan kerja senantiasa menghantui pekerja-pekerja, betapa pun upaya perlawanan melalui demo-demo terus dilakukan. Penggunaan kekerasan oleh pekerja maupun pengusaha, sebagai upaya mendapatkan hak-haknya, merupakan ciri menonjol hubungan perburuhan.

Sementara itu, pemerintah ”lembek” dalam menangkal maupun mengatasi sengketasengketa perburuhan. Kalau ternyata kekerasan dilakukan para penganggur, tepatkah mereka disalahkan, dihukum, dipenjara, tanpa bimbingan untuk mendapatkan pekerjaan dan nafkah yang layak?

Dalam optik ideologi, aktualisasi roh kekeluargaan, gotong-royong, dan religiusitas menjadi strategi penangkal kekerasan ideal. Keempat, aparatur negara sebagai ”hukum berjalan” mesti bertindak protagonis. Pada satu pihak tegas menegakkan hukum, namun pada pihak lain harus peka dan bijak melihat faktor kemanusiaan yang terkait. Bukankah pelaku kekerasan adalah anak-anak kita, calon pewaris masa depan bangsa?!

Di situlah aparatur negara dituntut bersikap protagonis. Batas- batas penegakan hukum yang tegas, nondiskriminatif, penggunaan discretionary power, pengutamaan masa depan korban dan pelaku, perlu dipertimbangkan sebijaksana mungkin. Kelima, kekerasan struktural merupakan keniscayaan pada masyarakat yang sarat ketimpangan sosial, ekonomi, politik, dan hukum.

Dalam suasana demikian, oleh masyarakat ”termarginalkan”, setiap ketidakadilan, cenderung disikapi dengan perlawanan melalui kekerasan. Kekerasan dipandang sebagai metode pengubahan struktur sosial-kenegaraan yang timpang, tidak adil, menindas.

Sebaiknya, para politisi insyaf bahwa reformasi 1998 dan desakan globalisme telah menciptakan gap kehidupan, ketergantungan, dan dekadensi moral. Karena itu, diperlukan pembenahan struktur sosial-kenegaraan. Kekerasan adalah buah pembiasaan, demikian menurut theory of action.

Kekerasan dapat diubah menjadi kelembutan dengan pembiasaan pula. Alangkah bagusnya bila para tokoh meneladankan pembiasaan berbuat kelembutan kepada anak-anak bangsa. Wallahualam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar