Selasa, 13 Oktober 2015

TNI di Persimpangan Jalan Politik

TNI di Persimpangan Jalan Politik

M Aminuddin ;   Direktur Institute for Strategic and Development Studies Jakarta
                                                      JAWA POS, 05 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HARI ini TNI merayakan ulang tahun ke-70. Dalam tujuh dasawarsa keberadaannya, telah banyak kiprah TNI bagi Indonesia. Mulai memadamkan pemberontak di awal kemerdekaan sampai menangani separatisme dan mengantisipasi invasi asing di era kiwari.

Ke depan, tantangan untuk keutuhan NKRI akan tetap ada. Variannya juga bakal semakin beragam. Mulai gerakan bersenjata sampai bentuk invasi ekonomi. Dengan tantangan yang semakin beraneka seperti itu, peran TNI otomatis tetap penting. Apalagi, perkembangan konstelasi dunia pascaperang dingin terkadang diwarnai ketegangan regional seperti konflik di Laut China Selatan.

Kondisi itu semakin mengharuskan negara kita untuk membangun suatu kekuatan militer yang kukuh. Otomatis pula, TNI dituntut untuk selalu profesional, tidak lagi ”terganggu” aktivitas yang bercampur baur dengan kegiatan di luar hankam (pertahanan dan keamanan). Termasuk politik.

Kita semua patut mensyukuri bahwa kesadaran perlunya TNI semakin mengurangi fungsi politik atau dwifungsi bisa tumbuh dari kalangan perwira tingginya. Kesadaran internal itu bisa dilihat dari pernyataan pimpinan TNI pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.

Ketika itu dimaklumatkan doktrin paradigma baru TNI yang selanjutnya diimplementasikan dalam reformasi internal TNI. Pada dasarnya, esensi reformasi internal TNI dapat digolongkan ke dalam empat bidang kegiatan utama. Yakni, (1) meninggalkan peran sosial politik secara bertahap, (2) memusatkan perhatian pada peran dan tugas pertahanan nasional, (3) mengalihkan fungsi di luar pertahanan nasional yang dilaksanakan pada masa lalu kepada institusi fungsional, dan (4) meningkatkan doktrin gabungan.

Tetapi, kemauan untuk melakukan reformasi dalam TNI melalui reposisi dan restrukturisasi itu sudah pasti membutuhkan suatu landasan hukum yang kuat. Di sini, MPR menyadari kebutuhan tersebut. Tekad TNI itu telah memperoleh kekuatan hukum melalui TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan diperkuat dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5 ayat (2) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan, ”Tentara Nasional Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.”

Bersikap netral di sini diartikan tidak memihak dan tidak terpengaruh oleh tarikan partai politik untuk ikut memperjuangkan kepentingannya. Adapun tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis diartikan tidak terlibat dalam kegiatan dukungmendukung untuk kepentingan sesaat maupun menjadi simpatisan partai politik tertentu.

Pasal 5 ayat (4) TAP VII/MPR/2000 menyatakan, ”Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia dalam menentukan arah kebijaksanaan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan tahun 2009.”

Kini, setelah satu dasawarsa meninggalkan gelanggang politik, TNI seperti kembali ke persimpangan jalan politik. Itu terkait dengan bagaimana nasib hak pilih TNI yang sampai sekarang masih mengambang. Sedangkan fraksi yang menjadi institusi kepanjangan tangannya di parlemen telah dihapus.

Jika TNI atas kemauannya sendiri tetap rela ”mengorbankan” hak pilihnya, itu tentu tak menimbulkan masalah. Tetapi, bila di dalam tubuh TNI mulai bergulir aspirasi untuk memiliki hak pilih sebagaimana di negara demokrasi yang telah mapan, itu jelas merupakan pekerjaan rumah (PR) besar bagi penataan kembali sistem politik Indonesia. Terutama regulasi tentang UU Pemilu dan TNI.

Kalau perombakan itu dilakukan, kita belum tahu dampaknya ke depan bagi soliditas TNI. Tetapi, yang jelas, kalau penggunaan hak pilih TNI tersebut menimbulkan friksi di dalam tubuh militer, otomatis berdampak luas pada stabilitas nasional. Sebab, TNI memegang persenjataan.

Itu tentu merupakan dilema besar bagi TNI serta bangsa Indonesia sekarang dan masa depan. Sebab, akan janggal kalau terus-menerus TNI tidak memiliki hak politik seperti sekarang.

Bagaimanapun, prajurit TNI juga warga negara yang aspirasinya perlu mendapatkan saluran dalam sistem politik. Namun, di sisi lain, kalau diberi hak suara, dikhawatirkan timbul polarisasi.

Sebagai jalan keluar, akan lebih baik dikembalikan lagi kepada musyawarah di internal TNI. Sebab, TNI sejak kelahirannya dalam hal strategis memiliki sikap otonom terhadap pemerintah yang berkuasa sekalipun.

Otonomi itu terlihat dari terpilihnya Jenderal Sudirman sebagai panglima besar TNI untuk kali pertama melalui voting di kalangan komandan TNI sendiri, bukan ditunjuk Presiden Soekarno.

Jika memang internal TNI sudah merasa ingin dan siap menggunakan hak pilih, diperlukan serangkaian prakondisi agar meminimalkan dampaknya. Pertama, anggota TNI tetap tidak boleh menjadi pengurus atau kader politik. Kedua, semua parpol tidak boleh berkampanye atau beraktivitas di fasilitas-fasilitas milik TNI. Ketiga, TNI sebagai institusi harus tetap netral. Hak memilih adalah urusan pribadi masing-masing sehingga garis komando tak berlaku menyangkut pilihan prajurit terhadap partai, kandidat presiden, atau kepala daerah.

Berikutnya, dilarang menggunakan uniform atau simbol-simbol TNI dalam kegiatan yang terkait dengan pemilu, misalnya saat pergi ke tempat pencoblosan. Kelima, sosialisasi politik terhadap prajurit TNI hanya cukup melalui yang dibaca via media dan buku tentang profil serta program partai politik yang diterbitkan KPU.

Semoga TNI makin dewasa dan menyatu dengan rakyat seperti awal kelahirannya. Hanya bersama rakyat, TNI akan tetap kuat. Dirgahayu TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar