Kedaulatan Komunikasi
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana
Ilmu Komunikasi (ISKI)
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2015
Perbincangan
soal kedaulatan komunikasi dalam konteks dinamika Indonesia menjadi fokus
perhatian para ilmuwan dan sarjana Ilmu komunikasi yang menggelar Konferensi
Nasional Komunikasi (KNK) di Solo 11-13 Oktober.
Perhatian
utama Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) pada isu kedaulatan komunikasi
ini sangat relevan dengan konteks dinamis dan strategis Indonesia di tengah
beragam persoalan domestik, kawasan, dan global saat ini. Komunikasi menjadi
kunci dalam merespons dan mengurai beragam persoalan hulu hingga hilir dalam
kinerja sistem politik kita. Tata kelola bidang informasi, pengaturan media
massa, problematika dunia siber kerap terhubung dengan ragam persoalan
politik, ekonomi, pertahanan, bahkan kewibawaan rezim kekuasaan.
Mengelola Informasi
Pemerintahan
Jokowi-JK sudah berjalan hampir satu tahun. Salah satu kelemahan yang kerap
terasa adalah pengelolaan informasi yang kedodoran. Contohnya silang sengketa
antarmenteri di Kabinet Kerja, pernyataan yang kerap berbeda antara Jokowi
dan Jusuf Kalla, koordinasi dalam implementasi kebijakan, dan beragam
pergerakan liar opini publik yang tidak tertangani secara memadai.
Hal ini
berimplikasi pada lemahnya impresi dan resonansi kepemimpinan Jokowi di fase
awal take off Kabinet Kerja. Kasus aktual adalah lemahnya pengelolaan
informasi seputar penanganan asap dan pembakaran hutan. Informasi yang
mengalir dari Jokowi masih dominan bercita rasa personal, belum ajek secara
sistemik dan komprehensif menggerakkan sistem pengelolaan informasi
pemerintahan.
Tentu tersedia
ruang bagi Jokowi-JK untuk memperbaikinya sesegara mungkin. Tak hanya
pengelolaan informasi dalam konteks urusan domestik, melainkan juga perhatian
untuk memosisikan Indonesia di tengah pola hubungan kawasan dengan
bangsa-bangsa lain di kawasan dan dunia internasional.
Salah satu
yang harus menjadi perhatian utama saat kita memperbincangkan kedaulatan
komunikasi adalah persoalan pengamanan informasi bersifat privasi di dunia
siber. Secara praktik, privasi dapat dibagi ke dalam tiga tipe. Ada personal privacy yakni privasi yang
melibatkan atribut-atribut personal;
informational privacy berupa informasi personal, finansial, medis, dan
internet; serta institutional privacy
atau privasi yang dikehendaki institusi dan organisasi.
Tiga privasi
ini berlimpah setiap hari dan seringkali tak tertangani dengan baik. Lebih
riskan lagi, saat data center informasi justru berpotensi dikendalikan oleh
sekelompok orang atau lembaga di luar Indonesia. Contohnya informasi yang
setiap saat lalu lintasnya menggunakan teknologi komunikasi.
Apakah seluruh
provider jasa layanan telekomunikasi benar-benar melindungi informasi privasi
yang dimiliki para konsumennya? Pun demikian dengan beragam informasi
pemerintahan kita. Kedaulatan komunikasi masih meragukan, saat kita memiliki
sejumlah ketergantungan pada teknologi informasi yang dibeli di luar negeri,
terutama yang berkaitan dengan data center dan pengamanan siber.
Sudah lama
dikhawatirkan ada modus backdoor atau alat sadap yang disusupkan ke dalam
setiap peralatan maupun software bila kita membeli dari negara lain. Karena
itu, perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk membangun sistem pertahanan
siber terutama untuk melindungi kedaulatan komunikasi dari potensi
eksploitasi informasi yang bersifat privasi, terutama yang menyangkut
informasi pertahanan dan keamanan negara.
Ada tantangan
nyata di depan mata kita yakni soal zona perang informasi global yang
bersifat asimetris (zone of asymmetric
warfare). Perang yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita
pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi
informasi. Misalnya di penghujung 2013, SBY dan sejumlah pejabat Indonesia
lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan
Australia.
Ironis memang,
karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya
memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian
Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013) menyebutkan
negara-negara di Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia menjadi objek
penyadapan berskala global.
Tentunya dunia
terperangah! Harian ternama Inggris, The
Guardian, juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau
komunikasi 35 pemimpin negara pada 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela
Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden
yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi
itu kini bersifat asimetris. Belum lagi tantangan perang siber.
Fenomena
seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake
dalam bukunya, Cyber War (2010),
sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional.
Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks yang membocorkan
dokumen- dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan
informasi. Beberapa informasi yang dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok
kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia. Ke depan harus ada kesiapan pemerintah
dalam mengelola komunikasi di tengah zona perang informasi global semacam
ini.
Kedaulatan Media
Hal lain yang
harus diperhatikan adalah kedaulatan komunikasi di media massa. Dalam
beberapa kesempatan penulis selalu mengingatkan fenomena sebaran informasi
yang mengalir dari global ke lokal masing-masing negara. Perang informasi
juga kerap mengalir melalui media massa.
Strategi
pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti televisi,
radio, majalah, koran, maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis.
Tak dinafikan, praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses menonjolkan isu
pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga memengaruhi persepsi
personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat.
Para pemangku
kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas
buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik
yang dikemas menjadi seolah-olah ”kepribadian” masing-masing media. Fenomena
inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia
”pulasan”.
Banyak media
yang ”nyaman” menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya
maupun di dunia. Dalam skala global misalnya, dinamika informasi kerap
dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantor-kantor berita besar
yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi
internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang.
Dengan begitu,
muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia
ke kantor-kantor berita negara maju. Sebanyak 60% hingga 70% berita media di
seantero dunia bersumber dari Associated
Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor
berita Amerika (AP dan UPI ) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara.
Reuters milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara.
Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara. Tentu,
salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali
berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda. Kedaulatan
media sangat penting untuk menghindari watak hegemonik kekuatan-kekuatan
dominatif di dunia. Semoga isu-isu soal kedaulatan komunikasi di beragam
bidang menjadi bahasan serius para ilmuwan komunikasi di Konferensi Nasional
Komunikasi ISKI 2015. Selamat
berkonferensi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar