Bencana Nasional Asap
Jonatan A Lassa ; Research Fellow di RSIS Nanyang
Technological University, Singapore; Fellow di IRGSC Kupang, Indonesia
|
KOMPAS,
09 Oktober 2015
Ketika lebih dari 110.000 orang mengalami penyakit pernapasan,
seperti infeksi saluran pernapasan akut dan sejenisnya, serta ratusan ribu
orang di lebih dari lima provinsi di Kalimantan dan Sulawesi berpotensi harus
dirawat inap, pemerintah pusat-termasuk Badan Nasional Penanggulangan
Bencana-masih bingung dan terjebak dalam tindak apologi yang tidak kreatif.
Mereka tersesat dalam klaim sepihak yang berlawanan dengan prinsip utama
penanggulangan darurat bencana, yakni secara cepat dan efektif menyelamatkan
manusia dan secara serius mengembalikan situasi krisis menjadi normal dalam
tempo sesingkat-singkatnya.
Salah satu argumentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) yang perlu dikritisi adalah bahwa BNPB belum melihat kematian
literalis 500 orang. Ironisnya, BNPB mengklaim, beberapa kriteria,
seperti kerugian harta benda,
kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana,
dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, belum terpenuhi untuk disebut
sebagai bencana nasional.
Syarat ini lalu ditambah dengan catatan bahwa kerugian lebih
dari Rp 1 triliun, cakupannya beberapa kabupaten/kota lebih dari satu
provinsi, serta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak mampu
mengatasinya belum terjadi. Dari pernyataan itu bisa dikatakan bahwa kategori
bencana nasional versi BNPB hanya menggunakan kriteria kematian literalis
yang hingga kini belum terpenuhi.
Berhitung
skala bencana
Secara epistemologi, pembuktian kematian yang hanya dimaknai
sebagai bentuk fisik mayat menunjukkan mentalitas penanggulangan bencana yang
buruk dan sama sekali tak mencerminkan komitmen pada ketangguhan dan
kedaulatan rakyat. Seolah-olah kita harus menanti 500 mayat untuk kemudian
statusnya baru bisa ditetapkan sebagai bencana nasional. Cara pandang ini
mengkhianati komitmen Indonesia dalam Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan
Risiko Bencana (Sendai Framework for
Disaster Risk Reduction) 2030.
Selain berfungsi sebagai penunggu kematian, institusi tanggap
bencana seharusnya tahu ada cara lain untuk menghitung kematian ex-ante, yang tidak harus menunggu
orang meninggal. Dalam satuan mortalitas versi lain dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) diperkenalkan istilah quality-adjusted life-year
(penyesuaian kualitas hidup/QALY).
Apabila ada kematian 500 anak balita, bisa diperkirakan
ekuivalen dengan QALY adalah sebanyak hampir 54.000 QALY. Sementara bila
dilihat dari laporan Kompas edisi 26 September 2015, ketika indeks polusi
mencapai 2,314 (660 persen) dari batas toleransi indeks polusi (PSI 350)
dengan exposure harian hingga
tahunan, kehidupan rata-rata orang bisa berkurang menjadi 5 persen-15 persen.
Secara simplistik, apabila umur harapan hidup manusia Indonesia
adalah 70 tahun, akibat keterpaparan asap selama 24 jam dengan skala PSI 350,
sama saja dengan membuat terjadinya kehilangan hidup 3,5 tahun per orang (5 persen).
Maka, tingkat kehilangan umur hidup manusia yang berjumlah lebih 20 juta yang
terpapar asap dalam sebulan ini bisa mencapai 87 juta hingga 250 juta QALY
(setara minimum di atas 1 juta orang meninggal) atau jauh lebih tinggi dari standar 54.000 QALY (setara 500 orang
meninggal).
Penghitungan di atas bisa dikoreksi jika Anda merasa berlebihan.
Hal utama yang perlu dicatat adalah penggunaan QALY (kehilangan tahun hidup)
dalam studi bencana bukan hal baru dan bisa ditemukan dalam Laporan UNISDR
2015 yang diluncurkan dalam Konferensi Bencana Dunia yang dihadiri delegasi
Indonesia.
Sejauh ini, argumentasi yang dibangun BNPB terkait kebakaran
hutan hanya mengantar orang pada gelombang kekeliruan. Dengan klaim
prosedural, BNPB mengajukan argumentasi bahwa penetapan status kebakaran
hutan saat ini belum layak dijadikan sebagai bencana nasional.
Alasannya, "Penetapan status dan tingkatan bencana seperti
yang diamanatkan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam bentuk
peraturan presiden belum ditetapkan karena dalam praktiknya sulit." Lalu
dilanjutkan, "Hingga saat ini PP tersebut belum ditetapkan karena belum
adanya kesepakatan berbagai pihak. Draf PP atau Raperpres Penetapan Status
dan Tingkatan Bencana ini sudah dibahas lintas sektor dan lembaga
nonpemerintah sejak 2009 hingga sekarang. Berulang kali dibahas dengan unsur
pengarah BNPB, bahkan dilakukan workshop nasional. Namun, belum ada
kesepakatan." Demikian bunyi status Facebook Kepala Pusat Data,
Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di, Rabu (30/9/2015).
Pernyataan ini seolah-olah menyatakan bahwa Presiden tak bisa
menetapkan status bencana nasional.
Landasan status bencana nasional lewat Keppres No 112/2004 dan Keppres
No 66/1992 hanya didasarkan pada UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) (Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD) dan Keppres terkait Badan Koordinasi
nasional (Bakornas). Padahal, seharusnya status bencana nasional sudah bisa
ditetapkan dengan alasan kemanusiaan ataupun kalkulasi potensi risiko
nasional/regional meskipun belum ada PP khusus yang mengatur soal standar
status bencana nasional karena hak menetapkan status bencana adalah hak
prerogatif presiden dan ini tidak semata "perkara prosedur".
BNPB juga secara historis keliru ketika mengatakan penetapan status
bencana nasional baru sekali terjadi dengan dikeluarkannya Keppres No
112/2004 tentang Penetapan Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam & Provinsi Sumatera Utara. Padahal,
jauh sebelumnya, dengan skala yang lebih kecil, Presiden Soeharto pernah
mengeluarkan Keppres No 66/1992
tentang Penetapan Bencana Alam di Flores sebagai Bencana Nasional. Apabila sejarah penanggulangan bencana
secara sadar terlupakan oleh sistem formal, kita tidak selalu harus menerima
argumentasi BNPB.
Solidaritas
kawasan
Keterlambatan tindakan tanggap bencana kebakaran hutan
1997/1998 telah mengakibatkan kerugian
ekonomis yang tinggi, yakni setara 4,5 miliar dollar AS per 1998 atau sekitar
Rp 72 triliun kerugian domestik saat itu. Kerugian riil bisa lebih tinggi,
bergantung cara kalkulasi dengan valuasi economic
loss, belum termasuk valuasi biodiversity
loss, ecosystem services, dan lain-lain. Jika ditambah kerugian regional
(Singapura dan Malaysia) yang mencapai 11 miliar dollar AS, ini jelas sebuah
bencana regional Asia Tenggara.
Asap mungkin berlanjut hingga Oktober-November apabila El-Nino
bertambah kuat sesuai prediksi BMKG awal September lalu. Anda tidak harus
menunggu agar kelima syarat yang diajukan di atas terpenuhi secara sempurna
karena penetapan bencana nasional tidak harus bersifat eksklusif-mutual: satu
prasyarat menghilangkan prasyarat lainnya. Sebaliknya, masuknya satu
prasyarat seharusnya memberikan legitimasi kepada Presiden untuk menetapkan
suatu peristiwa sebagai bencana nasional.
Kalaupun rakyat kita begitu tahan menderita atau pemerintah
mampu tega kepada penderitaan rakyat, setidaknya kita harus mampu menciptakan
ruang solidaritas kawasan atas dampak regional yang sudah dirasakan di
tingkat ASEAN. Khusus mengenai bencana asap dan target emisi rumah kaca,
tunjukan bahwa Indonesia pun mampu memainkan peran dalam environmental stewardship bukan hanya untuk ASEAN, melainkan juga
untuk planet ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar