Sabtu, 16 Maret 2013

Usia “Tua” atau Usia “Tahu”?


Usia “Tua” atau Usia “Tahu”?
Munadi Herlambang  ;  Pengamat Sosial
KORAN SINDO, 16 Maret 2013


Negara yang besar dan hebat salah satu varian keberhasilannya adalah wujud kinerja nyata para pemimpin yang bisa dijadikan teladan bagi generasi mudanya sehingga tercipta landasan keseimbangan antara peran pemerintah dan pemuda untuk mengantarkan masyarakat dalam menata masa depan bangsa. 

Terlihat tidak elok apabila kepemimpinan bangsa ini masih memperdebatkan faktor sekunder untuk menjadi pemimpin yang transformatif, misalnya “yang muda” tidak boleh menjadi pemimpin bangsa manakala yang “tua masih hidup” dan “berkuasa”. Tesis itu tak mengindahkan falsafah dan cita-cita mulia bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. 

Kepemimpinan demikian niscaya sumber “air keruh” yang sulit dijernihkan ketika pemuda tak lagi jadi “sumber air baru” sebagai pilar kemajuan bangsanya. Kekurangan pemimpin negarawan dalam negeri ini akan menyudutkan UUD 1945 dan Pancasila. Akibatnya mudah dijajah oleh negara asing (new colonialism). 

Tembok “Tua” 

Zaman dahulu, di Asia Timur ada sosok penguasa ke-turunan Mongol bernama Timur Lenk. Ia sesumbar: “Sebagaimana hanya ada satu Tuhan di alam ini, maka di bumi seharusnya hanya ada seorang raja.” Karena kekuasaannya yang hampir menguasai seluruh kota taklukan Mongol, ia pun sombong, kejam, bengis, dan sadis, bahkan membunuh “anak didiknya” sendiri meskipun konon ia beragama Islam. 

Turki pun sempat ia taklukkan saat Dinasti Usmani berkuasa di sekitar abad ke-14. Tapi pembunuhan terhadap anak didiknya ibarat ia memiliki burung elang kesayangan yang sengaja dilatih dengan keterampilan untuk menelusuri “mata air” di suatu bukit. Setelah berhasil, burung itu rupanya kembali merebahkan sayapnya lalu hinggap di tangannya lantas memberikan informasi gembira serta sedikit “mematuknya.

” Saat itu pula dia memancung leher elang yang dicintainya hingga binasa. Kisah itu lalu memberikan inspirasi falsafah baru bagi para penguasa di dunia: di mana ada kekuasaan dan penguasa yang tak bisa menahan emosinya, anak kesayangannya sendiri pun akan dia bunuh seketika itu pula. Sementara itu, dinamika kepemimpinan politik di negara ini tak ubahnya cerita di atas. Kadang harus menanggalkan tanggung jawabnya sebagai negarawan, kadang juga harus membutakan mata hatinya dalam konteks the old mine’s secret (rahasia yang lebih tua). 

Imbasnya adalah kematian pilar pemuda pun harus dilakukan di depan publik akibat emosional “yang tua” karena luapan emosi “politik” kekuasaan. Tesis demikian akan berdampak pada dua nilai, pertama,runtuhnya demokrasi. Disebut runtuh karena demokrasi mengajarkan nilai kemanusiaan kepada umat manusia untuk menentukan jalan yang terbaik berdasarkan kesepakatan rakyatnya. Jika “yang muda” tidak dipercaya “kaum tua”, kapan pemuda Indonesia akan kembali bangkit dan bagaimana bisa terlatih menjadi pemimpin yang bermartabat? 

Kedua, bangsa ini tidak ada niatan tulus untuk berubah ketika otoritas “yang tua” masih haus kekuasaan dan tidak memberi ruang bagi generasinya untuk berkembang lebih maju. Kiblat monarki ini adalah bentuk lama yang sengaja dibungkus dengan merek demokrasi. Senyatanya tetap monarki. Sementara dalam falsafah Jawa, “Ketika ada orang tua meletakkan cangkirnya di depan pintu rumah, di saat ia lupa lalu menyandungnya sendiri, maka anak-anaknya yang disalahkan. Meskipun cangkir itu orang tua sendiri yang meletakkan di depan pintu rumah.”

Artinya, karena Timur Lenk ragu-ragu dan keburu memutuskan klausul emosinya, ia pun “gelap”, anak didiknya dianggap musuh. Timur Lenk tak lagi jadi guru yang baik bagi generasinya. Lantas, di saat Timur Lenk berkuasa penuh, ia tak sadar bahwa ada aturan nilai yang sungguh membatasinya walaupun tak tampak seperti regenerasi normatif (berjenjang) maupun natural (seseorang berkuasa tidak bisa melebihi dari kekuasaan Tuhannya). 

Pada saat Timur Lenk lalai dengan semangat juang generasinya, saat itu ia lupa betapa “air yang jernih” bisa ditemukan oleh anak didiknya dan bermanfaat bagi siapa saja termasuk untuk dirinya, Timur Lenk. Melupakan kaum muda yang terdidik adalah kesalahan dalam membangun bangsanya. 

Air Keruh 

Dalam pengetahuan filsafat ketika ada mata air jernih di situ ada kehidupan segar. Di mana ada kehidupan segar di situ ada kedamaian makhluk hidup di muka bumi. Air jernih itu adalah pemuda yang berkepemimpinan. Namun, ketika “air jernih” diubah jadi “air keruh”, bagaimana cara kita memulihkan “air keruh” tersebut? Penyebabkeruhnya airdalam tubuh kepemimpinan di negara ini adalah karena pemimpin kita yang tidak konsisten dengan cara membangun bangsanya. 

Akibatnya, otoritas kekuasaan pemimpin adalah demokrasi yang menjelma jadi dinasti. Karenanya, “air keruh” yang disuguhkan kepada publik tanpa memandang nilai regenerasi dan revitalisasi kepemimpinan dalam konteks negara berkembang adalah pemuda yang berkualitas sebagai pemimpin mendatang “dihilangkan”. Kedua, pemimpin yang tua hendaknya memberikan kesempatan ruang dan bagi yang muda untuk berolah pikir jadi pemimpin agar semakin mahir, sebab Indonesia ini adalah bangsa yang pluralistik. 

Ketiga, menyiapkan generasi bangsa yang unggul di tiaptiap daerah agar tercipta regenerasi yang kokoh untuk menjalin keutuhan kepemimpinan nasional dan regional. “Air keruh” yang ditimbulkan kepemimpinan politik demikian di negara ini, menurut logika falsafah Jawa, ada dua sisi penting yang perlu kita terjemahkan bersama. Pertama, karena usia, keduakarena pengetahuan. Tua karena matang dan muda karena matang adalah berbasis pada pengetahuan yang aplikatif dan kecerdasan yang dimilikinya. 

Analogi imam dalam kaidah fikih keislamannya, “imam” untuk melaksanakan salat berjamaah dilihat dari fasih dan tidaknya melafalkan hurufhuruf yang akan dibaca sebagai ketentuan rukun (kewajiban) fikihnya agar tidak menyimpang dari maknanya. Kedua, usia yang lebih tua ketika tidak fasih dalam melafalkan ayatayat rukun salat akan mempengaruhi keabsahan salatnya, sebab maknanya mengalami penyimpangan. Kepemimpinan yang layak disebut sebagai “imam”, pertama, jika usia tua dan mumpuni dalam syarat dan rukunya akan jadi lebih baik. 

Catatan pentingnya yang tua dalam melafalkan teks tidak menyimpang dari huruf aslinya (cidal). Kedua, jika banyak yang tua dan tidak fasih dalam mengeja ayat-ayat kesahihan tersebut, dipilih yang muda dan sahih dijadikan “imam” agar sah dalam beribadah. Bukankah menjadi pemimpin (khalifah) itu adalah ibadah? Sosok pemimpin bukan karena “usia tua”, melainkan “usia tahu” (kematangan pengetahuan) generasi muda, layaknya elang yang seharusnya Timur Lenk melepaskannya demi masa depan kepemimpinan bangsa. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar