Negara
yang besar dan hebat salah satu varian keberhasilannya adalah wujud kinerja
nyata para pemimpin yang bisa dijadikan teladan bagi generasi mudanya
sehingga tercipta landasan keseimbangan antara peran pemerintah dan pemuda
untuk mengantarkan masyarakat dalam menata masa depan bangsa.
Terlihat tidak
elok apabila kepemimpinan bangsa ini masih memperdebatkan faktor sekunder
untuk menjadi pemimpin yang transformatif, misalnya “yang muda” tidak boleh
menjadi pemimpin bangsa manakala yang “tua masih hidup” dan “berkuasa”.
Tesis itu tak mengindahkan falsafah dan cita-cita mulia bangsa dalam rangka
mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia.
Kepemimpinan
demikian niscaya sumber “air keruh” yang sulit dijernihkan ketika pemuda
tak lagi jadi “sumber air baru” sebagai pilar kemajuan bangsanya.
Kekurangan pemimpin negarawan dalam negeri ini akan menyudutkan UUD 1945
dan Pancasila. Akibatnya mudah dijajah oleh negara asing (new colonialism).
Tembok “Tua”
Zaman dahulu,
di Asia Timur ada sosok penguasa ke-turunan Mongol bernama Timur Lenk. Ia
sesumbar: “Sebagaimana hanya ada satu Tuhan di alam ini, maka di bumi
seharusnya hanya ada seorang raja.” Karena kekuasaannya yang hampir
menguasai seluruh kota taklukan Mongol, ia pun sombong, kejam, bengis, dan
sadis, bahkan membunuh “anak didiknya” sendiri meskipun konon ia beragama
Islam.
Turki pun
sempat ia taklukkan saat Dinasti Usmani berkuasa di sekitar abad ke-14.
Tapi pembunuhan terhadap anak didiknya ibarat ia memiliki burung elang
kesayangan yang sengaja dilatih dengan keterampilan untuk menelusuri “mata
air” di suatu bukit. Setelah berhasil, burung itu rupanya kembali
merebahkan sayapnya lalu hinggap di tangannya lantas memberikan informasi
gembira serta sedikit “mematuknya.
” Saat itu pula
dia memancung leher elang yang dicintainya hingga binasa. Kisah itu lalu
memberikan inspirasi falsafah baru bagi para penguasa di dunia: di mana ada
kekuasaan dan penguasa yang tak bisa menahan emosinya, anak kesayangannya
sendiri pun akan dia bunuh seketika itu pula. Sementara itu, dinamika
kepemimpinan politik di negara ini tak ubahnya cerita di atas. Kadang harus
menanggalkan tanggung jawabnya sebagai negarawan, kadang juga harus
membutakan mata hatinya dalam konteks the old mine’s secret (rahasia yang
lebih tua).
Imbasnya adalah
kematian pilar pemuda pun harus dilakukan di depan publik akibat emosional
“yang tua” karena luapan emosi “politik” kekuasaan. Tesis demikian akan
berdampak pada dua nilai, pertama,runtuhnya demokrasi. Disebut runtuh
karena demokrasi mengajarkan nilai kemanusiaan kepada umat manusia untuk
menentukan jalan yang terbaik berdasarkan kesepakatan rakyatnya. Jika “yang
muda” tidak dipercaya “kaum tua”, kapan pemuda Indonesia akan kembali
bangkit dan bagaimana bisa terlatih menjadi pemimpin yang bermartabat?
Kedua, bangsa
ini tidak ada niatan tulus untuk berubah ketika otoritas “yang tua” masih
haus kekuasaan dan tidak memberi ruang bagi generasinya untuk berkembang
lebih maju. Kiblat monarki ini adalah bentuk lama yang sengaja dibungkus
dengan merek demokrasi. Senyatanya tetap monarki. Sementara dalam falsafah
Jawa, “Ketika ada orang tua meletakkan cangkirnya di depan pintu rumah, di
saat ia lupa lalu menyandungnya sendiri, maka anak-anaknya yang disalahkan.
Meskipun cangkir itu orang tua sendiri yang meletakkan di depan pintu rumah.”
Artinya, karena
Timur Lenk ragu-ragu dan keburu memutuskan klausul emosinya, ia pun
“gelap”, anak didiknya dianggap musuh. Timur Lenk tak lagi jadi guru yang
baik bagi generasinya. Lantas, di saat Timur Lenk berkuasa penuh, ia tak
sadar bahwa ada aturan nilai yang sungguh membatasinya walaupun tak tampak
seperti regenerasi normatif (berjenjang) maupun natural (seseorang berkuasa
tidak bisa melebihi dari kekuasaan Tuhannya).
Pada saat Timur
Lenk lalai dengan semangat juang generasinya, saat itu ia lupa betapa “air
yang jernih” bisa ditemukan oleh anak didiknya dan bermanfaat bagi siapa
saja termasuk untuk dirinya, Timur Lenk. Melupakan kaum muda yang terdidik
adalah kesalahan dalam membangun bangsanya.
Air Keruh
Dalam
pengetahuan filsafat ketika ada mata air jernih di situ ada kehidupan
segar. Di mana ada kehidupan segar di situ ada kedamaian makhluk hidup di
muka bumi. Air jernih itu adalah pemuda yang berkepemimpinan. Namun, ketika
“air jernih” diubah jadi “air keruh”, bagaimana cara kita memulihkan “air
keruh” tersebut? Penyebabkeruhnya airdalam tubuh kepemimpinan di negara ini
adalah karena pemimpin kita yang tidak konsisten dengan cara membangun
bangsanya.
Akibatnya,
otoritas kekuasaan pemimpin adalah demokrasi yang menjelma jadi dinasti.
Karenanya, “air keruh” yang disuguhkan kepada publik tanpa memandang nilai
regenerasi dan revitalisasi kepemimpinan dalam konteks negara berkembang
adalah pemuda yang berkualitas sebagai pemimpin mendatang “dihilangkan”. Kedua,
pemimpin yang tua hendaknya memberikan kesempatan ruang dan bagi yang muda
untuk berolah pikir jadi pemimpin agar semakin mahir, sebab Indonesia ini
adalah bangsa yang pluralistik.
Ketiga,
menyiapkan generasi bangsa yang unggul di tiaptiap daerah agar tercipta
regenerasi yang kokoh untuk menjalin keutuhan kepemimpinan nasional dan
regional. “Air keruh” yang ditimbulkan kepemimpinan politik demikian di
negara ini, menurut logika falsafah Jawa, ada dua sisi penting yang perlu
kita terjemahkan bersama. Pertama, karena usia, keduakarena pengetahuan.
Tua karena matang dan muda karena matang adalah berbasis pada pengetahuan
yang aplikatif dan kecerdasan yang dimilikinya.
Analogi imam
dalam kaidah fikih keislamannya, “imam” untuk melaksanakan salat berjamaah
dilihat dari fasih dan tidaknya melafalkan hurufhuruf yang akan dibaca
sebagai ketentuan rukun (kewajiban) fikihnya agar tidak menyimpang dari
maknanya. Kedua, usia yang lebih tua ketika tidak fasih dalam melafalkan
ayatayat rukun salat akan mempengaruhi keabsahan salatnya, sebab maknanya
mengalami penyimpangan. Kepemimpinan yang layak disebut sebagai “imam”,
pertama, jika usia tua dan mumpuni dalam syarat dan rukunya akan jadi lebih
baik.
Catatan
pentingnya yang tua dalam melafalkan teks tidak menyimpang dari huruf
aslinya (cidal). Kedua, jika banyak yang tua dan tidak fasih dalam mengeja
ayat-ayat kesahihan tersebut, dipilih yang muda dan sahih dijadikan “imam”
agar sah dalam beribadah. Bukankah menjadi pemimpin (khalifah) itu adalah
ibadah? Sosok pemimpin bukan karena “usia tua”, melainkan “usia tahu”
(kematangan pengetahuan) generasi muda, layaknya elang yang seharusnya
Timur Lenk melepaskannya demi masa depan kepemimpinan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar