Rabu, 27 Maret 2013

Santet dalam Musik Nusantara


Santet dalam Musik Nusantara
Aris Setiawan  ;  Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
JAWA POS, 27 Maret 2013


SANTET, diksi dan kata sederhana yang sudah akrab bagi telinga masyarakat Indonesia. Santet secara sederhana merupakan sebuah usaha untuk memengaruhi kondisi psikologis dan fisik atau memasukkan benda-benda atau pengaruh tertentu pada tubuh seseorang. Santet subur bertebaran di Nusantara sejak sebelum merdeka. Santet tak semata sebuah aktivitas magis, namun darinya menarasikan banyak simbol kultural. 

Uniknya, Indonesia kini darurat santet. Begitu pentingnya pembahasan tentang penipuan lewat santet dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana, sampai-sampai anggota DPR harus melakukan studi banding ke Eropa. Bagaimana santet sejatinya turut mewarnai, merintis, dan membentuk wajah kebudayaan (musik) di Indonesia?

Santet di Nusantara memiliki berbagai medium yang menghubungkan penyantet (pelaku) dengan orang yang disantet (korban), termasuk lewat bunyi. Di daerah Taeh Barueh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, aktivitas dalam "memengaruhi" seseorang tidaklah menggunakan senjata tajam atau sejenisnya, namun dengan saluang sirompak, alat musik tiup dari bambu dengan lima lubang. Kala cinta ditolak, sirompak bertindak. 

Nil Ikhwan lewat tulisannya Proses Magis Sirompak (2003) menjelaskan bahwa alat musik ini menjadi medium bagi seorang laki-laki yang dipermalukan oleh wanita karena cintanya ditolak. Laki-laki yang sakit hati itu kemudian mendatangi peniup saluang sirompak. Alat musik itu pun dibunyikan. Tak lama berselang, si gadis diyakini akan tergila-gila pada laki-laki yang awalnya ditolak. Bahkan, tak jarang, si gadis menjadi gila dalam arti sesungguhnya, tergantung pada kadar sakit hati yang diderita pihak laki-laki. Aktivitas ritus ini pun semakin jarang dilakukan, terutama sejak Islam menjadi agama mayoritas masyarakat Sumatera Barat (Roni Febriandi, 2009).

Suku Dayak di Kalimantan juga begitu lekat dengan garantung (sejenis instrumen gong). Alat musik berpencu itu diyakini bisa menjadi medium yang mengantarkan manusia di bumi untuk menjalin hubungan dengan arwah-arwah leluhur. Garantung senantiasa menemai para balian (dukun adat atau pemimpin upacara) dalam setiap ritus sakral. 

Lewat instrumen itu, para arwah leluhur diyakini akan melindungi anak keturunannya dari segala marabahaya, termasuk santet. Garantung ada dalam setiap prosesi penyembuhan, bahkan kematian seseorang. Garantungmenjadi benda berharga sekaligus mistis yang hanya boleh dibunyikan orang tertentu.

Begitu pun di Sulawesi, tepatnya masyarakat Kaili di Kabupaten Donggala dan Poso. Mereka mengenal lalove, instrumen tiup yang digunakan oleh para pemimpin upacara untuk memanggil arwah atau roh tertentu. Dengan mendengarkannya, tak jarang seseorang diyakini akan kesurupan, marah-marah, bahkan hilang kesadaran. Instrumen ini memiliki arti penting dalam menarasikan arti sakral dan magis. Lalove juga menjadi medium yang menyembuhkan seseorang dari pengaruh-pengaruh ilmu negatif. Sebelum Islam masuk di Poso pada abad ke-17, aktivitas ritus lalove masih begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Kaili. Saat ini instrumen tersebut dianggap sebagai alat musik semata.

Jawa barangkali lebih banyak lagi. Banyak instrumen musik yang dianggap sakral. Gong Sekaten, misalnya, dianggap membawa tuah dan menghindarkan seorang pembawa saji dari rentetan marabahaya. Karena itu, nama gong pun tak main-main, disebut "kiai" atau "nyai" (pemberi berkah) yang dilingkupi berbagai warna dupa, kemenyan, dan sesaji. 

Selain itu, ada juga gending Gadhung Melati, gending sakral yang konon diciptakan oleh Nyi Roro Kidul. Barang siapa membunyikannya tanpa berpuasa atau memenuhi syarat-syarat yang ditentukan niscaya akan mengalami nasib sial, sakit, bahkan kematian. 

Membicarakan santet berarti mendedah kebudayaan dan peradaban bangsa. Namun, melogikakan sesuatu yang tak logis bukanlah pekerjaan mudah, butuh intensitas perumusan yang panjang. Pertanyaannya kemudian, sudahkah ahli-ahli santet Nusantara diundang untuk turut merumuskan rancangan undang-undang persantetan itu. Siapa ahli santet itu? Dukun? Pemain musik sakral? Atau pembawa keris dengan kemenyan? Penaruh dupa di gong? 

Terminologi santet dan pelaku saja masih belum jelas, bagaimana kemudian hendak membakukannya. Paparan tersebut adalah salah satu gambaran singkat, bagaimana aktivitas yang disebut santet itu tak semata melibatkan unsur atau pihak yang salah dan benar. Lebih dari itu, santet telah bersentuhan mesra dengan kebudayaan tradisi di Indonesia, terutama musik. Lucunya, para pejabat senayan justru merasa perlu belajar mengenal santet di Nusantara dengan berkunjung ke dunia penuh logika (Eropa).

Saran saya, para pejabat DPR, berkunjunglah ke daerah-daerah basis ritus itu diberlangsungkan. Maka, terminologi santet yang selama ini menghantui kita mungkin akan sedikit memudar. Sebab, niscaya di balik sisi negatif yang menyeruak, kita akan menemukan Indonesia di dalamnya. 

Menarik kiranya jika simbol-simbol itu kita kaji dan dituangkan dalam analisis akademik yang lebih intelektual. Hal ini tentu akan lebih bermanfaat daripada mencari sesuatu yang tak bisa digapai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar