SANTET, diksi dan kata sederhana yang sudah akrab bagi
telinga masyarakat Indonesia. Santet secara sederhana merupakan sebuah
usaha untuk memengaruhi kondisi psikologis dan fisik atau memasukkan
benda-benda atau pengaruh tertentu pada tubuh seseorang. Santet subur
bertebaran di Nusantara sejak sebelum merdeka. Santet tak semata sebuah
aktivitas magis, namun darinya menarasikan banyak simbol kultural.
Uniknya, Indonesia kini darurat santet. Begitu pentingnya pembahasan
tentang penipuan lewat santet dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana,
sampai-sampai anggota DPR harus melakukan studi banding ke Eropa.
Bagaimana santet sejatinya turut mewarnai, merintis, dan membentuk wajah
kebudayaan (musik) di Indonesia?
Santet di Nusantara memiliki berbagai medium yang menghubungkan penyantet
(pelaku) dengan orang yang disantet (korban), termasuk lewat bunyi. Di
daerah Taeh Barueh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, aktivitas
dalam "memengaruhi" seseorang tidaklah menggunakan senjata
tajam atau sejenisnya, namun dengan saluang
sirompak, alat musik tiup dari bambu dengan lima lubang. Kala cinta
ditolak, sirompak bertindak.
Nil Ikhwan lewat tulisannya Proses
Magis Sirompak (2003)
menjelaskan bahwa alat musik ini menjadi medium bagi seorang laki-laki
yang dipermalukan oleh wanita karena cintanya ditolak. Laki-laki yang
sakit hati itu kemudian mendatangi peniup saluang sirompak. Alat
musik itu pun dibunyikan. Tak lama berselang, si gadis diyakini akan
tergila-gila pada laki-laki yang awalnya ditolak. Bahkan, tak jarang, si
gadis menjadi gila dalam arti sesungguhnya, tergantung pada kadar sakit
hati yang diderita pihak laki-laki. Aktivitas ritus ini pun semakin
jarang dilakukan, terutama sejak Islam menjadi agama mayoritas masyarakat
Sumatera Barat (Roni Febriandi, 2009).
Suku Dayak di Kalimantan juga begitu lekat dengan garantung (sejenis instrumen gong). Alat
musik berpencu itu diyakini bisa menjadi medium yang mengantarkan manusia
di bumi untuk menjalin hubungan dengan arwah-arwah leluhur. Garantung senantiasa menemai para balian (dukun adat atau pemimpin upacara)
dalam setiap ritus sakral.
Lewat instrumen itu, para arwah leluhur diyakini akan melindungi anak
keturunannya dari segala marabahaya, termasuk santet. Garantung ada dalam setiap prosesi
penyembuhan, bahkan kematian seseorang. Garantungmenjadi
benda berharga sekaligus mistis yang hanya boleh dibunyikan orang
tertentu.
Begitu pun di Sulawesi, tepatnya masyarakat Kaili di Kabupaten Donggala
dan Poso. Mereka mengenal lalove,
instrumen tiup yang digunakan oleh para pemimpin upacara untuk memanggil
arwah atau roh tertentu. Dengan mendengarkannya, tak jarang seseorang
diyakini akan kesurupan, marah-marah, bahkan hilang kesadaran. Instrumen
ini memiliki arti penting dalam menarasikan arti sakral dan magis. Lalove juga menjadi medium yang
menyembuhkan seseorang dari pengaruh-pengaruh ilmu negatif. Sebelum Islam
masuk di Poso pada abad ke-17, aktivitas ritus lalove masih begitu lekat dengan
kehidupan masyarakat Kaili. Saat ini instrumen tersebut dianggap sebagai
alat musik semata.
Jawa barangkali lebih banyak lagi. Banyak instrumen musik yang dianggap
sakral. Gong Sekaten, misalnya, dianggap membawa tuah dan menghindarkan
seorang pembawa saji dari rentetan marabahaya. Karena itu, nama gong pun
tak main-main, disebut "kiai" atau "nyai" (pemberi
berkah) yang dilingkupi berbagai warna dupa, kemenyan, dan sesaji.
Selain itu, ada juga gending Gadhung Melati, gending sakral
yang konon diciptakan oleh Nyi Roro Kidul. Barang siapa membunyikannya
tanpa berpuasa atau memenuhi syarat-syarat yang ditentukan niscaya akan
mengalami nasib sial, sakit, bahkan kematian.
Membicarakan santet berarti mendedah kebudayaan dan peradaban bangsa.
Namun, melogikakan sesuatu yang tak logis bukanlah pekerjaan mudah, butuh
intensitas perumusan yang panjang. Pertanyaannya kemudian, sudahkah
ahli-ahli santet Nusantara diundang untuk turut merumuskan rancangan
undang-undang persantetan itu. Siapa ahli santet itu? Dukun? Pemain musik
sakral? Atau pembawa keris dengan kemenyan? Penaruh dupa di gong?
Terminologi santet dan pelaku saja masih belum jelas, bagaimana kemudian
hendak membakukannya. Paparan tersebut adalah salah satu gambaran
singkat, bagaimana aktivitas yang disebut santet itu tak semata
melibatkan unsur atau pihak yang salah dan benar. Lebih dari itu, santet
telah bersentuhan mesra dengan kebudayaan tradisi di Indonesia, terutama
musik. Lucunya, para pejabat senayan justru merasa perlu belajar mengenal
santet di Nusantara dengan berkunjung ke dunia penuh logika (Eropa).
Saran saya, para pejabat DPR, berkunjunglah ke daerah-daerah basis ritus
itu diberlangsungkan. Maka, terminologi santet yang selama ini menghantui
kita mungkin akan sedikit memudar. Sebab, niscaya di balik sisi negatif
yang menyeruak, kita akan menemukan Indonesia di dalamnya.
Menarik kiranya jika simbol-simbol itu kita kaji dan dituangkan dalam
analisis akademik yang lebih intelektual. Hal ini tentu akan lebih
bermanfaat daripada mencari sesuatu yang tak bisa digapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar