Senin, 25 Maret 2013

Benang Merah Lapas Berdarah


Benang Merah Lapas Berdarah
Herie Purwanto ;  Ajun Komisaris Polisi,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan atau Unikal 
JAWA POS, 25 Maret 2013
  

SUNGGUH memprihatinkan kita semua atas kejadian di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIB Cebongan, Sleman, Sabtu dini hari (23/3). Empat orang tahanan titipan Polda DIJ harus meregang (sekarat), lalu melepas nyawa karena diberondong senjata api oleh orang tak dikenal yang menyerbu masuk ke lapas tersebut.

Sebagaimana dilaporkan media elektronik atau media cetak, kita memperoleh gambaran betapa penyerbuan tersebut sangat brutal dan mengindahkan penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Sekelompok orang ''tak dikenal'' tersebut dalam waktu singkat masuk paksa dengan melumpuhkan petugas jaga lapas, kemudian tanpa basa-basi menuju kamar tahanan para target dan langsung menembak mereka.

Para korban penembakan, yaitu Hendrik Angel Sahetapy alias Dicky (31), Yohanes Juan Manbait alias Juan (38), Gamelial Yernianto Rohi Riwu alias Adi (29), dan Andrianus Candra Galaja alias Dedi (33), merupakan tersangka kasus penganiayaan di Hugo's Cafe yang mengakibatkan anggota Kopassus Sertu Santoso (31) tewas. Dari sini, publik maupun para pengamat menarik benang merah atau ada hubungan di antara dua kejadian tersebut. Meskipun, pejabat dari TNI menampik tudingan dugaan keterlibatan anggotanya dalam insiden lapas berdarah tersebut.

Menurut Musni Umar dalam buku Demokrasi Politik, perbuatan melawan hukum seperti main hakim sendiri akan menimbulkan kekacauan dan ketidakseimbangan dalam masyarakat karena semua orang dapat menjadi hakim terhadap yang lain, walaupun belum dibuktikan kesalahannya secara hukum (2004:360).

Bila ditelisik ke belakang, di negeri ini entah mengapa kejadian seperti di Lapas Sleman menunjukkan eskalasi yang meningkat. Bukankah kasus ''penyerbuan oknum TNI ke Polres Ogan Komering Ulu (OKU)'' dan penyerbuan massa ke polsek atau mapolres yang menuntut pembebasan tahanan terjadi sambung sinambung? Rupanya menguatkan modus pemaksaan kehendak dengan menyisihkan aturan yang ada?

Dalam konteks penyerbuan orang tak dikenal ke Lapas Sleman yang diberitakan berjumlah 17-an orang dengan bersenjata lengkap, kemudian melumpuhkan penjaga lapas, memalsukan identitas, dengan pola-pola tindakan yang taktis dan terpimpin, segera menggiring kepada sebuah simpulan siapa pelaku kejadian tersebut. Ini akan bisa dibaca oleh masyarakat pada umumnya untuk menirunya meski secara teknis sulit dilakukan kalau tidak sangat terlatih. 

Pada sisi lain, juga dipertanyakan peran dari intelijen negara. Sebagai pemberi peringatan dini (early warning), mereka seharusnya bisa membaca sejak awal sebelum kejadian tersebut. Kejadian di Hugos Cafe, dari kaca mata intelijen, harus diprediksikan akan berlanjut. Hal ini berkaca kepada kasus di OKU. Penyelenggaran keamanan oleh negara, yang di dalamnya melibatkan peran dan fungsi intelijen negara, sudah seharusnya membaca gelagat tersebut.

Mengapa demikian? Dalam beberapa kasus, ketika yang menjadi korban adalah seseorang dari bagian sebuah intitusi atau lembaga yang mempunyai ikatan korps yang tinggi (bisa TNI, Polri, atau lembaga sipil, termasuk mahasiswa perguruan tinggi semimiliter), mempunyai kecenderungan akan berbuntut. Ikataan jiwa korsa mereka sangat tinggi sehingga memunculkan rasa untuk balas dendam dengan berbagai cara.

Tentu saja akan sangat ironis bila yang tersulut dendam itu adalah ikatan korps yang mempunyai senjata dan sudah dididik melakukan cara-cara penyusupan, infiltrasi, sampai pada penghilangan nyawa target. Itu tidak boleh dibiarkan dan berlarut-larut. Harus ada penyelesaian secara komprehensif, tidak secara parsial menangkap pelaku dan menganggap kasus di Lapas Sleman sebagai kasuistis semata.

Pada sisi lain, kejadian di Lapas Sleman harus menjadi entry point pemulihan penghargaan negara atas hak hidup warga negara. Jajaran Kementerian Hukum dan HAM yang membawahkan lapas harus berbenah dalam hal strategi pengamanan para tahanan. Bisa jadi, selama ini belum terantisipasi kejadian penyerbuan sehingga standard operating procedure (SOP)-nya maupun kesiapan penjaga lapas belum optimal.

Ke depan, agar kejadian dengan modus yang sama berulang, hukum harus ditegakkan, siapa pun pelakunya. Pemerintah tidak boleh membiarkan benih-benih penjabaran rasa senasib sepenanggungan ke arah yang sesat, yang pada akhirnya justru akan merobek-robek penghargaan atas hukum yang telah kita sepakati bersama untuk kita tegakkan. Kita amati, apakah pelakunya akan ditangkap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar