Kongres
luar biasa (KLB) yang akan segera diselenggarakan oleh Partai Demokrat
(PD) merupakan implikasi dari konflik antara dua faksi besar di internal
PD yang sebelumnya laten kemudian menjadi manifes.
Konflik
tersebut terjadi, karena adanya dua keinginan kontradiktif, yakni:
pertama, membangun partai politik secara modern dengan mengedepankan
mekanisme internal partai yang kuat, berhadapan dengan yang kedua,
melanggengkan kepentingan penguasa lama. Konflik tersebut bertahan hanya
sekadar laten, karena Anas Urbaningrum pada saat awal-awal terpilih
menjadi Ketua Umum PD mampu mengendalikan para loyalisnya untuk tidak
menunjukkan pertentangan yang sesungguhnya ada terhadap SBY.
Dalam konteks
ini, SBY tidak menginginkan dominasinya di PD tereduksi atau terdegradasi
oleh keberadaan ketua umum baru PD dengan kualitas yang menyamai atau
bahkan berpotensi melampaui dirinya. Pasalnya, keberadaan tokoh dengan
kualitas tersebut, akan ada mataharikembardiinternalPD. Karena itu,
menjelang Kongres II di Bandung, dengan cara-cara tertentu, kemunculan
Anas sudah diupayakan untuk dihadang.
Sebab, harus
diakui bahwa Anas memang memiliki potensi besar menjadi politisi ulung
yang bisa melampaui SBY. Dan indikasi tersebut makin kuat, karena upaya
untuk menghadangnya menjadi pemimpin puncak di PD ternyata gagal total.
Anas menang telak, mengalahkan Andi Mallarangeng yang diinginkan oleh SBY
untuk memegang kendali utama PD. Seharusnya, dalam organisasi partai
modern, setiap kader mendapatkan peluang yang sama untuk memperebutkan
kepemimpinan.
Tugas partai
adalah membangun sistem yang mampu melahirkan kader-kader tangguh yang
memiliki kemampuan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan masa depan di
dalam partai. Dan karena partai politik harus merebut kekuasaan,
kader-kader terbaik itulah yang nantinya didistribusikan ke dalam
strukturstruktur politik negara. Dalam konteks mekanisme internal ini,
siapa pun yang menang dalam kompetisi memperebutkan kepemimpinan partai
harus mendapatkan dukungan penuh, termasuk dari pihak yang kalah dalam
kompetisi.
Tentu saja
diperlukan sikap lapang dada untuk memberikan kesempatan kepada pemenang
untuk menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Faksi yang kalah, jika
tetap mempertahankan eksistensinya di dalam partai, harus menjadi
“oposisi loyal” yang orientasinya tidak mengganggu kinerja kepengurusan
yang sedang berjalan, tetapi sebatas mengkritisi agar partai tetap berada
pada track yang benar.
Namun,
terdapat fenomena kecenderungan elite politik saat ini, terutama yang
telah menguasai struktur politik kenegaraan untuk melanggengkan
kekuasaan, walaupun dilakukan dengan menghalalkan segala cara, termasuk
mematikan kader- kader muda yang memiliki potensi besar. Tidak ada
kebesaran hati dari elite politik untuk menyerahkan kepemimpinan politik
kepada pribadi-pribadi yang memang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan
kompetensi.
Yang lebih
dipentingkan adalah motif untuk mengalihkan kekuasaan kepada orang-orang
yang diinginkan dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan- kepentingan
sendiri, bahkan mengamankan diri dari perangkat hukum yang mungkin saja
akan menjerat mantan penguasa, karena penyelewengan kekuasaan yang
dilakukan pada saat berkuasa. Situasi dan kondisi seperti inilah yang
bisa disebut sebagai Fir’aunisasi dalam politik.
Alquran,
dalam beberapa tempat, mengisahkan figur Firaun sebagai raja atau
penguasa dengan kekuasaan absolut. Namun, karena bisikan para ahli nujum
yang dianggapnya memiliki keahlian meramalkan kejadian di masa depan, ia
menjadi takut kehilangan kekuasaan. Sebab, para ahli nujum kepercayaannya
memprediksikan bahwa akan lahir seorang anak lelaki yang akan meruntuhkan
kekuasaannya.
Karena itu,
ia kemudian melakukan operasi besar- besaran untuk menyembelih setiap
bayi laki-laki yang dilahirkan di seluruh wilayah negerinya (al-Baqarah:
49, Ibrahim: 6, al-Qashash: 4). Karena ketakutan yang berlebihan, Firaun
kemudian melakukan tindakan melampaui batas yang justru menimbulkan
kebencian sebagian besar rakyatnya sendiri menjadi semakin bertambah,
sehingga kemudian berbalik melakukan perlawanan terhadapnya.
Dan karena
ketakutan dan tindakan yang berlebihan itulah, Firaun justru kehilangan
kekuasaannya dengan cara yang sangat mengenaskan, tenggelam di lautan.
Faktor utama terjadinya Fir’aunisasi adalah penguasa telah menjadikan
kekuasaan sebagai tujuan. Dan kekuasaan juga digunakan sebagai sarana
untuk memenuhi hasrat cinta kepada diri sendiri dan kelompok yang
terbatas, bahkan sering kali adalah keluarga, sehingga kemudian melakukan
penyelewengan kekuasaan.
Dalam sistem
politik yang membatasi periodisasi politik, penguasa tersebut merasa
memiliki kepentingan untuk mengamankan diri dengan cara tetap berkuasa,
walaupun secara formal telah terjadi peralihan kekuasaan kepada orang
lain. Caranya tentu saja adalah menempatkan penguasa baru yang dianggap
bisa mengamankan penguasa lama dari jeratan hukum yang sangat mungkin
terjadi ketika sang penguasa lama telah menjadi orang biasa.
Dalam konteks
ini, penguasa baru sesungguhnya tidak lebih dari sekadar boneka dari
penguasa lama yang secara formal telah tidak lagi memegang kendali
kekuasaan. Dan untuk itu, salah satu cara yang kemudian dilakukan adalah
“menyembelih” calon-calon pemimpin masa depan, karena dianggap
membahayakan.
Operasi dan
aksi penyembelihan yang memang terjadi secara faktual dalam sejarah yang
dikisahkan Alquran, bisa dipahami sebagai simbol bahwa karena
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa, bisa membuatnya
melakukan berbagai upaya, termasuk mematikan generasi baru yang lebih
muda, terutama yang dianggap bisa menimbulkan bahaya bagi masa depan
hidupnya, keluarganya, atau orang-orang terdekatnya.
Orangorang
muda yang memiliki potensi besar sebagai pemimpin masa depan dimatikan
dengan cara menjauhkannya dari pusat-pusat kekuasaan. Bahkan, orang-orang
yang potensial itu bisa juga dipenjarakan. Fir’aunisasi inilah yang
menjadi penyebab utama kaderisasi partai politik tidak berjalan baik.
Kepemimpinan yang seharusnya berjalan natural dengan indikator terjadinya
kompetisi yang sehat di antara para kader yang memiliki potensi
kepemimpinan yang baik yang diselenggarakan dengan fair, justru
diintervensi oleh elite politik dengan kekuasaan paling besar.
Seharusnya,
elite politik yang telah berkuasa menempatkan diri sebagai “godfather” bagi kader-kader
penerus kepemimpinan, sehingga yang muncul sebagai pemimpin kemudian
adalah kader-kader yang terbaik, bukan pemimpin karbitan, karena lahir
dari perlakuan khusus atau dukungan yang berlebihan dari elite terdahulu.
Dalam
momentum KLB nanti, jika para politisi PD tidak segera menyadari situasi
yang terjadi saat ini dan berbenah secara cepat dengan melakukan
akselerasi kaderisasi untuk mempersiapkan kepemimpinan masa depan, maka
PD akan menjadi partai politik dengan kepemimpinan puncak yang bersifat
absolut. Fir’aunisasi pemimpin akan menguat dan akan semakin menjauhkan
PD dari sifat dan karakter sebagai partai modern. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar