Rabu, 27 Maret 2013

Belajar Santet di Eropa


Belajar Santet di Eropa
Yasmi Adriansyah  ;  Kandidat PhD, School of Politics and International Relations Australian National University
REPUBLIKA, 26 Maret 2013

  
"Anggota DPR mau studi banding lagi ke Eropa. Yang mau dipelajari undang-undang soal santet.  Doraemoooon! Tolooooong!" 

Kalimat lucu bernada sinisme di atas adalah kicauan akun twitter Addie MS, seniman nasional yang terbilang aktif mencermati politik Indonesia.  Dengan jumlah pengikut twitter lebih dari 440 ribu orang, suara Addie merupakan satu dari ratusan ribu atau bahkan jutaan warga di Tanah Air yang memiliki pandangan serupa bahwa rencana studi banding DPR RI ke luar negeri guna mempelajari santet terbilang di luar logika.

Media massa dan media sosial ramai menyebarkan berita dan sikap penolakan atas rencana kunjungan Komisi III ke empat negara di Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, dan Rusia). Tidak saja ungkapan sinisme seperti di atas, sejumlah ungkapan bahkan sudah tergolong sarkastis.
Tanpa harus berpolemik panjang lebar mengenai layak-tidaknya studi banding Komisi III, berikut beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak berkepentingan di DPR, khususnya dari aspek proses pendalaman substansi maupun efi siensi anggaran. Rekomendasi pertama, sudah saatnya DPR mengoptimalkan intelektualitas anak bangsa yang sedang menuntut ilmu di luar negeri. Untuk `ilmu santet', sederhananya pihak DPR tinggal mencari cendekiawan atau mahasiswa pascasarjana Indonesia yang sedang mendalami bidang tersebut di negeri yang ingin dibandingkan. 

Tentu, tidak harus secara sempit dari hal-ihwal santet semata, tetapi dapat melalui bidang-bidang terkait, seperti antropologi, hukum, sosiologi, atau bahkan medis yang langsung maupun tidak langsung memiliki keterkaitan.
Sekiranya satu ahli dianggap belum memadai, dapat dimintakan kajian bersifat lintas disiplin. Hal ini lazim berlaku dalam pengerjaan riset akademis.

Tidak ada salahnya pula jika kepada para intelektual yang dimintakan bantuan pengerjaan riset diberikan penghargaan sewajarnya. Jika diambil angka sederhana, nilai 5.000 dolar AS atau sekitar Rp 50 juta cukup moderat sebagai balas jasa kepada tim intelektual atas satu proyek penelitian. Itu pun kalau mereka berkenan menerima uang rakyat tersebut.

Seandainya DPR mengambil langkah di atas, upaya selanjutnya adalah `penggandaan' proyek riset de ngan jumlah negara yang ingin `distudibandingkan'. Kalau direncanakan ada empat negara, berarti DPR hanya perlu mengeluarkan total dana sekitar Rp 200 juta, jauh lebih kecil dibandingkan perkiraan total biaya Rp 6,5 miliar ren cana studi banding Komisi III sebagaimana perhitungan Fitra. Itu pun belum termasuk biaya pelayanan dari kantor perwakilan RI di luar negeri.

Cara menghubungi intelektual Indonesia di luar negeri amatlah mudah. Jika tidak melalui kantor perwakilan RI, cukup menghubungi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang tersebar di banyak negara. Inggris, Belanda, dan Prancis pun adalah negara-negara yang memiliki banyak kantung intelektual Indonesia.

Tentu saja, proyek riset yang dimaksud di atas bersifat dinamis sehingga masih dapat dimintakan penjelasan lebih jauh. Sekiranya diperlukan, DPR tinggal melakukan komunikasi virtual dengan para peneliti yang sudah ditunjuk. Fasilitas berbayar maupun gratis telah banyak tersedia, seperti Sykpe dan Google Hangout, yang relatif mudah digunakan untuk keperluan `konferensi jarak jauh'. 

Rekomendasi kedua, DPR diharapkan lebih memberdayakan staf ahli yang dimiliki. Dari interaksi penulis dengan sejumlah staf ahli DPR RI, harus diakui sebagian memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Karenanya, tidak ada alasan untuk tidak mengoptimalkan peran mereka. Tidak saja hal ini memang sudah sewajarnya, tetapi sekaligus sebagai upaya pemberdayaan berbagai perangkat yang notabene melekat di dalam institusi.

Dalam konteks efi siensi, DPR cukup mengirim dua-empat staf ahli yang berkompeten untuk melakukan studi ke berbagai negara dengan tiket pesawat kelas ekonomi dan bekal uang perjalanan sesuai aturan. Biaya perjalanan `studi banding' ini pasti jauh lebih murah di- bandingkan rencana mengirim belasan anggota DPR yang secara umum dike- tahui selalu menggunakan kelas bisnis.

Rekomendasi ketiga, DPR memilih opsi termurah atau bahkan gratis. Opsi- opsi tersebut, di antaranya meminta perwakilan asing terkait di Jakarta untuk menjelaskan peraturan perundang- undangan di negara mereka, meminta perwakilan Indonesia di negara yang dituju guna melakukan kajian singkat, meminta ahli-ahli Indonesia di dalam negeri untuk melakukan penelaahan, dan terakhir melakukan kajian sendiri melalui internet.

Atas berbagai rekomendasi di atas, Komisi III DPR tentu dapat langsung mempertanyakan, apakah ada jaminan akan memperbaiki kualitas rancangan UU yang sedang dibahas? Tentu saja tidak ada, sebagaimana juga pelbagai studi banding DPR yang kerap dipertanyakan publik mengenai efektivitasnya. Namun, setidaknya ada jaminan bahwa sinisme, sarkasme, atau bahkan kemarahan publik atas lembaga DPR dapat direduksi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar