Tahapan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD
tahun 2014 akan memasuki masa pendaftaran calon sementara (DCS). Tahapan
ini telah didahului oleh penetapan peserta pemilu yang saat ini
setidaknya menghasilkan 15 partai politik peserta pemilu (12 partai nasional,
tiga partai lokal Aceh).
Menurut undang-undang, partai politik telah
diperbolehkan melakukan kegiatan kampanye dalam bentuk tertentu tiga hari
setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Ini artinya pemilu legislatif
menjadi satu-satunya pemilu dengan rentang masa kampanye yang begitu
lama. Dengan keluwesan undang-undang memberikan waktu yang begitu lama
bagi partai politik untuk melakukan kampanye, biaya politik dengan
sendirinya akan menjadi sangat besar. Partai politik dan calon tentu akan
berlomba-lomba meningkatkan elektabilitas partai dan calon dengan cara
masing-masing. Kampanye konvensional melalui media elektronik, cetak,
poster, baliho, dan pernak-pernik lainnya masih akan tetap mendominasi.
Padahal metode kampanye semacam inilah yang menjadi penyebab utama
tingginya biaya politik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sama sekali tidak memberi batasan
maksimal belanja kampanye bagi peserta pemilu. Ini berarti partai politik
dan calon diperbolehkan menggunakan seluruh sumber daya untuk membiayai
kegiatan kampanye. Maka, kampanye akan menjadi ajang pasar bebas dalam
praktek demokrasi (free market
democracy).
Hukum "pasar bebas" adalah memberikan
keuntungan bagi siapa pun yang memiliki modal capital (uang) kuat.
Basisnya tidak lagi pada kapasitas dan kapabilitas personal calon,
melainkan seberapa kuat modal uang yang dimiliki untuk memoles citranya
di hadapan publik. Kampanye yang tak terbatas inilah yang di kemudian
hari akan menjadi bumerang dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat
publik. Fokusnya tidak lagi bagaimana bekerja untuk publik, melainkan
bagaimana mengembalikan biaya politik tersebut selama menduduki
jabatannya. Maka, tidak mengherankan ada begitu banyak pejabat publik
yang kemudian tersandera kasus korupsi.
Kelemahan undang-undang dalam membatasi belanja
kampanye harus disiasati melalui pembatasan aturan kampanye pada level
teknis. Ruang tersebut tentu hanya dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) sebagai satu-satunya lembaga yang dimandatkan untuk menyusun dan
menetapkan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilu (Pasal 8 ayat 1
huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012).
Dengan tidak mengabaikan undang-undang, peluang
pembatasan tersebut setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa hal.
Pertama, partai politik harus dipaksa menginisiasi kampanye gabungan di
masing-masing partai. Ini untuk menghindari adanya "perlombaan"
kampanye di lingkup internal partai. Ini untuk menghindari agar calon
yang memiliki sumber dana terbatas memiliki kesempatan yang sama untuk
berkampanye.
Dalam hal ini peran partai politik sangat dibutuhkan
untuk menertibkan kebiasaan kampanye yang dilakukan secara jorjoran.
Penguatan partai pada sisi ini sejalan dengan mandat konstitusi bahwa
yang menjadi peserta pemilu anggota legislatif (kecuali DPD) adalah
partai politik. Undang-undang juga mengamanatkan bahwa partai politik
adalah penanggung jawab kampanye pemilu dan wajib mendanainya (Pasal 129
ayat 1 UU No. 8/2012).
Semangat ini sebetulnya sejalan dengan upaya
memperkuat akuntabilitas dana kampanye melalui pelaporan dana kampanye
oleh partai politik. Undang-undang secara jelas dan tegas mengamanatkan
bahwa pendanaan kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran dibuat
dalam pembukuan khusus yang terpisah dari keuangan partai politik.
Ini mengisyaratkan bahwa pendanaan kampanye wajib
dilakukan melalui satu pintu, yaitu partai politik sebagai peserta
pemilu. Maka, menjadi tidak relevan ketika partai seolah-olah lepas
tangan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan oleh calon.
Hal kedua yang bisa dilakukan adalah melalui
penelusuran atas kebenaran sumber pendanaan dan biaya faktual kampanye
oleh partai politik. Dalam prakteknya, tidak sedikit partai politik
menerima sumbangan yang berasal dari sumber yang dilarang oleh
undang-undang. Sumber yang dilarang tersebut adalah yang berasal dari
pihak asing, sumber yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemda,
BUMN, BUMD, pemerintah desa, dan badan usaha milik desa. Sesuai dengan
undang-undang, penerimaan atas sumbangan kampanye dari sumber yang
dilarang dapat dikenai pidana dan tindakan hukum lainnya oleh KPU.
Di sisi lain, laporan pengeluaran dana kampanye tidak
hanya didasarkan pada audit oleh akuntan publik. Penyelenggara pemilu
semestinya juga memiliki data pembanding mengenai pengeluaran aktual oleh
masing-masing partai. Sebab, faktanya, audit hanya dilakukan untuk
memeriksa kebenaran dokumen yang diserahkan, bukan pada sisi memastikan
berapa sebetulnya pengeluaran kampanye oleh partai politik.
Pelacakan atas sumber pendanaan kampanye dan
verifikasi atas pengeluaran kampanye faktual menjadi bagian untuk
membatasi belanja kampanye. Kelemahan pada sisi ini sebetulnya menjadi
ruang bagi terjadinya praktek pencucian uang. Kelemahan akuntabilitas dana
kampanye menjadi ruang yang terbuka bagi pencucian hasil kejahatan,
termasuk yang berasal dari korupsi.
KPU dalam konteks ini tidak hanya terpaku
dalam konteks rezim pemilu, tapi juga bersinergi dengan ketentuan
undang-undang lain yang mendukung terciptanya pemilu yang demokratis.
Dalam demokrasi, fakta menyebutkan bahwa politik biaya tinggi, apalagi
politik yang dibiayai dari sumber yang "haram", justru akan
menghasilkan pemerintahan dan lembaga legislatif yang korup. Maka,
pilihan untuk membatasi biaya politik, termasuk belanja kampanye, adalah
pilihan yang harus diambil oleh penyelenggara pemilu. Agar politik biaya
tinggi ini tidak lagi menjadi alat reproduksi korupsi di masa depan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar