Minggu, 31 Maret 2013

Paskah dan Derita Kaum Tersalib


Paskah dan Derita Kaum Tersalib
Benny Susetyo ;  Rohaniwan
SINAR HARAPAN, 30 Maret 2013

  
Keadilan merupakan persoalan sepanjang zaman karena dimensinya tidak mudah dipahami secara nalar. Adil bukan sekadar sama rata dan sama kedudukan. Sikap adil sulit dipahami karena menyangkut dimensi batin manusia.

Jika menyangkut batin manusia, yang paling memungkinkan kita memahami keadilan adalah mengukurnya sejauh mana manusia mencintai kehidupan bersama. Cinta akan kehidupan bersama memberi dimensi batin ke luar dari perasaan ke-aku-an.

Egoisme bukan ukuran keadilan karena sikap ini sering hanya berkaitan dengan tetek bengek seputar harga diri dan keuntungan bendawi. Demi harga diri itulah manusia tak jarang mengejar sesuatu yang hampa. Kehampaan, tanpa kita sadari, telah menjadi ciri khas manusia modern. Manusia yang dibentuk dari piranti-piranti serba instan, kembali menghasilkan manusia sebagai instrumen belaka.
Ini zaman politik pencitraan. Seseorang dipoles menjadi bintang dan perilakunya diatur dengan cermat untuk menunjukkan dia baik, dia bijak, dia santun, dia berwibawa, atau dia pro rakyat.
Penampilan mudah sekali dimanipulasi karena permainan teknologi yang membuat nalar kita sulit memberikan penilaian. Padahal semuanya musang berbulu domba.

Ini zaman yang katanya membawa perubahan, namun nyatanya belum juga membawa kebahagiaan bagi mereka yang miskin, papa dan terkapar. Zaman yang tidak pernah bergerak memperbarui diri dan memberi hati kepada mereka yang selama selalu kalah dalam pertarungan politik global.

Derita Kaum Tersalib

“Dari jurang yang paling dalam kami mengeluh pada-Mu, Ya Allah. Mengapa Engkau meninggalkan kami dalam ketidakberdayaan ini?” Begitu doa rakyat miskin di negeri yang subur ini.

Jeritan ketidakberdayaan kaum tertindas menghiasi berbagai ranah publik. Sekali lagi mereka dikecewakan oleh hantu bernama “elite politik”. Demi kepentingan kekuasaan, nasib rakyat miskin dibuat tak berdaya. Mereka selalu dikalahkan sistem yang penuh dengan kelicikan dan akal busuk.
Politik akal busuk memperdaya masyarakat marjinal yang hidup tergantung pada kebaikan orang lain. Perubahan tak pernah menyentuh mereka karena kaum miskin dianggap sebagai orang yang tak punya daya kuasa untuk menjadi dirinya sendiri. Kaum miskin tetap tersalib oleh sistem hidup yang tak mengenal belas kasih.

Dia tersalib karena kaum miskin hanya dijadikan tumbal dalam proses pembangunan. Tenaganya dieksploitasi, hatinya dipenuhi bermacam-macam janji perubahan oleh penguasa, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya.

Hidup mereka menjadi berat karena harga kebutuhan sehari-hari naik luar biasa–jangan berpikir pendapatan mereka juga akan bertambah. Hidup mereka semakin susah karena para pemangku zaman yang tidak mau berpihak kepada mereka.

Kehidupan mereka hanya digantungkan kepada “Bapak Nasib”. Kalau Pak Nasib lagi baik, mereka bisa makan, kalau Pak Nasib lagi jahat ya, mereka buntung. Kerja keras tak kenal waktu dan lelah hanya untuk berebut kemujuran yang ditawarkan si Nasib tersebut.

Kaum miskin diakalbulusi kebijakan yang orientasinya hanya menguntungkan orang kaya dan pejabat. Mereka ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di lain pihak mematikan daya hidupnya. Kapitalisme yang ada sekarang ini, di negeri ini, ketika berbaur dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah berpihak kepada mereka.

Para pemilik modal berkuasa karena mereka mampu membeli segalanya. Birokrat di negeri ini hanya menjadi perpanjangan tangan pengusaha hitam yang orientasinya semata-mata demi mencari untung. Elite politik sendiri sering mengaku tak kuasa menahan derasnya desakan kekuatan modal, yang ujung-ujungnya menjelma menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal inilah yang membuat tata kehidupan menjadi kehilangan keseimbangan.

Keadaban publik hancur karena poros masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya tidak lagi berdaulat. Kehidupan ini tergantung dari kekuatan modal yang menjelma dalam berbagai kekuatan. Lewat media perilaku dibentuk dengan mengedepankan hal-hal yang menyenangkan panca inderawi belaka.

Paskah Sejati

Situasi tersalib itulah membuat yang mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat masalah mendasar yang ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli mendengar tangisan rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati tetapi sejatinya hanya bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan mereka untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.

Ketersaliban inilah yang membuat cara berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif dalam menghadapi masalah. Lalu kehidupan kita hanya didasari hal-hal yang menipu mata hati. Hilangnya mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di sekitar kita.

Tuhan menjadi jauh dengan kita karena mereka menyalib kaum miskin. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kita tidak punya hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya setiap saat bertambah.
Kita menjauh dari Tuhan karena tangan kita menindas kaum miskin. Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka. Bukankah Dia yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita yang menyalibkan mereka yang tak berdaya? Dia tersalib karena dosa kita membiarkan kaum miskin kelaparan, kehausan, dan kehilangan tempat tinggal.

Dia tersalib karena dosa kita yang membiarkan tanah mereka digusur dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Dia tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite politik. Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk tegaknya keadilan di bumi ini.

Paskah sejati adalah kemauan untuk merenungkan dan kembali membela kaum tergusur. Itulah Paskah sejati yang ada dalam diri mereka yang haus keadilan. Haus kebenaran dan haus cinta kepada mereka yang miskin dan papa. Itulah Paskah yang membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan harta dan jabatan. Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap seorang diri.

Kalau moralitas tetap tidak dijadikan acuan hidup bersama karena kuasa uang dijadikan acuan kehidupan publik, itu tanda kita tak pernah mengakui adanya Tuhan di sekitar kita, dalam jiwa kita. Kehidupan publik menjadi hancur karena kuasa kegelapan menjelma menjadi monster yang siap menerkam dengan kuasa uang dan kuasa bedil. Kuasa itulah yang membuat nilai-nilai kemanusiaan menjadi rapuh karena telah memasuki tubir dosa struktural.

Dosa struktural ini telah membuat manusia terkecoh. Mereka mencari roti yang hanya mengenyangkan belaka. Mereka lupa akan Roti Surgawi. Padahal Dia mengatakan, “Carilah Roti Surga maka yang lain akan datang.”

Paskah seharusnya membuat nilai-nilai kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan ini. Mari kita rayakan Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar sejati.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar