Selasa, 26 Maret 2013

Status Pelajaran Agama di Sekolah


Status Pelajaran Agama  di Sekolah
Achmad Munjid ;  Staf Pengajar Center for Religious and Cross-Cultural Studies, Pascasarjana UGM
KOMPAS, 26 Maret 2013


Sejak kemerdekaan hingga 1965, pelajaran Agama bersifat pilihan di sekolah-sekolah umum. Sebelum itu, minimal sejak 1871 hingga berakhirnya pemerintah kolonial Belanda, sekolah-sekolah pemerintah bahkan tidak dibenarkan memberikan pelajaran Agama demi menjaga netralitas negara.
Atas desakan kaum agama yang tengah berseteru dengan kelompok komunis, Orde Baru kemudian mengeluarkan Tap MPRS Nomor 27 Tahun 1966 yang mewajibkan mata pelajaran Agama kepada semua siswa dari tingkat SD hingga perguruan tinggi (PT), sampai sekarang. Kini, Kurikulum 2013 hendak memberikan porsi dua kali lipat untuk pelajaran Agama. Buat apa?
Perlu Dikaji Ulang
Meski kerap dibungkus retorika moral, jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan pelajaran Agama di sekolah-sekolah umum seperti yang ada sekarang sesungguhnya lebih ditopang oleh alasan politis. Tak heran, agama lebih banyak dipakai, terutama sebagai identitas politis.
Beragama pun menjadi serba politis. Meski simbol-simbol agama kini bertebaran di mana-mana, secara substansial kita tidaklah lebih religius. Hubungan antarumat beragama pun cenderung rentan konflik. Sementara nilai-nilai dasar agama—seperti keadilan, kejujuran, kesederajatan, tanggung jawab, saling menghargai sesama—sering ketelingsut entah ke mana.
Karena itu, status pelajaran Agama ini sudah waktunya ditinjau kembali. Sejauh ini, ia lebih banyak menjadi beban: beban akademis dan beban anggaran. Sementara manfaat substansialnya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Sebagai penegasan, yang saya persoalkan adalah pelajaran Agama di sekolah-sekolah umum.
Saya setuju pendapat (alm) Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: pendidikan agama merupakan tanggung jawab orangtua, bukan negara. Namun, mengingat watak konstitusi dan sejarah kita, pelajaran Agama bisa tetap diberikan di sekolah umum asal sifatnya pilihan, bukan wajib. Ini yang dulu berlaku sesuai UU No 4/1950.
Kalau anak-anak mau mendapatkan pendidikan agama yang cukup, kirimlah mereka ke lembaga-lembaga agama. Ini sekaligus pendorong bagi orangtua dan lembaga-lembaga agama, seperti madrasah diniyyah dan sekolah Minggu, agar aktif berperan menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Sekolah bukanlah ’juru selamat” tempat kita menyerahkan segala urusan. Kalau dipaksakan, sekolah akan kewalahan, kualitas pendidikan akan rendah mutunya, dan akhirnya anak didiklah yang jadi korban.
Usulan untuk mengembalikan status pelajaran agama dari wajib ke opsional ini juga pernah ramai dibicarakan dalam sidang MPR tahun 1973, tapi ditentang oleh kelompok Islam karena alasan trauma bahaya PKI. Jelas, alasan itu kini tak relevan lagi.
Kita juga harus ingat, kebijakan kewajiban pelajaran agama di sekolah umum sesungguhnya telah memakan banyak korban, terutama di kalangan penganut agama-agama lokal dan sistem keyakinan yang tak diakui. Secara perlahan tapi pasti, anak-anak dari keluarga penganut agama lokal dan mereka yang tak diakui statusnya itu telah dipaksa untuk pindah dan memeluk salah satu agama resmi yang diajarkan di sekolah. Jika ini terus dibiarkan, apa artinya kebebasan beragama yang dijamin konstitusi?
Model pembelajaran agama yang monoreligius (hanya mempelajari satu agama [sendiri] saja) seperti sekarang perlu diubah menjadi multireligius, terutama untuk siswa sekolah menengah. Siswa perlu mengenal aspek-aspek fundamental agama lain, selain agama sendiri. Di PT, model ini perlu ditingkatkan menjadi interreligius. Selain mendidik (maha-)siswa untuk tidak gampang terjebak perangkap sektarianisme, kedua model terakhir ini akan menyiapkan siswa berinteraksi secara bermakna dengan keragaman di sekitarnya, di dalam maupun di luar ruang kelas, serta mampu memberikan tanggapan yang positif. Ini mutlak diperlukan agar keragaman bisa dikelola menjadi sumber daya, bukan sumber bencana, bagi kemajuan hidup bersama.
Di harian ini, tahun 1979 (alm) Harsja W Bachtiar pernah mengajukan gagasan serupa. Menurut dia, kuliah agama di PT perlu diganti menjadi kuliah agama- agama yang isinya mencakup semua tradisi keyakinan yang hidup di Indonesia. Metode yang dipakai harus ilmiah, bukan doktriner. Mempelajari agama di tingkat PT adalah untuk mengkaji secara kritis aspek-aspek sejarah, praktik budaya, dinamika sosial-politik yang melatarbelakangi tradisi, dan pemikiran dalam agama yang bersangkutan.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Daoed Joesoef juga pernah mengusulkan perlunya pelajaran agama-agama besar untuk mengganti pelajaran agama di sekolah umum. Namun, usulan pelajaran ”panca-agama” itu ataupun usulan kuliah agama-agama oleh Harsja Bachtiar hanya mendapat kecaman keras, terutama dari kalangan Islam. Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara bahkan menyebut usulan pelajaran ”panca-agama” itu sebagai ide gila!
Kita tahu, di bawah Orde Baru pada masa itu, kelompok Islam memang serba tersingkir dan dilucuti secara hampir sempurna. Semua isu yang dianggap mengancam mereka selalu ditanggapi dengan sikap kelewat peka. Sekaranglah saat yang tepat untuk mengkaji ulang usulan kedua pakar tersebut dengan pikiran yang jernih dan sikap dewasa.
Pengajaran agama dengan model multi dan interreligius ini sama sekali bukan gagasan baru dan asing. Sejak 1970-an, Prof Mukti Ali telah mengembangkan ilmu perbandingan agama meski dalam ruang lingkup yang lebih terbatas. Di banyak perguruan tinggi swasta, terutama di kalangan Protestan dan Katolik, kuliah agama-agama dengan model ini juga sudah lama dikembangkan.
Absurd dan Mencemaskan
Jika kita mundur ke belakang, sejak awal 1930-an, Mahmud Junus—mantan rektor pertama IAIN Padang—telah membekali para calon guru Agama Islam di sekolah menengah yang diasuhnya dengan pengetahuan mengenai agama-agama besar dunia. Al-Adyan—buku berbahasa Arab yang ditulisnya dan masih digunakan di sejumlah pesantren di Jawa dan Sumatera sampai kini—mengupas sejarah dan doktrin agama-agama lain, seperti Zoroastrianisme, Sabi’anisme, Brahmanisme, Buddhisme, Konghucu, Taoisme, Sintoisme, Fetisisme Afrika Barat, selain Yahudi dan Kristen. Junus telah menggunakan pendekatan interreligius dan memberi ruang yang cukup bagi pluralisme agama. Siddharta Gautama, misalnya, menurut dia, bisa dilihat sebagai seorang nabi yang membawa ajaran kebenaran.
Di Medan, pada 1951, Zainal Arifin Abbas juga telah menulis buku Perkembangan Pikiran terhadap Agama, berisi sejarah agama-agama. Buku yang beberapa kali dicetak ulang ini bahkan oleh Departemen Agama pernah direkomendasi sebagai bacaan wajib bagi para calon guru agama.
Sekali lagi, tidak ada yang baru dan aneh untuk mempelajari berbagai agama secara ilmiah. Ia juga tidak akan melemahkan iman siapa pun. Di tengah masyarakat plural yang masih dibayangi berbagai konflik, termasuk yang bernuansa agama, justru itulah yang kita butuhkan. Yang aneh adalah terus mempertahankan status wajib mata pelajaran Agama di sekolah umum sembari bersikeras mempraktikkan model monoreligius dan pendekatan yang doktriner, meski manfaat substansialnya tidak pernah jelas.
Kurikulum 2013 yang justru melipatgandakan porsi pelajaran agama seperti itu sungguh absurd, bahkan mencemaskan.  

1 komentar: