tengah maraknya rasa ketidakpuasan pasien
terhadap pelayanan dokter, , tentu hubungan dokter dengan pasien sedikit
banyak terpengaruh. Timbul pertanyaan: bagaimana hubungan yang ideal dan
sehat antara dokter dan pasien?
Tidak mudah menjawabnya. Banyak dokter yang menganggap
dirinya serbabisa, sementara pengetahuan pasien mengenai penyakitnya
minim sekali. Akhirnya pasien hanya "pasrah" di tangan dokter.
Padahal, sebagai pasien, dia memiliki hak untuk menentukan dan memilih
kesehatannya sendiri.
Harus diakui, dalam kenyataannya, ada dokter yang bijak
dan ada dokter yang tidak bijak. Dokter yang tidak bijak biasanya akan
mementingkan diri sendiri, memberikan resep yang mahal, menyuruh pasien
melakukan pemeriksaan yang tidak perlu, dan yang tergawat melakukan
malapraktik karena kurang ahli. Nah, dokter yang bijak harus memiliki
empati, moral, etika, logika yang baik, ilmu yang luas, serta
keterampilan mutakhir. Itulah dokter yang bijak dan tidak bijak.
Yang pasti, menurut Prof Suyunus dari Surabaya dalam
orasi ilmiahnya, semua orang pintar dapat menjadi dokter, tetapi tidak
semua orang pintar adalah orang baik, hanya orang pintar yang baik yang
dapat menjadi dokter yang baik.
Mungkin Anda tidak setuju atau memiliki pendapat
sendiri. Tetapi, kalimat tersebut mengandung makna yang penting pada
pendidikan seorang dokter. Misalnya, tidak semua orang pintar adalah
orang baik. Terlihat ada kebenaran pada kalimat tersebut. Kenyataannya,
di negara ini banyak orang pintar, tetapi jahat. Orang-orang ini adalah
para koruptor, para pemimpin yang ingkar janji, para eksekutif yang gemar
memperkaya diri sendiri, dan lain sebagainya.
Lebih jauh, yang namanya pelayanan penyembuhan penyakit
seyogianya berlangsung dalam suasana harmonis, kekeluargaan, dan
membahagiakan. Ini bisa berlangsung apabila dokter bekerja dengan
profesionalisme tinggi hingga mampu memuaskan pasien. Sebab, salah satu
aspek kepuasan pasien adalah pasien memperoleh haknya dan diberi
kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya. Itu hanya dapat dilakukan
oleh dokter bijak.
Tentu saja, dalam hal ini saya tidak punya kapasitas
memilah dan memilih siapa yang termasuk dokter bijak dan tidak bijak.
Tetapi, tentu kita (dokter) semua harus berupaya meletakkan profesi
kedokteran pada fungsi luhurnya di tengah pergeseran nilai dalam
pelayanan kesehatan saat ini.
Bukan hal yang harus ditutup-tutupi memang, ada dokter
yang berorientasi pada uang, bukan dokter yang tulus membantu
menyembuhkan si sakit. Alasannya macam-macam. Misalnya, pendidikan
kedokteran sekarang mahal dan lama. Disorientasi dalam praktik seperti
ini mengakibatkan tidak sedikit dokter senior menjadi sangat diminati
pasien sehingga mereka harus berpraktik sampai terkantuk-kantuk hingga
dini hari. Padahal, pasien bisa dirujuk atau didelegasikan kepada dokter
lain. Sebab, bukan tidak mungkin kondisi itu malah membuat dokter tidak
bisa bekerja maksimal dan mengecewakan pasien.
Ada pula dokter yang gemar menggunakan peralatan
kedokteran meski tidak pada tempatnya. Misalnya, untuk mendiagnosis batuk
pilek ringan saja, dokter harus melakukan pemeriksaan laboratorium
lengkap. Keluhan pusing ditanggapi dengan perlunya pemeriksaan CT-scan. Di sinilah pasien harus pintar memilih dokter.
Celakanya, situasi yang kacau seperti ini direspons
tidak proporsional oleh pengacara. Dengan dalih melindungi hak pasien,
mereka serta-merta menuding kesalahan dokter. Asal tahu saja, tidak semua
pengacara mampu memilah mana kesalahan dokter dan mana kegagalan atau
komplikasi. Beberapa pengacara tidak memiliki etika dan sering membujuk
pasien untuk mengajukan tuntutan kepada dokter. Bahkan, ada pula yang
janji tanpa bayaran bila kliennya kalah dalam pengadilan. Akhirnya apa
yang terjadi? Banyak pasien yang mengajukan tuntutan hukum kepada dokter,
sedangkan dokter tidak mau kalah, mereka bersikap defensif.
Jadi, tidak usah heran bila kini semakin banyak pasien
yang lari berobat ke luar negeri karena tak lagi memercayai kompetensi
dokter Indonesia. Hubungan dokter-pasien seperti inilah yang akan
menimbulkan jarak psikologis antara dokter dan pasien. Seolah-olah ada
dua pihak yang menandatangani kontrak perjanjian: pasien harus membayar
dan dokter harus bekerja. Dengan demikian, terasa unsur bisnis yang
kental. Akibat pola seperti ini, hubungan pasien dengan dokter sedikit
terganggu. Masyarakat akan mudah tidak puas dan dokter tetap bersikap
defensif.
Untuk itu, ke depan perlu dirumuskan suatu pola
hubungan baru, yaitu pola kemitraan pasien dan dokter. Hubungan kemitraan
yang dimaksud di sini adalah upaya bersama dokter dan pasien dalam penyembuhan
penyakit. Sesungguhnya inilah hubungan ideal dokter dengan pasien. Sebab,
dalam kondisi sakit, baik berat maupun ringan, baik fisik maupun mental,
seorang pasien pasti butuh dokter.
Di lain sisi, jangan sampai Anda sebagai pasien malah
disalahgunakan dokter yang tujuan utamanya adalah mencari uang tanpa
memperhatikan kondisi pasien. Bagaimanapun, budaya saling menghargai
mesti dikembangkan agar ada rasa saling percaya antara pasien dan dokter.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar