Kamis, 28 Maret 2013

Martabat Manusia dan Negara


Martabat Manusia dan Negara
Makmur Keliat ;  Peneliti pada ASEAN Study Centre, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia
KOMPAS, 28 Maret 2013
  

Peristiwa memilukan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari, dapat saja dipahami sebagai tragedi salah urus penjara. Peristiwa itu juga tentu saja dapat dimengerti sebagai kegagalan dalam proses teknis hukum, prosedur pengawalan baku, ataupun otoritas yang tidak efektif untuk menjalankan fungsi pengawalan di LP tersebut.
Tragedi itu bahkan dapat dianalisis sebagai wujud dari ”aksi balas dendam” yang sengaja dilakukan terhadap empat korban yang tewas. Atau sebaliknya, sebagai tragedi ”memancing di air keruh” yang dilakukan oleh para spoiler untuk menyudutkan pihak tertentu dalam suatu dirty power game yang dirancang secara sempurna.
Tragedi Martabat Manusia
Namun, terlepas dari analisis dan sudut pandang yang berbeda itu, hasil akhir dari seluruh analisis itu adalah tidak berbeda satu dengan lainnya. Ia menghasilkan satu alur cerita akhir yang sama, yaitu kisah tentang tragedi martabat manusia (human dignity) yang dipertunjukkan melalui suatu pamer kekerasan brutal.
Peristiwa di LP Cebongan hanya satu episode dari sejumlah episode yang telah ada sebelumnya, baik yang dipertontonkan secara tidak langsung (tertutup) maupun langsung (terbuka) yang menghasilkan rasa sakit, ketidakberdayaan, dan tak jarang disertai dengan percikan darah yang membawa korban jiwa. Peristiwa di LP Cebongan disebut sebagai suatu tragedi martabat manusia karena pamer kekerasan brutal itu pada dasarnya menafikan gagasan bahwa kehidupan adalah suatu anugerah yang harus dirawat, dilindungi, dan dihargai.
Dengan pamer kekerasan seperti di LP Cebongan itu, konsep kehidupan sebagai anugerah telah digerus, dirusak, bahkan dapat dimusnahkan seketika bukan oleh sang Ilahi sebagai pemberinya. Kehidupan yang seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab yang menyenangkan telah berubah menjadi tindakan kebuasan, baik karena motif politik, ekonomi, maupun personal. Bukankah tidak ada hasil apa pun dari tindakan pamer kekerasan yang brutal selain pengkhianatan terhadap martabat manusia itu sendiri?
Pengingkaran terhadap martabat manusia ini mungkin telah terbentang panjang dalam suatu jalan yang senyap. Kisah-kisah serupa bisa ditemukan dalam bisik-bisik lisan yang melintasi bentangan geografis Nusantara: mulai dari wilayah ujung Aceh hingga ujung Papua.
Rasa tidak berdaya sebagai hasil tindakan itu mungkin telah tersimpan dalam sinar mata jutaan anak negeri yang tampak suram karena pendidikan dan pekerjaan yang tidak layak sehingga sebagian besar di antara mereka hampir tidak peduli dengan rentetan pamer kekerasan yang telah terjadi. Rasa sakit sebagai akibat dari tindak kekerasan mungkin juga dapat ditemukan dalam batin, tersimpan seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan sporadis.
Tragedi Martabat Negara
Salah satu sebab hipotetis dari tragedi ini mau tidak mau menggugat kehadiran negara. Negara digugat jika para pelaku pamer kekerasan brutal itu tidak dapat ditemukan seperti layaknya pekerjaan yang dilakukan siluman, leak, atau begu ganjang dalam potongan kisah rakyat kecil di Jawa, Bali, dan Batak. Menghadapi operasi ”siluman” jangan sampai negara seakan terkesan tidak berfungsi, diam, dan telah dikalahkan, bahkan mungkin ”takut”.
Gugatan ini wajar karena pamer kekerasan brutal dapat menyampaikan pesan yang mencemaskan, yaitu terdapat ”negara” di dalam negara yang kita sebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Bukankah ketika pelakunya tidak dapat ditemukan, watak monopoli negara dalam penggunaan kekerasan itu telah tercederai atau hilang?
Karena itu, yang dipertaruhkan bukanlah sekadar martabat manusia, melainkan juga martabat NKRI sebagai institusi yang seharusnya memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan. Tidak akan terdapat penghormatan terhadap martabat negara ketika martabat manusia diingkari. Demikian juga sebaliknya. Tidak akan terdapat penghormatan manusia ketika martabat negara sebagai pemilik monopoli penggunaan kekerasan dicederai dan dilecehkan. Hubungan martabat negara dengan martabat manusia, karenanya, haruslah dilihat secara simbiotik.
Karena itu pula, para petinggi negara yang menangani urusan penggunaan kekerasan harus dapat menunjukkan sikap perwiranya. Bukankah keteladanan dari kata perwira itu ditunjukkan oleh keberanian mempertanggungjawabkan kata sealur dengan perbuatannya?
Kita perlu menyadari benar bahwa kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa depan. Ada baiknya barangkali kita belajar dari kasus Yugoslavia, seperti yang dipaparkan oleh Serge Brammerts (2012).
Penulis ini menyatakan bahwa konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintah pusat yang lemah dan masyarakat madani (civil society) yang tercerai-berai pun menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan kejahatan yang terorganisasi. Lebih jauh, Brammerts menyatakan, situasi yang paling menyedihkan akan terjadi apabila kejahatan yang terorganisasi memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara.
Jaringan seperti ini merebak apabila orang-orang yang berada dalam struktur kekuasaan negara mengooptasi pelaku-pelaku kejahatan untuk tujuan politik. Dalam kasus Yugoslavia, disebutkan para petinggi negara mencari bantuan dari para pelaku kejahatan selama masa konflik kekerasan di negeri itu. Pelaku kejahatan diminta melakukan aksi bersenjata dan penyebaran teror. Tujuan dari pelibatan ini adalah untuk memberi kesan bahwa pemimpin politik negeri itu bukan pelakunya.
Harus Ditemukan
Kasus Yugoslavia memang menunjukkan fakta-fakta menyedihkan. Di tengah situasi seperti itulah, disebutkan muncul sejumlah unit khusus yang anggotanya merupakan para pelaku kejahatan (seperti batalyon Convicts, Scorpion, Arkan Tiger, dan Juka).
Orang-orang yang berada dalam unit khusus ini memiliki hubungan yang sangat karib dengan pemimpin politik yang berhubungan dengan institusi penggunaan kekerasan. Selain memiliki hubungan karib seperti itu, organisasi kejahatan ini memiliki jejaring hubungan satu dengan lainnya.
Kegiatan penjualan senjata dan penyewaan senjata terjadi di dalam jejaring kejahatan itu. Kelompok-kelompok inilah yang melakukan pembunuhan tak beradab terhadap penduduk sipil yang melawan konvensi internasional tentang hukum kemanusiaan (humanitarian law) sehingga dikategorikan sebagai pelaku dari kejahatan perang (war crime).
Setelah masa perang usai, beberapa tokoh kejahatan di negeri itu bahkan disebutkan telah pula menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya dengan cara tidak benar itu untuk melaksanakan kegiatan bisnis. Swastanisasi yang dilakukan oleh pemerintah seusai masa perang tampaknya telah memberikan jalan masuk dan memudahkan mereka untuk ”melegitimasi” kegiatan bisnisnya. Beberapa dari mereka juga terus mendapatkan perlindungan dari negara karena jejaring koneksi yang telah dibangun sebelumnya. Beberapa juga mendirikan kegiatan usaha ”lembaga-lembaga keamanan” swasta.
Berdasarkan pengalaman Yugoslavia ini, Brammerts telah mengusulkan penyidikan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan perang haruslah disertai dengan tindakan penghukuman terhadap kejahatan terorganisasi (organized crime). Untuk itu, Brammerts menyarankan, penyidikan dan penghukuman atas pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional dilakukan secara bersamaan dengan pelanggaran hukum kasus korupsi dan kejahatan yang terorganisasi.
Penulis yakin kita belum memasuki pintu krisis seperti keruntuhan Yugoslavia pada masa lalu. Namun, para petinggi negara yang menangani instrumen kekerasan sangat perlu menyadari jangan sampai tragedi LP Cebongan menyampaikan sinyal bahwa Indonesia memiliki batalyon siluman, seperti Convicts, Scorpion, Arkan Tiger, dan Juka, seperti di Yugoslavia pada masa lalu. Karena itu, pelakunya harus ditemukan. Sebab yang kini dipertaruhkan adalah martabat manusia dan martabat negara!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar