Peristiwa memilukan di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari,
dapat saja dipahami sebagai tragedi salah urus penjara. Peristiwa itu
juga tentu saja dapat dimengerti sebagai kegagalan dalam proses teknis
hukum, prosedur pengawalan baku, ataupun otoritas yang tidak efektif
untuk menjalankan fungsi pengawalan di LP tersebut.
Tragedi itu bahkan dapat
dianalisis sebagai wujud dari ”aksi balas dendam” yang sengaja dilakukan
terhadap empat korban yang tewas. Atau sebaliknya, sebagai tragedi
”memancing di air keruh” yang dilakukan oleh para spoiler untuk
menyudutkan pihak tertentu dalam suatu dirty power game yang dirancang secara sempurna.
Tragedi Martabat Manusia
Namun, terlepas dari analisis
dan sudut pandang yang berbeda itu, hasil akhir dari seluruh analisis itu
adalah tidak berbeda satu dengan lainnya. Ia menghasilkan satu alur
cerita akhir yang sama, yaitu kisah tentang tragedi martabat manusia (human dignity) yang dipertunjukkan
melalui suatu pamer kekerasan brutal.
Peristiwa di LP Cebongan hanya
satu episode dari sejumlah episode yang telah ada sebelumnya, baik yang
dipertontonkan secara tidak langsung (tertutup) maupun langsung (terbuka)
yang menghasilkan rasa sakit, ketidakberdayaan, dan tak jarang disertai
dengan percikan darah yang membawa korban jiwa. Peristiwa di LP Cebongan
disebut sebagai suatu tragedi martabat manusia karena pamer kekerasan
brutal itu pada dasarnya menafikan gagasan bahwa kehidupan adalah suatu
anugerah yang harus dirawat, dilindungi, dan dihargai.
Dengan pamer kekerasan seperti
di LP Cebongan itu, konsep kehidupan sebagai anugerah telah digerus,
dirusak, bahkan dapat dimusnahkan seketika bukan oleh sang Ilahi sebagai
pemberinya. Kehidupan yang seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab yang
menyenangkan telah berubah menjadi tindakan kebuasan, baik karena motif
politik, ekonomi, maupun personal. Bukankah tidak ada hasil apa pun dari
tindakan pamer kekerasan yang brutal selain pengkhianatan terhadap
martabat manusia itu sendiri?
Pengingkaran terhadap martabat
manusia ini mungkin telah terbentang panjang dalam suatu jalan yang
senyap. Kisah-kisah serupa bisa ditemukan dalam bisik-bisik lisan yang
melintasi bentangan geografis Nusantara: mulai dari wilayah ujung Aceh
hingga ujung Papua.
Rasa tidak berdaya sebagai hasil
tindakan itu mungkin telah tersimpan dalam sinar mata jutaan anak negeri
yang tampak suram karena pendidikan dan pekerjaan yang tidak layak
sehingga sebagian besar di antara mereka hampir tidak peduli dengan
rentetan pamer kekerasan yang telah terjadi. Rasa sakit sebagai akibat
dari tindak kekerasan mungkin juga dapat ditemukan dalam batin, tersimpan
seperti api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba
dalam kemarahan sporadis.
Tragedi Martabat Negara
Salah satu sebab hipotetis dari
tragedi ini mau tidak mau menggugat kehadiran negara. Negara digugat jika
para pelaku pamer kekerasan brutal itu tidak dapat ditemukan seperti
layaknya pekerjaan yang dilakukan siluman, leak, atau begu ganjang dalam potongan kisah rakyat kecil di
Jawa, Bali, dan Batak. Menghadapi operasi ”siluman” jangan sampai negara
seakan terkesan tidak berfungsi, diam, dan telah dikalahkan, bahkan
mungkin ”takut”.
Gugatan ini wajar karena pamer
kekerasan brutal dapat menyampaikan pesan yang mencemaskan, yaitu
terdapat ”negara” di dalam negara yang kita sebut sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) ini. Bukankah ketika pelakunya tidak dapat
ditemukan, watak monopoli negara dalam penggunaan kekerasan itu telah
tercederai atau hilang?
Karena itu, yang dipertaruhkan
bukanlah sekadar martabat manusia, melainkan juga martabat NKRI sebagai
institusi yang seharusnya memiliki monopoli dalam penggunaan kekerasan.
Tidak akan terdapat penghormatan terhadap martabat negara ketika martabat
manusia diingkari. Demikian juga sebaliknya. Tidak akan terdapat
penghormatan manusia ketika martabat negara sebagai pemilik monopoli
penggunaan kekerasan dicederai dan dilecehkan. Hubungan martabat negara
dengan martabat manusia, karenanya, haruslah dilihat secara simbiotik.
Karena itu pula, para petinggi
negara yang menangani urusan penggunaan kekerasan harus dapat menunjukkan
sikap perwiranya. Bukankah keteladanan dari kata perwira itu ditunjukkan
oleh keberanian mempertanggungjawabkan kata sealur dengan perbuatannya?
Kita perlu menyadari benar bahwa
kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa
depan. Ada baiknya barangkali kita belajar dari kasus Yugoslavia, seperti
yang dipaparkan oleh Serge Brammerts (2012).
Penulis ini menyatakan bahwa
konflik kekerasan bersenjata merupakan lahan paling subur untuk
menumbuhkan kejahatan yang terorganisasi. Pemerintah pusat yang lemah dan
masyarakat madani (civil society)
yang tercerai-berai pun menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan
kejahatan yang terorganisasi. Lebih jauh, Brammerts menyatakan, situasi
yang paling menyedihkan akan terjadi apabila kejahatan yang terorganisasi
memiliki jaringan mata rantai dengan institusi-institusi negara.
Jaringan seperti ini merebak
apabila orang-orang yang berada dalam struktur kekuasaan negara
mengooptasi pelaku-pelaku kejahatan untuk tujuan politik. Dalam kasus
Yugoslavia, disebutkan para petinggi negara mencari bantuan dari para
pelaku kejahatan selama masa konflik kekerasan di negeri itu. Pelaku
kejahatan diminta melakukan aksi bersenjata dan penyebaran teror. Tujuan
dari pelibatan ini adalah untuk memberi kesan bahwa pemimpin politik
negeri itu bukan pelakunya.
Harus Ditemukan
Kasus Yugoslavia memang
menunjukkan fakta-fakta menyedihkan. Di tengah situasi seperti itulah,
disebutkan muncul sejumlah unit khusus yang anggotanya merupakan para
pelaku kejahatan (seperti batalyon Convicts,
Scorpion, Arkan Tiger, dan Juka).
Orang-orang yang berada dalam
unit khusus ini memiliki hubungan yang sangat karib dengan pemimpin
politik yang berhubungan dengan institusi penggunaan kekerasan. Selain
memiliki hubungan karib seperti itu, organisasi kejahatan ini memiliki
jejaring hubungan satu dengan lainnya.
Kegiatan penjualan senjata dan
penyewaan senjata terjadi di dalam jejaring kejahatan itu.
Kelompok-kelompok inilah yang melakukan pembunuhan tak beradab terhadap
penduduk sipil yang melawan konvensi internasional tentang hukum
kemanusiaan (humanitarian law)
sehingga dikategorikan sebagai pelaku dari kejahatan perang (war crime).
Setelah masa perang usai,
beberapa tokoh kejahatan di negeri itu bahkan disebutkan telah pula
menggunakan kekayaan yang telah diperolehnya dengan cara tidak benar itu
untuk melaksanakan kegiatan bisnis. Swastanisasi yang dilakukan oleh
pemerintah seusai masa perang tampaknya telah memberikan jalan masuk dan
memudahkan mereka untuk ”melegitimasi” kegiatan bisnisnya. Beberapa dari
mereka juga terus mendapatkan perlindungan dari negara karena jejaring
koneksi yang telah dibangun sebelumnya. Beberapa juga mendirikan kegiatan
usaha ”lembaga-lembaga keamanan” swasta.
Berdasarkan pengalaman
Yugoslavia ini, Brammerts telah mengusulkan penyidikan dan penghukuman
terhadap pelaku kejahatan perang haruslah disertai dengan tindakan
penghukuman terhadap kejahatan terorganisasi (organized crime). Untuk itu, Brammerts menyarankan,
penyidikan dan penghukuman atas pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan
internasional dilakukan secara bersamaan dengan pelanggaran hukum kasus
korupsi dan kejahatan yang terorganisasi.
Penulis yakin kita belum
memasuki pintu krisis seperti keruntuhan Yugoslavia pada masa lalu.
Namun, para petinggi negara yang menangani instrumen kekerasan sangat
perlu menyadari jangan sampai tragedi LP Cebongan menyampaikan sinyal
bahwa Indonesia memiliki batalyon siluman, seperti Convicts, Scorpion,
Arkan Tiger, dan Juka, seperti di Yugoslavia pada masa lalu. Karena itu,
pelakunya harus ditemukan. Sebab yang kini dipertaruhkan adalah martabat
manusia dan martabat negara! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar