KEMBALI umat Kristiani merayakan Paskah,
mengenang wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Inti perayaan Paskah tidak
lain adalah perayaan kemenangan budaya kehidupan. Kematian Yesus yang
dibunuh oleh lawan-lawan-Nya yang mengedepankan kekerasan dan
penganiayaan bukanlah fakta terakhir. Kematian itu berbuah dengan kemenangan
kebangkitan dan tegaknya budaya kehidupan.
Paskah adalah
kemenangan budaya kehidupan atas budaya kematian. Yesus memang mati
akibat kekerasan dan penganiayaan melalui peristiwa penyaliban namun
kematian itu bukan kematian definitif. Kematian itu telah berbuah budaya
kehidupan.
Upaya
menegakkan budaya kehidupan melawan budaya kematian tak pernah usang.
Hingga hari ini, kita dihadapkan pada begitu banyak konspirasi yang
menjunjung tinggi budaya kematian. Budaya kematian itu berwajah
kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, intoleransi dan korupsi.
Di negeri
kita sendiri, kita menyaksikan budaya kematian terus menampakkan wajahnya
melalui beragam wujud. Kekerasan dan penganiayaan yang berujung kematian
selalu terjadi. Yang paling aktual adalah pembantaian empat tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan Kabupaten Sleman DIY. Itu
hanyalah satu dari sekian banyak kasus kekerasan dan penganiayaan yang
berujung pada kematian secara tragis.
Ketidakadilan
dan intoleransi menjadi wajah budaya kematiaan lain yang juga kerap
terjadi di republik ini. Entah berbuah kematian secara fisik, entah
kematian secara psikologis dalam konteks kebebasan menjalankan hak-hak
asasi sebagai umat beragama; intoleransi telah menghadirkan budaya
kematian bagi pihak-pihak yang mengalaminya.
Budaya Kehidupan
Demikian juga
degan korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit kronis yang bahkan kian
mematikan kesejahteraan yang mestinya dialami oleh masyarakat kita.
Rakyat tercekik mengais rezeki demi sesuap nasi oleh perilaku korupsi
para pejabat pemerintahan yang mati rasa terhadap sesama warga bangsa.
Mereka ingin sejahtera sendirian di atas penderitaan rakyat. Ini pun
dalam arti tertentu merupakan sebentuk budaya kematian yang telah merusak
kehidupan bersama.
Sepanjang
sejarah kemanusiaan, selalu ada orang-orang yang dikenang setelah
kematiannya karena perjuangan menegakkan perdamaian, kebenaran, dan
keadilan. Tampaknya mereka kalah, tersingkir, dan mati, namun mereka
menang, dikenang, dan hidup. Secara faktual, mereka mati dibunuh, namun
roh mereka tetap langgeng. Di sinilah, kita mengalami yang disebut budaya
kehidupan.
Sejarah hidup
para pejuang perdamaian, kebenaran, dan keadilan kendati mereka telah
mati, tetap memberi inspirasi yang melandasi harapan bahwa perjuangan
bagi perdamaian, kebenaran dan keadilan tetap berlanjut. Perjuangan itu
tidak bisa dihentikan oleh ancaman, tidak tunduk pada ketakutan, bahkan
tidak mati oleh pembunuhan. Cepat atau lambat, perjuangan itu membawa
buah yang disebut budaya kehidupan.
Salah satu
tokoh sejarah peletak budaya kehidupan adalah Yesus Kristus. Yesus yang
mati akibat konspirasi yang berwajah kekerasan, penganiayaan, dan
ketidakadilan diyakini tetap hidup. Yesus dibunuh karena dianggap melawan
arus dan membahayakan aneka kepentingan banyak pihak. Namun, kematian-Nya
bukan akhir segala-galanya. Justru jalan menuju kebangkitan, kehidupan,
dan kemuliaan. Meskipun dibunuh, Ia tetap hidup.
Yesus
mewariskan budaya kehidupan dengan spiritualitas anawim di tengah
keadaban publik yang rusak pada zaman-Nya dan masih tetap relevan
signifikan hingga sekarang ini. Spiritualitas itu, hadir dalam upaya
menegakkan damai sejahtera, memperjuangkan perdamaian dan berusaha
memperbarui kehidupan yang sejahtera. Inilah yang juga menjadi
spiritualitas Paskah sebagai budaya kehidupan.
Maka,
merayakan Paskah berarti mengenangkan Yesus Kristus rela wafat dan
bangkit untuk menegakkan budaya kehidupan bagi kita. Merayakan Paskah tak
sekadar mengingat peristiwa masa lampau tetapi mengenang dan menghadirkan
kembali Yesus yang hidup, wafat, dan bangkit demi menegakkan
kebenaran, keadilan, serta damai dan sejahtera bagi kita.
Untuk itu,
kita juga diundang mengisi spirit Paskah dengan menegakkan budaya
kehidupan di tengah masyarakat. Budaya kehidupan ditegakkan saat adagium
"yang kuat yang menang", diganti dengan pilihan mendahulukan
yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Budaya kehidupan
dihayati bukan pada saat kita tidak hidup mendewakan dan menyembah uang
(money-theisme), melainkan menjadikan uang sebagai peluang untuk
mengembangkan belarasa, solidaritas, dan kemurahan hati bagi yang papa,
miskin, dan sakit.
Semoga spirit Paskah sebagai budaya
kehidupan menginspirasi kita semua. Selamat
Paskah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar