Jika
sebuah pertanyaan dilontarkan kepada publik, ”Bagaimana menurut Anda kinerja polisi kita?” maka jawabannya
pasti tidak tunggal. Ada yang menjawab, ”Polisi kita parah, deh”, dan pasti ada yang menjawab, ”Polisi
kita okay. Jempolan.”
Yang
menjawab polisi kita parah tentu dapat dengan mudah menunjuk berbagai
kasus korupsi yang melibatkan oknum perwira Polri seperti pengadaan
simulator SIM yang melibatkan perwira tinggi Polri Djoko Susilo serta
kasus-kasus tertentu lainnya. Isu rekening gendut di kalangan perwira
Polri yang bersumber dari temuan PPATK masih menjadi utang hukum yang
belum bisa terungkap sampai sekarang, sedangkan kasus Cicak vs Buaya
menjadi catatan penting yang menggetirkan betapa mafia hukum yang
melibatkan aparat penegak hukum itu memang ada.
Kasus
pengadaan simulator SIM sampai saat ini dapat dicatat sebagai kasus yang
sangat spektakuler sejak pengungkapannya oleh KPK yang dramatis. Dimulai
dari saling tarikmenarik upaya pengangkutan barang bukti oleh KPK dari
kantor Korlantas, disusul dengan perebutan upaya menangani kasus
simulator SIM oleh Polri dan KPK dengan saling mendahului menetapkan para
tersangka,
disusul lagi
dengan upaya pencidukan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang dilawan
oleh semut rangrang (berjubelnya masyarakat sipil) yang membentengi
gedung KPK di tengah malam, sampai akhirnya Presiden menginstruksikan
agar kasus simulator SIM ditangani oleh KPK. Kasus simulator SIM, yang
pada awal pengungkapannya sangat menegangkan, kemudian disusul oleh
fakta-fakta spektakuler menyangkut ditemukannya kekayaan Djoko Susilo di
berbagai daerah dalam bentuk tanah, rumah, mobil, dan lain-lain yang
dikaitkan dengan beberapa istri.
Belum lagi
uang-uang yang diduga masih tersimpan di berbagai tempat dan diduga
disamarkan dalam berbagai bentuk. KPK menyatakan bahwa kemungkinan Djoko
Susilo akan didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. Melihat kasus
Djoko Susilo dan beberapa kasus lain yang mencengangkan itu, banyak orang
yang menyatakan bahwa masalah integritas dan performansi di lingkungan
Polri sudah begitu parah.
Bahkan banyak
yang pesimistis dan apriori terhadap masa depan Polri. Itulah sebabnya,
banyak yang marah dan sinis saat beberapa waktu yang lalu saya bersama
Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia
(IKA-UII) bersafari ke Kantor KPK, Mabes Polri, dan Kantor Menko Polhukam
untuk mengupayakan agar konflik Polri-KPK diselesaikan secara damai,
bukan zero sum game.
Waktu itu
saya katakan bahwa KPK dan Polri sama pentingnya, keduanya harus
diselamatkan, tak boleh ada tendensi yang satu dikalahkan, apalagi
dipermalukan. Mereka yang sudah apriori kepada Polri banyak yang mengecam
upaya saya dan IKA-UII itu. Bagi mereka yang sudah apriori seperti itu, pokoknya
dan pokoknya saja, Polri harus dihantam.
Bagi saya, di
luar soal-soal khusus yang menyangkut simulator SIM, Cicak-Buaya, dan
rekening gendut secara umum kinerja Polri cukup membanggakan karena
kesigapan nya tidak kalah dari polisi di negaranegara yang sudah maju.
Polri secara umum mampu menjamin keamanan warga dan mengungkap
kejahatan-kejahatan atau tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.
Polisi kita
mampu mengungkap korban dan pelaku mutilasi dalam banyak kasus. Pekan
lalu, misalnya, polisi berhasil mengungkap pelaku mutilasi terhadap Tony
Arifin Djomin yang tubuhnya sudah dipotong-potong menjadi 11 bagian.
Tidak sampai 24 jam polisi sudah berhasil menangkap AL (32) dan Chan (27)
yang telah memutilasi Tony karena tidak membayar utang perjudian dan
pelayanan seks yang dinikmatinya.
Kita juga
sering dibuat kagum dan bangga saat membaca berita bahwa korban mutilasi
yang bagian-bagian tubuhnya sudah tercecer di berbagai kota masih bisa
diungkap identitas maupun pelakunya. Selain berhasil mengungkap
pembunuhan berantai seperti yang dilakukan oleh Ryan polisi kita berhasil
mengungkap pencurian bayi dari berbagai rumah sakit.
Meski dalam
batas tertentu tindakan terhadap terorisme patut dipertanyakan, tetapi
secara umum polisi cukup berhasil memerangi terorisme. Bagi mereka yang
melihat Polri tidak dari sudut korupsi saja, pandangannya akan positif
dan mengatakan ”Kinerja polisi kita
oke. Jempolan”.
Karena itu,
kita pun boleh optimistis bahwa dengan profesionalisme yang dimilikinya
Polri akan bisa mengungkap kasus penyerangan brutal terhadap Lapas
Cebongan oleh sekelompok orang ”tak dikenal” yang menurut Presiden SBY
telah mencoreng kewibawaan negara. Ibn Taimiyah pernah mengatakan, ”Enam puluh tahun di bawah pemerintah
yang zalim masih lebih baik daripada sehari tanpa pemerintah.”
Pernyataan
Ibn Taimiyah ini bisa dikiaskan dengan pernyataan, ”Adanya Polri yang bermasalah masih lebih baik daripada tidak ada
Polri yang bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat.”
Tak terbayangkan akan seperti apa buruknya negara tanpa polisi. Bisa
muncul hukum rimba seperti negara tanpa aturan. Maka itu, tanpa harus
mengabaikan segi-segi negatif dan koruptif tertentu yang menjangkiti
Polri, kini kita harus mendukung dan memperkuat peran Polri untuk
menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar