Kamis, 28 Maret 2013

Kosmetika Agama di Ruang Publik


Kosmetika Agama di Ruang Publik
Syamsul Hidayah  ;  Alumnus IAIN Raden Fatah,
Kepala Divisi Informasi Democratic Institute Palembang
KORAN SINDO, 28 Maret 2013

  
Di media sosial, seorang teman menulis status, ”Percuma aje pake jilbab, kalo kelakuan kayak gitu, harta aja dikejar,” disertai tautan portal berita berisi pemanggilan Mahdiana, istri Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Djoko Susilo (DS), tersangka kasus proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM). 

Selain Mahdiana, ada istri DS yang lain, Dipta Anindita, juga pakai jilbab, saat dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus yang sama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu. Jauh sebelum itu, di media sosial, seseorang juga menulis status, ”Kalo di pengadilan, baru inget Tuhan, komat-kamit tanda bersalah”. Status yang disertai tautan berita Angelina Sondakh yang menghitung biji tasbih saat mendengarkan putusan hakim atas kasus dugaan penerimaan suap pengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional yang menjeratnya. Bahkan, Angie mengaku kini lebih berproses menuju arah spiritual. 

Dia lebih sering menonton acara keagamaan di layar televisi. Bagi umat Islam Indonesia, jilbab dan tasbih simbol dari penghayatan individu terhadap pengalaman keagamaannya. Tidak semua perempuan dapat memutuskan untuk mengenakan jilbab jika dia tak memiliki pengalaman eksistensial keagamaan. Begitu pun tidak semua orang mau menghitung biji tasbih sambil berzikir jika tidak ada fadilahnya. Apa pun logikanya, jilbab dan berzikir merupakan bagian dari tindakan keagamaan seseorang dalam menghadirkan Tuhan Yang Maha Kuasa ke dirinya.

Sebagai negara yang berketuhanan yang maha esa, seluruh warga negara wajib hukumnya beragama dengan mempercayai Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kajian sosiologi agama, kehadiran agama dalam kehidupan manusia berfungsi menjadi petunjuk ke jalan yang benar. Jalan yang benar itu suatu proses perjalanan panjang, yang penuh onak duri, dengan ultimate goal, Yang Maha Kuasa, sebagai sumber kebenaran. Makanya, Yang Maha Benar hanya bisa didekati dengan cara yang benar, kata orang-orang yang beraliran tasawuf. 

Seiring dengan kemajuan zaman, yang ditandai dengan terjadinya ledakan di bidang informasi dan komunikasi, kehadiran televisi telah memberikan pemahaman baru dalam beragama. Apa yang ditampilkan di televisi telah membuahkan gaya hidup di kalangan masyarakat. Pada sisi lain, televisi telah membentuk citra baru di masyarakat. Apa yang dilakukan Angelina Sondakh telah membentuk citra bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan cara berzikir dapat membantu persoalan yang sedang dihadapinya. 

Di sisi lain, citra yang bisa ditimbulkan, publik akan menganggap dia sebagai orang yang sangat dekat kepada Yang Maha Kuasa sehingga tidak mungkin melakukan hal-hal yang melanggar ajaran-Nya, misalnya suap. Dia adalah orang yang agamais, begitulah kira-kira pencitraan yang terbentuk di dalam benak publik. Contoh lain, masih segar dalam ingatan, ketika Neneng, istri Nazaruddin, muncul dengan mengenakan cadar dan berkerudung setelah lama menghilang. 

Tak jauh berbeda dengan Yulianis, saksi dalam kasus Hambalang, Wisma Atlet, yang ikut mengenakan jilbab panjang. Sebelumnya publik semua tahu bahwa mereka berdua jarang berkerudung. Tindakan ini membentuk opini publik bahwa mereka adalah orang-orang lurus yang takut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana yang tersimbolisasikan dalam cara mereka berpakaian. 

Pelarian Belaka 

Dalam kajian sosiologi agama, tujuan orang beragama yaitu agar selamat dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Apa pun agama yang dianut, orang yang beragama selalu menyukai sesuatu yang baik dan benar; baik dalam pandangan manusia dan benar dalam pandangan Yang Maha Kuasa. Namun, apa yang ditampilkan di televisi, salah satunya yang dicontohkan tadi, menggambarkan bahwa agama hanya berfungsi sebagai eskapisme diri (pelarian). 

Ketika persoalan hidup sedemikian hebat membelit, agama menjadi tempat kembali. Namun, kembalinya ke agama hanya sementara. Inilah yang disebut Erich Fromm dalam bukunya, Religion and Psychoanalysis, tidak penting beragama apa, tapi yang lebih penting adalah beragama yang bagaimana. (Syamsul Arifin, Agus Purwadi, Khoirul Habib, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan) Ketika agama hanya sebagai bentuk pelarian tanpa mengalami penghayatan eksistensial beragama, yang muncul kemudian adalah katarsis belaka. 

Beragama seperti demikian hanya akan melahirkan kegersangan spiritual. Dengan kata lain, beragama secara simbolik takkan akan mencapai ekstase keagamaan yang hakiki. Maka yang perlu dinetralisasi dalam konteks ini diperlukan cara beragama, yang tidak terpaku pada simbolisme belaka, tapi juga butuh cara beragama yang berdimensi sosial sehingga agama bisa berdialektika dengan kompleksitas kehidupan ini. 

Ketika orang beragama tidak mampu berdialektika dengan persoalan sosial, yang tampak adalah hiasan belaka. Agama hanya kosmetik. Tampak luar bagus dan cantik, tetapi dihatinya justru tidak tersimpan sifat-sifat kebaikan seperti yang dicita-citakan setiap agama. Pada akhirnya,agama mengalami disabilitas yang dilakukan pemeluknya sendiri. 

Revivalisme Agama 

Sementara itu, ada orang yang menganggap dewasa ini merupakan era kebangkitan agama. Argumennya adalah semakin banyaknya tempat ibadah didirikan, berbondongbondongnya masyarakat menyaksikan tablig akbar, ceramah dan sejenisnya, serta maraknya rumah-rumah produksi (production house) membuat tayangan sinetron religi. Apakah semua itu dapat dikatakan momentum awal kebangkitan agama? Bisa ya dan tidak. 

Di Amerika Serikat, kata futurolog Jhon Naisbitt, penjualan buku bergenre agama dan psikologi laku keras di toko-toko buku. Sayangnya, realitas itu tidak seimbang dengan tingginya minat orang ke tempattempat ibadah. Ditambah, tingginya angka kriminal yang kian menunjukkan bahwa agama sebagai tempat pelarian belaka. Di Indonesia, pesan-pesan keagamaan tidak hanya diperoleh di tempat ibadah saja. Lewat televisi, publik bisa leluasa mengakses program religi dengan leluasa. 

Jika pada dasawarsa sebelumnya pesan-pesan ini cenderung dikemas secara satu arah, kini program keagamaan dibuat lebih menarik. Seperti melibatkan interaksi audiensi, membuat muatan acara yang lebih santai serta menghibur, atau meliput langsung acaraacara keagamaan. Di ruang yang berbeda, bara konflik sosial bersentimen keagamaan masih terus menyala. Wacana konflik sosial, apa pun bentuknya, jelas sangat tidak legitimatif dalam agama. Agama selalu mengajarkan nilai-nilai luhur, kedamaian, dan kebahagiaan, baik bersifat pribadi maupun sosial. 

Kehadiran agama bagi pemeluknya semestinya menjadi kanopi bagi dirinya dan memperkuat hubungan sosial, sehingga wajah agama tidak penuh kosmetika belaka. Lebih luas lagi, orang yang beragama harus menyibukkan diri terhadap persoalan aktual yang terjadi di masyarakat sehingga agama tidak lagi berhenti sebagai kosmetik pribadi belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar