“Politik tidak mengenal rumus dan hukum. Dalam politik, halal bisa
menjadi haram, mubah bisa menjadi sunnah, dan sunnah bisa menjadi wajib”.
Begitulah
kira-kira gambaran banyak orang hari ini tentang politik. Politik menjadi
sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan; berbau surga sekaligus
berbau neraka. Dengan kata lain, posisi politik menjadi abuabu, sehingga
bisa dibelokkan ke mana pun, tergantung aktoraktor yang berkecimpung di
dalamnya. Namun, bila kita menyoroti makna politik secara lebih jernih,
maka politik itu sangatlah suci.
Ia menjadi
manifesto dari upaya menciptakan kesejahteraan dan kebaikan bersama, karena
esensi keberadaan partai politik, sebagaimana kata Truman, merupakan
contract with people (kontrak dengan rakyat). Janji-janji yang berhubungan
dengan kontrak sosial ini lebih dikenal dengan social contract jika mengacu
pada landasan dalam politik dan bernegara para filosof seperti Thomas
Hobbes, John Locke, hingga Montesquieu.
Tidak hanya
dalam konteks negara, dalam konteks agama pun, sarat dengan politik. Sebab
agama itu sendiri merupakan politik; dan para Rasul yang membawa risalah
kerasulannya merupakan politikus-politikus sejati. Mereka membawa misi
pembebasan teologis (tauhid). Lantas kenapa kemudian makna maupun tafsir
politik bergeser? Ini tidak lain karena kuatnya tradisi negatif yang
menggeser kesucian identitas aslinya. Politik pun berkembang menjadi tren
dengan pemahaman sebagai seni yang selalu dikaitkan dengan kemungkinan-
kemungkinan.
Sehingga dalam
politik seringkali diungkapkan dengan slogan, tidak ada yang tidak mungkin.
Dalam politik, lawan bisa menjadi kawan, dan kawan pun bisa menjadi lawan.
Kondisi-kondisi ini juga ditemukan dalam arena kontestasi politik yang
melibatkan alumni HMI atau yang tergabung dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa
Islam (KAHMI). Keterlibatan alumni dalam ranah politik seperti partai
politik memiliki pengaruh tersendiri terhadap HMI. Ikatan emosional yang
terbangun secara turun-temurun antara kader dengan alumni HMI telah menjadi
sesuatu yang tak terelakkan.
Namun hal itu
akan menjadi problem tersendiri ketika alumni terjebak pada wilayahwilayah
yang kontroversial seperti perilaku koruptif, amoral, maupun tindakan
negatif lainnya. HMI pun harus tampil secara bijak sekaligus bajik dengan
melihat pokok persoalan dan ‘menjaga jarak’. Ini tentu dengan memutus
ikatan emosional maupun ikatan silaturrahim. Berkaitan dengan hal ini
contoh teranyar bisa kita lihat dalam peristiwa politik yang mendera mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Posisinya yang
juga merupakan mantan Ketua Umum PB HMI telah memberikan imbas tersendiri
terhadap kader-kader HMI, setidaknyaimbas moral. HMI dipandang mampu
melahirkan sosok pemimpin partai terbesar di usia yang masih muda. Namun
demikian, ketika Anas diguncang peristiwa politik yang juga dibarengi
dengan peristiwa hukum, HMI pun harus benarbenar selektif dalam mengambil
peran dan posisi.
Independensi; Tanggung Jawab Moral
Fenomena
politik maupun hukum semacam itu atau yang berbeda sekalipun tidak hanya
terjadi pada Anas, tetapi juga banyak alumni HMI yang lain. Oleh karenanya,
bagi HMI tidak ada pilihan lain selain tetap menjaga sikap independensi.
Watak independensi yang tecermin secara etis dalam pola pikir, pola sikap,
dan perilaku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis
HMI".
Sementara watak
independensi yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah HMI
akan membentuk "independensi organisatoris HMI". Maka,
kader-kader HMI tidak boleh ‘terpenjara’ oleh sesuatu apapun dalam
menyuarakan kebenaran. Jiwa kader-kader HMI harus merdeka dan obyektif,
rasional, serta kritis dalam memandang sebuah persoalan. Keberpihakan HMI
bukan pada sosok “siapa”, tetapi hanya pada kebenaran. Dengan begitu, kader
HMI akan senantiasa progresif-dinamis dan tetap memegang teguh idealisme
yang dimilikinya.
Dengan
demikian, bila dikontekstualisasikan pada semisal kasus Anas, HMI tidak
boleh membela apalagi berupaya melindungi status hukumnya, jika itu
benar-benar ada. Akan tetapi bila status hukum yang dituduhkan terhadap dirinya
merupakan rekayasa kelompok tertentu atau hanya cara kotor untuk
menjatuhkannya, tentu Anas harus dibela. Pembelaan ini bukan dalam rangka
membela sosok Anas secara individu, melainkan lebih pada pembelaan terhadap
kebenaran.
Ketegasan sikap
ini harus ditunjukkan agar HMI tidak sekadar menjadi tempat kongkow-kongkow yang jauh dari
nilai-nilai keislaman, nilainilai tauhid, yang termaktub dalam Nilai-nilai
Dasar Perjuangan (NDP). Kritisisme kader-kader HMI sudah barang tentu menjadi
jalan strategis untuk mengungkap tidak hanya soal kasus Anas,
tetapikasus-kasus lain yang sarat konspirasi.
Oleh karenanya,
HMI harus hadir dengan ‘indra keenam’ untuk mengetahui lebih detil tentang
kebenaran-kebenaran yang, terkadang, sengaja disembunyikan oleh orang atau
kelompok tertentu. ●
|
pret
BalasHapus