Sabtu, 16 Maret 2013

Kiprah Politik Alumni dan Ujian Independensi HMI


Kiprah Politik Alumni dan Ujian Independensi HMI
Aulia Kosasih  ;  Kabid Hukum dan HAM PB HMI Periode 2010-2012
KORAN SINDO, 16 Maret 2013


“Politik tidak mengenal rumus dan hukum. Dalam politik, halal bisa menjadi haram, mubah bisa menjadi sunnah, dan sunnah bisa menjadi wajib”. 

Begitulah kira-kira gambaran banyak orang hari ini tentang politik. Politik menjadi sesuatu yang menyenangkan sekaligus menakutkan; berbau surga sekaligus berbau neraka. Dengan kata lain, posisi politik menjadi abuabu, sehingga bisa dibelokkan ke mana pun, tergantung aktoraktor yang berkecimpung di dalamnya. Namun, bila kita menyoroti makna politik secara lebih jernih, maka politik itu sangatlah suci. 

Ia menjadi manifesto dari upaya menciptakan kesejahteraan dan kebaikan bersama, karena esensi keberadaan partai politik, sebagaimana kata Truman, merupakan contract with people (kontrak dengan rakyat). Janji-janji yang berhubungan dengan kontrak sosial ini lebih dikenal dengan social contract jika mengacu pada landasan dalam politik dan bernegara para filosof seperti Thomas Hobbes, John Locke, hingga Montesquieu. 

Tidak hanya dalam konteks negara, dalam konteks agama pun, sarat dengan politik. Sebab agama itu sendiri merupakan politik; dan para Rasul yang membawa risalah kerasulannya merupakan politikus-politikus sejati. Mereka membawa misi pembebasan teologis (tauhid). Lantas kenapa kemudian makna maupun tafsir politik bergeser? Ini tidak lain karena kuatnya tradisi negatif yang menggeser kesucian identitas aslinya. Politik pun berkembang menjadi tren dengan pemahaman sebagai seni yang selalu dikaitkan dengan kemungkinan- kemungkinan. 

Sehingga dalam politik seringkali diungkapkan dengan slogan, tidak ada yang tidak mungkin. Dalam politik, lawan bisa menjadi kawan, dan kawan pun bisa menjadi lawan. Kondisi-kondisi ini juga ditemukan dalam arena kontestasi politik yang melibatkan alumni HMI atau yang tergabung dalam Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Keterlibatan alumni dalam ranah politik seperti partai politik memiliki pengaruh tersendiri terhadap HMI. Ikatan emosional yang terbangun secara turun-temurun antara kader dengan alumni HMI telah menjadi sesuatu yang tak terelakkan. 

Namun hal itu akan menjadi problem tersendiri ketika alumni terjebak pada wilayahwilayah yang kontroversial seperti perilaku koruptif, amoral, maupun tindakan negatif lainnya. HMI pun harus tampil secara bijak sekaligus bajik dengan melihat pokok persoalan dan ‘menjaga jarak’. Ini tentu dengan memutus ikatan emosional maupun ikatan silaturrahim. Berkaitan dengan hal ini contoh teranyar bisa kita lihat dalam peristiwa politik yang mendera mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. 

Posisinya yang juga merupakan mantan Ketua Umum PB HMI telah memberikan imbas tersendiri terhadap kader-kader HMI, setidaknyaimbas moral. HMI dipandang mampu melahirkan sosok pemimpin partai terbesar di usia yang masih muda. Namun demikian, ketika Anas diguncang peristiwa politik yang juga dibarengi dengan peristiwa hukum, HMI pun harus benarbenar selektif dalam mengambil peran dan posisi.

 Independensi; Tanggung Jawab Moral 

Fenomena politik maupun hukum semacam itu atau yang berbeda sekalipun tidak hanya terjadi pada Anas, tetapi juga banyak alumni HMI yang lain. Oleh karenanya, bagi HMI tidak ada pilihan lain selain tetap menjaga sikap independensi. Watak independensi yang tecermin secara etis dalam pola pikir, pola sikap, dan perilaku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI". 

Sementara watak independensi yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah HMI akan membentuk "independensi organisatoris HMI". Maka, kader-kader HMI tidak boleh ‘terpenjara’ oleh sesuatu apapun dalam menyuarakan kebenaran. Jiwa kader-kader HMI harus merdeka dan obyektif, rasional, serta kritis dalam memandang sebuah persoalan. Keberpihakan HMI bukan pada sosok “siapa”, tetapi hanya pada kebenaran. Dengan begitu, kader HMI akan senantiasa progresif-dinamis dan tetap memegang teguh idealisme yang dimilikinya. 

Dengan demikian, bila dikontekstualisasikan pada semisal kasus Anas, HMI tidak boleh membela apalagi berupaya melindungi status hukumnya, jika itu benar-benar ada. Akan tetapi bila status hukum yang dituduhkan terhadap dirinya merupakan rekayasa kelompok tertentu atau hanya cara kotor untuk menjatuhkannya, tentu Anas harus dibela. Pembelaan ini bukan dalam rangka membela sosok Anas secara individu, melainkan lebih pada pembelaan terhadap kebenaran. 

Ketegasan sikap ini harus ditunjukkan agar HMI tidak sekadar menjadi tempat kongkow-kongkow yang jauh dari nilai-nilai keislaman, nilainilai tauhid, yang termaktub dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Kritisisme kader-kader HMI sudah barang tentu menjadi jalan strategis untuk mengungkap tidak hanya soal kasus Anas, tetapikasus-kasus lain yang sarat konspirasi. 

Oleh karenanya, HMI harus hadir dengan ‘indra keenam’ untuk mengetahui lebih detil tentang kebenaran-kebenaran yang, terkadang, sengaja disembunyikan oleh orang atau kelompok tertentu. ● 

1 komentar: