Kamis, 28 Maret 2013

Moral dan Profesionalitas Guru


Moral dan Profesionalitas Guru
Faedurrohman ;  Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan
Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 28 Maret 2013


Beberapa waktu lalu, tepatnya 1 Januari 2013, wajah pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Kasus pelecehan seksual terhadap seorang siswi kembali terjadi dan pelakunya tidak lain adalah oknum guru di sekolah itu. Kasus ini menambah panjang daftar kasus amoral yang dilakukan oleh oknum guru, sekaligus menunjukkan bahwa moral dunia pendidikan kita sudah tercemar.

Kasus amoral yang terjadi di dunia pendidikan merupakan hal yang krusial dan sudah sangat memprihatinkan. Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman untuk belajar, ternyata malah menebar ancaman. Sekolah bisa menjadi momok menakutkan khususnya bagi para murid, terlebih para siswi. Mengingat korbannya lebih banyak perempuan daripada laki-laki.

Guru selaku aktor utama pendidikan seharusnya dapat menjaga sikap dan perilakunya. Karena bagaimanapun dan sampai kapanpun, guru akan menjadi figur yang akan ditiru oleh muridnya, baik di dalam ataupun di luar sekolah. Alasan lain mengapa guru harus menjaga sikap dan perilaku adalah karena sesama guru ibarat sebuah keluarga. Jika salah satu dari guru melakukan kesalahan, maka akan berdampak buruk bagi guru-guru yang lain. Dalam menjalankan tugasnya, guru memiliki kewajiban yang sama yaitu mengajar dan mendidik. Mengajar berarti memberikan pengetahuan kepada siswa sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sedangkan mendidik berarti usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan baik secara jasmani maupun rohani, yang meliputi pembinaan pribadi, sikap, mental dan akhlak anak didik. Atau, lebih sederhanya mendidik adalah menanamkan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan ahlak atau moral siswa.

Dalam konteks sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mampu menjaga moralitas dan profesionalitasnya. Menjaga moralitas yaitu dengan menjaga sikap dan perilaku sesuai dengan norma-norma agama ataupun masyarakat. Sedangkan menjaga profesionalitas yaitu dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebaik mungkin.

Bersamaan dengan permasalahan tersebut di atas, kode etik guru (KEG) yang sudah diberlakukan sejak awal Januari 2013. KEG seyogianya menjadi rambu-rambu bagi para guru dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Guru harus memahami dan memanifestasikan apa yang termaktub dalam KEG dalam kehidupan sehari-hari.

KEG merupakan pedoman bagi guru yang di dalamnya mengatur hubungan antara hubungan guru dengan peserta didik, hubungan guru dengan orangtua/wali murid, hubungan guru dengan masyarakat, hubungan guru dengan sekolah dan rekan sejawat, hubungan guru dengan profesi, hubungan guru dengan organisasi profesinya, hubungan guru dengan pemerintah. Adapun tujuan dari diberlakukannya KEG supaya sumber daya manusia (SDM) semakin berkualitas.

Dalam kode etik tersebut juga terkait norma dan etika yang mengikat terhadap perilaku guru sehingga jika terjadi pelanggaran, agar dapat segera ditangani. Tindakan yang melanggar KEG tidak dibenarkan langsung dilaporkan kepada kepolisian, tetapi kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) terlebih dahulu.

Guru merupakan lambang intelektual dan profesi, bukan hanya sekedar pekerjaan dan karir, namun juga sebagai agent of change (agen perubahan). Sentuhan profesionalitas guru akan sangat menentukan kualitas murid yang diajarnya. Milerson, seorang pengamat pendidikan, menyebutkan ada tiga ciri profesional. Pertama, perilaku yang terorganisir. Seorang guru harus mampu mengorganisir diri dan lingkungannya sesuai dengan tujuan belajar mengajar. Kedua, keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis. Dalam hal ini guru dituntut untuk mengetahui teori-teori sesuai dengan disiplin ilmu yang diajarkan, karena teori merupakan landasan yang akan digunakan seseorang untuk memecahkan persolan. Tanpa teori ibarat menyuruh anak untuk berlari, sedangkan berjalan saja belum bisa. Ketiga, kebutuhan akan latihan dan pendidikan. Hal ini berarti bahwa guru harus terus berlatih guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pendidik.

Dalam konteks pendidikan sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan begitu pesatnya, guru juga harus memiliki empat hal guna menopang profesionalitasnya. Pertama, gagasan. Sebagai figur orang yang akan selalu diikuti oleh murid-muridnya baik tindakan ataupun pemikirannya. Guru harus memiliki gagasan-gagasan ataupun ide-ide cemerlang yang visioner dan futuristik. Karena, tujuan belajar tidak hanya untuk masa sekarang tetapi masa yang akan datang.

Kedua, unggul dalam hal kompetensi. Dengan semakin ketatnya persaingan dalam berbagai lini kehidupan, guru harus memiliki kompetensi yang memadai sebagai modal untuk membekali muridnya ketika sudah lulus dan terjun di masyarakat.

Ketiga, responsibility yang tinggi. Guru harus mampu merespon apa yang dibutuhkan siswa sebagai keniscayaan perkembangan zaman. Keempat, memiliki sikap seperti halnya ulama. Artinya, guru tidak hanya mendidik anak dari sisi akademik saja, tetapi juga memperhatikan dimensi religius mereka. Karena bagaimanapun juga, tujuan hidup di dunia tentu tidak berorientasi pada masalah duniawi saja, tetapi juga ukhrawi yang menjadi tujuan ahir hidup seseorang.

Dengan semakin pesat dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan degradasi moral masyarakat, sudah menjadi keharusan guru untuk menjaga moralitas dan profesionalitasnya. Menjaga moral dan profesionalitas berarti menjaga wibawa dan kesakralan guru sehingga layak untuk dipercaya dan diikuti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar