Pengelolaan
zakat di Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan jalan.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat No 23 Tahun 2011 sebagai penyempurnaan
dari UU No 38 Tahun 1999 telah disahkan sejak Oktober 2011. Karena
secara formal dan material UU ini mempunyai sejumlah kelemahan dan
berpotensi melahirkan diskriminasi bagi banyak pengelola zakat di
Indonesia, sejumlah lembaga pengelola zakat non-negara dan individual
mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak
Agustus 2012.
Sidang
demi sidang telah berlangsung di mahkamah yang berlokasi di Medan Merdeka
Barat, Jakarta Pusat, ini hingga berakhir pada awal November 2012. Namun, hingga kini putusan MK tentang UU ini belum juga lahir. Maka, tak
pelak kondisi ini menimbulkan kegalauan.
Pengelolaan
zakat di Indonesia memang tidak sesederhana seperti di negeri- negeri
yang menerapkan konstitusi Islam, seperti Arab Saudi, Pakistan, atau
Iran, yang mengelola zakat secara tersentralisasi. Di Indonesia,
pengelolaan zakat tidak semata-mata perbuatan muzaki mengeluarkan zakat
dari hartanya yang telah mencapai nisab dan haulnya kepada para mustahik
yang terdiri atas delapan asnaf. Namun, juga pada area, bagaimana
pengelolaan zakat tersebut? Apakah transparan dan profesional? Siapakah amilnya? Banyak lagi perta nyaan yang lain.
Sayangnya,
segala idealisme tentang zakat tersebut tak banyak tecermin pada UU No 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang yang dimaksudkan
untuk menyempurnakan UU terdahulu ini memang bermaksud mengarahkan
pengelolaan zakat kepada integrasi, profesionalisme, dan transparansi,
namun pada saat yang sama, UU ini malah melahirkan ketidakadilan,
diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan kriminalisasi baru.
Pada Pasal 5, 6, dan 7 Undang-Undang No 23 Tahun 2011 ini tergambar
secara tegas semangat untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat
nasional sepenuhnya di lembaga bentukan pemerintah, yaitu Baznas.
Sementara itu, peran lembaga pengelola zakat dari masyarakat (nonnegara)
dipinggirkan dan disubordinasikan, seperti tercantum Pasal 17 dalam UU
ini.
Data
saat ini menunjukkan bahwa ada 18 lembaga amil zakat (LAZ) yang telah
memperoleh izin menteri agama di Indonesia, dari sekitar 300 lembaga
sejenis. Ketentuan harus berbentuk ormas adalah ahistoris dan mengingkari
peran masyarakat sipil yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang
telah membangkitkan zakat nasional dari ranah amal sosial ke ranah
pemberdayaan pembangunan.
Langkah
ini, antara lain, dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987),
Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos
Keadilan Peduli Umat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini adalah
tidak didirikan oleh ormas Islam dan tidak sekali-kali akan menjadi ormas
apabila ketentuan tentang ormas yang dimaksud adalah seperti yang
tercantum dalam UU Ormas No 8 Tahun 1985 yang sudah kedaluwarsa dan
mengandung semangat yang tidak
demokratis dari Orde Baru.
Sejarah
nusantara juga menunjukkan bahwa dunia perzakatan telah hidup dan
berkembang sebagai bagian da ri dinamika masyarakat. Bahkan, pengelolaan
zakat di masyarakat nusantara secara tradisional adalah berusia jauh
lebih tua dari negara RI sendiri yang lahir pada 1945.
Sekian
lama Republik Indonesia tidak pernah hadir dalam urusan zakat, namun
zakat (termasuk infak, sedekah, dan juga wakaf) tetap hidup dan
berkembang di masyarakat. Masyarakat Muslim menyadari bahwa zakat adalah
rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang mampu.
Permasalahan
berikutnya, Undang- Undang Pengelolaan Zakat ini juga berpotensi
melahirkan kriminalisasi. Pasal 38 jo 41 menyebut secara tersurat bahwa
setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat
melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa
izin pejabat yang berwenang, perbuatan itu diancam pidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp 50 juta (lima puluh juta rupiah).
Maka,
para amil tradisional nonnegara yang selama ini telah aktif mengelola
zakat, apakah di masjid, mushala, pesantren, madrasah, yayasan-yayasan,
hingga perkantoran, terancam dipidana apabila mereka bertindak selaku
amil tanpa izin pejabat yang berwenang. Akan berapa banyak amil
tradisional yang dikurung dan seberapa banyak kurungan yang dibutuhkan
seluruh Indonesia?
Jumlah amil tradisional amatlah banyak.
Undang-undang
ini jelas bermaksud baik, yakni ingin menata dan mengintegrasikan
pengelolaan zakat. Namun, sayangnya maksud baik ini tercoreng proses
formal pembentukan UU itu yang kurang partisipatif dan kurang
mengakomodasi suara masyarakat sipil. Maksud baik juga tercoreng
oleh aspek material dan substansinya yang malah berpotensi melahirkan
ketidakadilan, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan
kriminalisasi.
Zakat
memang ibadah individual, namun juga punya fungsi sosial untuk tegaknya
keadilan ekonomi. Zakat harus menjadi semacam jaminan sosial bagi para
penerimanya sehingga kehidupannya lebih berdaya dan suatu waktu mereka
dapat bertransformasi menjadi pemberi zakat (muzaki). Mereka yang lemah
diberdayakan dan kemiskinan dientaskan melalui zakat.
Tujuan
mulia tersebut di atas tentunya memang memerlukan pengelolaan zakat yang
serius dan profesional. Negara dan masyarakat harus sama-sama berperan
penuh dan bertanggung jawab bersama untuk mengelola zakat. Undang-undang
zakat yang solid, integratif, dan komprehensif menjadi prasyarat utama
dalam praktik zakat yang sinergis ini.
Semoga
saja Mahkamah Konstitusi RI segera melahirkan putusan terhadap uji
materiil UU Zakat Tahun 2011 ini. Sehingga, tercipta kepastian hukum
dan kejelasan langkah yang harus diambil semua pemangku kepentingan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia, baik negara (pemerintah) maupun
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar