Jumat, 29 Maret 2013

Tradisi Politik Runyam


Tradisi Politik Runyam
Asmadji AS Muchtar ;  Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta
REPUBLIKA, 27 Maret 2013


Sekadar diingat, di Cikeas, di hadapan pers, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  menyatakan bahwa dirinya sebagai presiden merasa wajar mengurus partai karena para pendahulunya, seperti Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati juga melakukan hal yang sama (10/2). Pernyataan tersebut agaknya merupakan sinyal bahwa SBY akan bersedia dipilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat lewat Kongres Luar Biasa yang diagendakan berlangsung di Bali.

Padahal, pernyataan tersebut layak dikritik karena sangat jelas hendak membenarkan bahwa seorang presiden boleh-boleh saja mengurus partai karena sudah menjadi tradisi politik di negeri ini. Harus diakui, tradisi politik tersebut layak dianggap sebagai tradisi politik yang runyam. 

Ibarat suami, jika suka selingkuh atau tidak fokus setia kepada istri sesuai perjanjian pernikahan maka layak disebut sebagai suami yang nakal. Sedangkan, suami yang nakal lazimnya kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Begitulah, tradisi politik yang runyam di negeri ini berpotensi lestari karena tidak ada upaya untuk menghentikannya. Padahal, tradisi politik yang runyam bisa merugikan bangsa dan negara dalam arti luas.

Ada tamsil lagi yang layak juga diungkapkan. Ibarat sopir, jika tidak fokus menjalankan tugasnya tentu sangat riskan. Kecelakaan bisa menimpa kendaraan yang disopirinya. Sedangkan, jika kondisi rute yang ditempuhnya tidak mulus alias banyak rintangan maka potensi kecelakaan makin besar.
Karena itu, tradisi politik yang runyam selayaknya dihentikan. Ke depan, jangan ada lagi seorang kepala negara dan kepala pemerintahan merasa wajar untuk sibuk mengurus partainya, tapi tetap mengaku fokus menjalankan tugasnya sebagai presiden. Secara logika, pengakuan tersebut sulit dipahami karena memang tidak masuk akal. Dan, di mata bangsa-bangsa lain hal itu bisa ditertawakan. Maka, terlalu naif jika pengakuan tersebut dilontarkan untuk menjawab kritik dari masyarakat.

Merombak Konstitusi

Tradisi politik yang runyam harus dikaitkan dengan konstitusi yang berlaku di negeri ini. Artinya, kapan pun presiden akan merasa wajar dan benar untuk sibuk mengurus partainya selama konstitusi tidak melarangnya secara tegas dan jelas. Kritik dari mana pun bisa dianggap angin lalu jika presiden merasa tidak melanggar konstitusi ketika sibuk mengurus partainya.

Karena itu, konstitusi layak dirombak lagi agar ke depan tidak ada lagi presiden yang merasa wajar dan benar ketika sibuk mengurus partainya. Dalam rangka merombak konstitusi, semua pihak layak meniru negara-negara lain yang lebih maju.

Untuk konteks sekarang, pers bisa ikut berperan mendorong semua pihak untuk sepakat merombak konstitusi yang diperlukan. Selain itu, DPR seharusnya menjadi pihak terdepan untuk memelopori perombakan konstitusi karena konstitusi identik dengan pem- buatan dan perubahan legislasi yang memang menjadi wewenang DPR.

Selain itu, forum rektor dan kalangan mahasiswa layak juga terlibat aktif mendorong perombakan konstitusi untuk menghentikan tradisi politik yang runyam tersebut. Dalam hal ini, unjuk rasa mahasiswa secara besar-besaran kalau perlu dilakukan karena mereka adalah pemilik masa depan. 
Sedangkan, perombakan konstitusi identik dengan upaya mempersiapkan perilaku berpolitik yang lebih baik pada masa mendatang. Layak juga diga- risbawahi pernyataan presiden yang se ring mengajak semua pihak untuk berpolitik yang santun, namun buktinya tidak santun karena mengikuti tradisi politik yang runyam. 

Hal ini tentu berpotensi ditiru juga oleh pemimpin-pemimpin nasional pada masa mendatang jika tidak ada upaya untuk merombak konstitusi yang bermuara untuk mewujudkan kesantunan berpolitik yang betul-betul santun, bukan sekadar omong kosong belaka.

Lebih konkretnya, jika presiden secara terang-terangan mengajak rakyat untuk memperhatikan urusan internal partainya, dengan mencampuradukkan posisinya sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dengan posisinya sebagai pengurus partai, hal ini jelas tidak bisa dianggap santun lagi dalam berpolitik. Ibarat kepala keluarga yang membeberkan kemelut keluarganya di depan publik, sulit disebut sebagai santun lagi. Inilah tamsil sederhana yang relevan untuk diungkapkan agar semua pihak semakin mengerti apa arti kesantunan (dalam bersosial dan berpolitik).

Krisis Keteladanan

Jika tradisi politik yang runyam tidak segera diakhiri dengan merombak konstitusi, sampai kapan pun bangsa kita akan mengalami krisis keteladanan dalam masalah kepemimpinan nasional yang selalu berpotensi menimbulkan kerunyaman kronis dalam masalah ke- ta tanegaraan yang kontraproduktif.
Padahal, keteladanan pemimpin nasional sangat diperlukan untuk membangun bangsa dan negara dalam arti luas. 

Tanpa adanya keteladanan pemimpin nasional, anak-anak bangsa bagaikan hidup di luar rel peradaban, terutama dalam bidang politik praktis. Akibatnya, sampai kapan pun, yang berkuasa akan cenderung semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan yang sempit, seperti ingin memperpanjang kekuasaan atau ingin mewariskan kekuasaannya kepada anak-anaknya.

Ke depan, jika seorang presiden terus-menerus merasa benar dan wajar untuk sibuk mengurus partainya tapi mengaku tetap fokus menjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, krisis keteladanan dalam kepemimpinan nasional pasti akan semakin kronis dan akut. Dengan demikian, masih ada kesempatan bagi presiden untuk mencoba belajar menjadi pemimpin nasional yang layak diteladani.  Yakni, segera mundur dari kepengurusan partai yang nyata-nyata telah mencederai mandat kepercayaan dan kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar