Sekadar
diingat, di Cikeas, di hadapan pers, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menyatakan bahwa dirinya sebagai presiden merasa wajar mengurus partai
karena para pendahulunya, seperti Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan
Megawati juga melakukan hal yang sama (10/2). Pernyataan tersebut
agaknya merupakan sinyal bahwa SBY akan bersedia dipilih menjadi Ketua
Umum Partai Demokrat lewat Kongres Luar Biasa yang diagendakan
berlangsung di Bali.
Padahal,
pernyataan tersebut layak dikritik karena sangat jelas hendak membenarkan
bahwa seorang presiden boleh-boleh saja mengurus partai karena sudah
menjadi tradisi politik di negeri ini. Harus diakui, tradisi politik
tersebut layak dianggap sebagai tradisi politik yang runyam.
Ibarat
suami, jika suka selingkuh atau tidak fokus setia kepada istri sesuai
perjanjian pernikahan maka layak disebut sebagai suami yang nakal. Sedangkan,
suami yang nakal lazimnya kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Begitulah,
tradisi politik yang runyam di negeri ini berpotensi lestari karena tidak
ada upaya untuk menghentikannya. Padahal, tradisi politik yang
runyam bisa merugikan bangsa dan negara dalam arti luas.
Ada
tamsil lagi yang layak juga diungkapkan. Ibarat sopir, jika tidak fokus
menjalankan tugasnya tentu sangat riskan. Kecelakaan bisa menimpa kendaraan
yang disopirinya. Sedangkan, jika kondisi rute yang ditempuhnya tidak
mulus alias banyak rintangan maka potensi kecelakaan makin besar.
Karena
itu, tradisi politik yang runyam selayaknya dihentikan. Ke depan, jangan
ada lagi seorang kepala negara dan kepala pemerintahan merasa wajar untuk
sibuk mengurus partainya, tapi tetap mengaku fokus menjalankan tugasnya
sebagai presiden. Secara logika, pengakuan tersebut sulit dipahami karena
memang tidak masuk akal. Dan, di mata bangsa-bangsa lain hal itu bisa
ditertawakan. Maka, terlalu naif jika pengakuan tersebut dilontarkan
untuk menjawab kritik dari masyarakat.
Merombak Konstitusi
Tradisi
politik yang runyam harus dikaitkan dengan konstitusi yang berlaku di
negeri ini. Artinya, kapan pun presiden akan merasa wajar dan benar untuk
sibuk mengurus partainya selama konstitusi tidak melarangnya secara tegas
dan jelas. Kritik dari mana pun bisa dianggap angin lalu jika presiden
merasa tidak melanggar konstitusi ketika sibuk mengurus partainya.
Karena
itu, konstitusi layak dirombak lagi agar ke depan tidak ada lagi presiden
yang merasa wajar dan benar ketika sibuk mengurus partainya. Dalam rangka
merombak konstitusi, semua pihak layak meniru negara-negara lain yang
lebih maju.
Untuk
konteks sekarang, pers bisa ikut berperan mendorong semua pihak untuk
sepakat merombak konstitusi yang diperlukan. Selain itu, DPR seharusnya
menjadi pihak terdepan untuk memelopori perombakan konstitusi karena
konstitusi identik dengan pem- buatan dan perubahan legislasi yang memang
menjadi wewenang DPR.
Selain
itu, forum rektor dan kalangan mahasiswa layak juga terlibat aktif mendorong
perombakan konstitusi untuk menghentikan tradisi politik yang runyam
tersebut. Dalam hal ini, unjuk rasa mahasiswa secara besar-besaran kalau
perlu dilakukan karena mereka adalah pemilik masa depan.
Sedangkan,
perombakan konstitusi identik dengan upaya mempersiapkan perilaku
berpolitik yang lebih baik pada masa mendatang. Layak juga diga-
risbawahi pernyataan presiden yang se ring mengajak semua pihak untuk
berpolitik yang santun, namun buktinya tidak santun karena mengikuti
tradisi politik yang runyam.
Hal
ini tentu berpotensi ditiru juga oleh pemimpin-pemimpin nasional pada
masa mendatang jika tidak ada upaya untuk merombak konstitusi yang
bermuara untuk mewujudkan kesantunan berpolitik yang betul-betul santun,
bukan sekadar omong kosong belaka.
Lebih
konkretnya, jika presiden secara terang-terangan mengajak rakyat untuk
memperhatikan urusan internal partainya, dengan mencampuradukkan
posisinya sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan dengan posisinya
sebagai pengurus partai, hal ini jelas tidak bisa dianggap santun lagi
dalam berpolitik. Ibarat kepala keluarga yang membeberkan kemelut
keluarganya di depan publik, sulit disebut sebagai santun lagi. Inilah
tamsil sederhana yang relevan untuk diungkapkan agar semua pihak semakin
mengerti apa arti kesantunan (dalam bersosial dan berpolitik).
Krisis Keteladanan
Jika
tradisi politik yang runyam tidak segera diakhiri dengan merombak
konstitusi, sampai kapan pun bangsa kita akan mengalami krisis
keteladanan dalam masalah kepemimpinan nasional yang selalu berpotensi
menimbulkan kerunyaman kronis dalam masalah ke- ta tanegaraan yang
kontraproduktif.
Padahal, keteladanan pemimpin nasional sangat diperlukan untuk membangun
bangsa dan negara dalam arti luas.
Tanpa
adanya keteladanan pemimpin nasional, anak-anak bangsa bagaikan hidup di
luar rel peradaban, terutama dalam bidang politik praktis. Akibatnya,
sampai kapan pun, yang berkuasa akan cenderung semena-mena menggunakan
kekuasaannya untuk kepentingan yang sempit, seperti ingin memperpanjang
kekuasaan atau ingin mewariskan kekuasaannya kepada anak-anaknya.
Ke
depan, jika seorang presiden terus-menerus merasa benar dan wajar untuk
sibuk mengurus partainya tapi mengaku tetap fokus menjalankan tugasnya
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, krisis keteladanan dalam
kepemimpinan nasional pasti akan semakin kronis dan akut. Dengan
demikian, masih ada kesempatan bagi presiden untuk mencoba belajar
menjadi pemimpin nasional yang layak diteladani. Yakni, segera
mundur dari kepengurusan partai yang nyata-nyata telah mencederai mandat
kepercayaan dan kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar