Rabu, 27 Maret 2013

Hukum Rimba Semakin Fenomenal


Hukum Rimba Semakin Fenomenal
Tjipta Lesmana  ;  Mantan Anggota Komisi Konstitusi
SINAR HARAPAN, 27 Maret 2013

  
Peristiwa berdarah di LP Cebongan, Sleman pada Sabtu (23/3) lalu untuk kesekian kalinya membuktikan negara tidak hadir alias tidak ada di tengah-tengah bangsa Indonesia.

“Di mana engkau gerangan, wahai negaraku?!” Fungsi pokok negara adalah to protect life and property, melindungi nyawa rakyat dan harta bendanya. Jika nyawa rakyat setiap saat bisa dengan mudah lenyap atau kepalanya copot maka negara sungguh kehilangan fungsinya. Secara ekstrem dikatakan tidak ada lagi negara; yang ada hukum rimba.

Bukti lain bahwa negara (baca: pemerintah) sudah kehilangan eksistensinya ialah ketika semua petinggi keamanan di Republik serempak mengeluarkan pernyataan yang sama dan sebangun: bahwa TNI tidak terlibat dalam peristiwa berdarah di LP Cebongan.

Paling tidak tercatat empat petinggi keamanan secara kilat mengeluarkan pernyataan seperti itu, yakni Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayor Jenderal Hardiono Sarojo; Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto; Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie dan Kepala Badan Intelijen Negara Letnan Jenderal Marciano Norman.

Tanpa melakukan investigasi yang menyeluruh dan mendalam, mereka serta-merta sudah mengeluarkan kesimpulan. Aneh, bukan? Tapi, publik pasti tahu kenapa bantahan begitu kilat dikeluarkan.

Para petinggi keamanan seyogianya secara kilat mengintsruksikan jajarannya untuk melakukan investigasi, sekaligus menguak identitas pelaku penyerbuan yang begitu terampil dan profesional serta motivasinya. Penyerbuan LP Cebongan tidak bedanya dengan kisah hikayat Godfather.

Di Amerika sekali pun tidak pernah terjadi sebuah penjara diberondong oleh orang-orang bersenjata bak tentara komando yang sangat mahir menembak. Merampok bank dan memberondong orang-orang di dalam bank sesekali memang terjadi di Amerika. Toh, kejadiannya tidak pernah sedramatis kejadian LP Cebongan.

Para petinggi keamanan kita tidak cukup hanya mendesak Polri mengusut dan menginvestasi insiden Cebongan. Polri pasti tidak mampu. Sekali lagi, Polri pasti tidak mampu, bahkan tidak punya keberanian. Polisi tentu akan berpikir 10 kali untuk melakukan investigasi, sebab salah-salah si investigator pun akan “di-Cebongan-kan.”

Dipindahkannya keempat narapidana dari tahanan Polda Jawa Tengah ke Cebongan pun dicurigai bermotifkan ketakutan polisi. Kalau hari itu tidak segera dipindahkan, tidak mustahil markas besar Polda Jawa Tengah yang diserbu dan diobrak-abrik dengan tujuan mengeksekusi keempat tahanan yang memang diincar. Perhatikan waktu pemindahan narapidana yang malam-buta menjelang pagi. Kalau penjara Polda Jawa Tengah sudah penuh, kenapa harus pagi-pagi buta pemindahannya?

Motif Dendam

Dari tindakan yang begitu superkilat ala Godfather, dari 30 butir peluru yang mencabik-cabik tubuh keempat korban, satu kesimpulan bisa ditarik: bahwa penyerbuan Cebongan dan pembantaian keempat narapidana dilatarbelakangi motif dendam menggebu-gebu pelaku terhadap korban.

Apa sebab yang membuat mereka begitu dendam? Prinsip sebab-akibat, tentu, berlaku bukan? Ada insiden apa beberapa hari sebelum penyerbuan Cebongan? Kalau semua pihak mau jujur sejujurnya, insiden Cebongan tidaklah susah untuk diungkap!

Presiden SBY harus bertindak cepat, memerintahkan aparatnya untuk secepatnya membongkar insiden berdarah yang sangat memalukan dan menarik perhatian dunia internasional ini. Untuk menjaga kredibilitas pemerintahannya, SBY kali ini benar-benar harus punya keberanian untuk menindak keras siapa pun pelakunya. Kalau tidak, rontoklah wibawa Presiden SBY, rontok pula predikat Indonesia sebagai “negara maju yang disegani dunia internasional”.

Sebuah negara omong kosong bisa dikategorikan maju kalau hukumnya tidak berfungsi,dan hukum rimba (jungle law) yang bertakhta. Di semua negara yang diakui “maju”, penegakan hukumnya pasti bagus; dalam arti rule of the law dijunjung tinggi oleh semua pihak, termasuk presiden sekali pun.

Penegakan hukum di negara kita, jujur saja, semakin lama memang semakin rusak. Hukum rimba dipertontonkan di mana-mana. Lebih ngeri lagi, hukum rimba yang dilengkapi senjata api canggih.
Masih segar sekali ingatan kita ketika kantor Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, dua pekan lalu diserbu puluhan anggota TNI bersenjata api dari satu batalion tertentu. Kantor Polres diobrak-abrik, dibakar, dan sejumlah anggota polisi yang sedang bertugas digebuki serta dianiaya. Presiden SBY terkejut, kesal, lalu memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengusutnya segera.

Tapi, mana hasil pengusutan itu? Insidennya sudah terang-benderang, kenapa sulit diusut, diungkap dan diseret ke pengadilan para pelakunya? Apa pun motivasinya, tindakan penyerbuan ke kantor polisi oleh anggota tentara mencerminkan tindakan yang mengobrak-abrik hukum; seolah-olah Republik Indonesia sudah tidak mempunyai tatanan hukum yang beradab.

Konflik bersenjata antaranggota TNI dan Polri sungguh memprihatinkan kita semua. Penyelesaian konflik secara tuntas menjadi PR penting dari Presiden SBY. Jangan ada kesan bahwa pemimpin kita cuma pandai pidato di forum internasional, sedang menyelesaikan berbagai masalah akut di dalam negeri saja tidak mampu.

Penegakan hukum memang salah satu titik paling lemah pembangunan nasional. Hukum dan keadilan sering kali lebih ditentukan oleh uang, kekuasaan dan jango-isme. Contoh kecil namun tidak kalah serius: massa bisa menghentikan perjalanan kereta api. Berawal dari protes masyarakat kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang menghapus operasi KRL kelas ekonomi. Karena tidak ada solusi damai, anarkisme pun diterapkan begitu saja. Puluhan orang pada 26 Maret pagi bergerak dan menduduki rel kereta api di Bekasi.

Di Gorontalo tanggal 25 Maret lalu stasiun TVRI Gorontalo diduduki massa secara paksa. Ketika itu TVRI Gorontalo tengah menyiarkan talkshow secara live. Mendadak massa yang dipimpin Adhan Dhambea dan Indrawanto Hassan menganiaya sejumlah wartawan TVRI.

Mereka memprotes pemberitaan TVRI yang mengutip Ketua Panwaslu Gorontalo mengenai putusan PTUN soal keabsahan pencalonan pasangan Adhan Dhambea-Indrawanto Hassan. Koordinator Liputan TVRI Gorontalo, Bambang Ismadi dan Kepala LPP Irmansyah, ditendang. Ichsan Nento dari divisi program dipukuli saat mencegat massa.

Jika pelecehan dan penginjak-injakan hukum terus dibiarkan, Indonesia akan semakin mundur, bukan semakin maju. Sekitar 200 tahun yang lalu Tzar Peter I yang berkuasa di Dinasti Rusia mengatakan bahwa penataan negara harus dimulai dari penegakan hukum.

Semua warga negara harus tunduk dan menghormati hukum yang berlaku. Aspek lain dari kehidupan seperti kesejahteraan, keadilan dan penghayatan terhadap ajaran agama berada di posisi nomor 2, nomor 3, dan seterusnya. Law is Number One, titik. Lalu, di mana posisi law enforcement di Republik Indonesia dewasa ini?!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar