Meski
Yesus disalib pada 2000 tahun silam, sesungguhnya pasca penyaliban itu,
Yesus terus disalibkan atau dibunuh oleh berbagai macam motif manusia,
sebagaimana diungkapkan teolog pembebasan Leonardo Boff (Via Sacra da
Justica, 1978).
Salah satu
yang ikut membunuh Yesus di era kita adalah sifat dan perilaku banal
manusia sehingga yang esensial dikesampingkan, sementara yang banal atau
dangkal justru diutamakan. Nyaris seluruh dimensi kehidupan kita,
termasuk dimensi agama tengah mengalami banalitas atau pendangkalan.
Banalitas agama misalnya telah menciptakan ruang-ruang keagamaan, yang
telah berbaur dengan ruang-ruang budaya populer dan gaya hidup.
Banalitas
agama cenderung merayakan aspek-aspek artifisial agama, dan meminggirkan
apa yang hakiki atau esensial dari agama. Agama hanya dihayati kulitnya
saja. Yang hakiki dari pesan universal agama-agama seperti pemihakan
kepada kemanusiaan, lalu penghargaan pada pluralitas dan perbedaan,
tersingkir. Padahal, Tuhan sudah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku.
Sayang, di
tengah kesemarakan kegiatan lahiriah keagamaan, kekerasan dan beragam
bentuk tindakan antikemanusiaan atau dehumanisasi justru diberi ruang.
Fundamentalisme atau radikalisme agama, yang merupakan reaksi atas modernitas,
telah mendorong sebagian penganut agama membuat kubu eksklusif sehingga
mereka yang dianggap berbeda, bisa dengan mudah untuk dilenyapkan atau
dipinggirkan. Agama jatuh menjadi amunisi untuk kebencian. Bukan rahmat
Tuhan yang dibagikan kepada sesama, tetapi kekerasan, anarkisme bahkan
teror atas nama-Nya.
Kritik Para Tokoh
DrMalachiMartin,
guru besar PontificalBiblicalInstituteRoma, dalam penelitiannya terhadap
agama Yahudi, Kristen, dan Islam seperti yang terungkap dalam bukunya The
Encounter (1969) pernah menyimpulkan bahwa agama tengah memasuki daerah
yang sangat kering, baik sebagai ”personal concern” maupun sebagai
“communal community”.
Akar
masalahnya, agamaagama lebih banyak memberi perhatian pada hal-hal yang
artifisial, jauh dari komitmen awal dan asli sebagai sarana bagi
humanisasi. Yang ironis, dalam kondisi demikian, pejabat agama (tentu
tidak semua) kadang malah ikut-ikutan banal. Sebelum kematiannya tahun
lalu, Kardinal Italia terkenal, Carlo Martini, menyebut bahwa gereja
Katolik ketinggalan 200 tahun lamanya karena mengalami pendangkalan
(banalitas).
Ritual gereja
megah dan meriah, tetapi berhadapan dengan zamannya, gereja kehilangan
nyali dan menjadi penakut. Menurut Martini, gereja lelah dan terseok-seok
karena keberatan beban, seperti beban birokrasi yang melebihi proporsi
dan beban liturgi yang melulu ritualistik belaka. Gereja harus bisa
menemukan bara apinya lagi di tengah tumpukan abu yang menenggelamkannya.
Kesejatian
Memang inti
kesejatian dari praksis beragama adalah ketakwaan pada Sang Pencipta yang
hanya bisa diukur dalam kecintaan pada kemanusiaan keberpihakan pada yang
kecil, lemah dan menderita. Humanisasi harus dilakukan agar yang kecil,
lemah dan menderita bisa dibebaskan dengan spirit kasih. Karena
keberpihakan pada yang kecil dan tertindas, Yesus justru balik ditindas
dengan disalibkan dan mati dibunuh oleh para penguasa dan agamawan
Yahudi.
Peristiwa ini
diperingati dalam Jumat Agung. Tapi salib itu paradoks. Di satu sisi,
Yesus menjadi korban. Namun di sisi lain, salib yang menjadi wahana bagi
kematian-Nya, justru membawa keselamatan bagi yang percaya. Salib dalam
perspektif iman Kristen adalah sarana penyelamatan atau pembebasan
manusia dari cengkeraman dosa. Dalam perspektif iman Kristen, salib
diyakini oleh umat kristiani sebagai simbol cinta sejati Sang Pencipta
kepada umat-Nya, karena Allah tidak senang manusia terus berada dalam
dominasi dosa.
Jadi lewat
kematian-Nyapada JumatAgung (tahun ini jatuh pada 29 Maret 2013),
disusulolehkebangkitan- Nya pada Minggu Paskah (31 Maret 2013), dominasi
dosa yang antara lain berkuasa lewat kematian, benar-benar sudah
dikalahkan oleh Yesus. Maka puncak iman Kristen itu bukan pada Natal,
tapi pada Paskah. Hari Paskah dirayakan secara meriah karena merupakan
puncak dari karya keselamatan Allah lewat Yesus Kristus untuk dunia.
Lewat karya
penyelamatan itu, dunia dihindarkan atau dibebaskan dari banalitas dosa,
sehingga manusia mau kembali pada penyembahan sejati pada Allah.
Banalitas dosa yang menyebabkan maut telah dikalahkan. Karena itu, hari
Paskah adalah hari kemenangan. Jadi sudah seharusnya kita bangkit dari
banalitas. Pada hari Paskah, umat kristiani diingatkan bahwa Tuhan adalah
penyelamat dari segala bentuk banalitas.
Maka siapa
pun yang merayakan Paskah adalah yang menjalani hidup yang sejati dan
tidak tergoda pada banalitas. Dengan demikian, kita tahu esensi sejati
dari agama, yakni sebagai sarana bagi humanisasi, khususnya dalam
mengangkat martabat kaum lemah dan tertindas. Sebab banalitas agama hanya
menjadikan agama seperti momok atau tirani baru dalam menjalankan mesin
dehumanisasi yang menindas martabat manusia.
Paus dan Kaum Lemah
Boleh jadi
kita bisa belajar tentang hidup yang sejati itu dari Paus Fransiskus yang
baru terpilih. Paus ke-266, yang berusia 76 tahun dan terlahir pada 1936
itu lewat teladan kesederhanaannya boleh jadi ingin menunjukkan
nilai-nilai sejati dalam beragama. Di tengah pemujaan akan uang dan
kemewahan dewasa ini, sehingga orang doyan korupsi dan melakukan hal-hal
tak terpuji lainnya, ia memilih tinggal di apartemen dan memasak sendiri,
daripada tinggal di istana keuskupan.
Meski
disediakan mobil mewah semasa jadi Uskup Agung Buenos Aires, namun tiap
hari dia rela berbaur di bus atau angkutan umum untuk menyapa siapa pun,
khususnya yang lemah dan miskin. Teladan Paus sebenarnya sebuah ”warning”
bagi mereka yang memuja kemewahan tapi tidak ingat nasib kaum lemah.
Sehari setelah misa inaugurasinya sebagai paus baru, dia mengumpulkan
semua tokoh lintas agama, termasuk dari Islam, untuk menggalang
persaudaraan, perdamaian, dan kasih.
Paus
mengajak, agar agama tidak menjadi bagian dari masalah, tapi harus
menjadi pemberi solusi atas berbagai krisis kemanusiaan, seperti
kekerasan, perang dan kelaparan. Dialog antarumat beragama perlu terus
digalang, bukan untuk menyamakan ajaran, tapi untuk menimba inspirasi
bahwa sesungguhnya manusia yang berbeda agama bisa bekerja satu sama lain
dalam mengurai benang kusut krisis kemanusiaan, seperti rusaknya
lingkungan hidup, kemiskinan, kelaparan, narkoba, pandemi AIDS dsb.
Jelas hal itu
senada dengan spirit Paskah yang seharusnya mendorong setiap umat
kristiani untuk tidak terjebak dalam banalitas, namun mampu menghayati
kesejatian untuk berubah dan berbuah demi memberi nilai tambah bagi kemanusiaan,
khususnya dalam mengangkat martabat kaum lemah yang kerap disisihkan dalam
kehidupan. Selamat Paskah 2013. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar