Kemenangan pasangan Joko
Widodo (Jokowi) dan Basuki Thahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI
Jakarta 2012 lalu merupakan fenomena luar biasa. Ini menandakan bahwa
etnis mana pun bisa terpilih secara demokrasi dan menjadi pemimpin di
Jakarta. Karena, adalah hak warga negara menentukan pilihannya meskipun
kedua pasangan itu bukan warga Jakarta. Salah seorang darinya malah bukan
orang Jawa, tetapi adalah keturunan etnis China yang mempunyai
kepercayaan berbeda dengan mayoritas penduduk di Jakarta.
Ini
menjadi momentum penting bagi pesta demokrasi untuk memilih presiden pada
2014 di mana bangsa ini menentukan masa depannya. Terkait itu, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) telah menetapkan 15 partai politik (parpol) peserta pemilu.
Ketetapan ini secara langsung membawa pengaruh pada kebijakan sejumlah
parpol untuk memulai tahap rekrutmen bakal calon legislator dan kandidat
yang akan digadang-gadang menjadi RI-1.
Ramalan
Joyoboyo terkait calon pemimpin bangsa yang dipercaya sebagian masyarakat
bahwa calon presiden sebagaimana disebutkan berasal dari akronim
"notonegero", turut menyesatkan pemikiran bangsa. Terawangan
itu terbukti tak selamanya benar. Presiden pertama Indonesia adalah
Soekarno (no), kedua Soeharto (to), atau noto. Namun, kemudian
dilanjutkan oleh BJ Habibie, keempat Abdulrahman Wahid, kelima Megawati
Soekarno Putri dan keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Ramalan mengenai
'notonegoro' berhenti di presiden kedua, yaitu Soeharto.
Terlepas
dari itu semua, yang jelas, saat ini, primodialisme sudah tidak laku
lagi. Pertimbangan para pemilih menentukan pilihannya cenderung dari sisi
kualitas calon. Meski partai politik (parpol) beberapa waktu terakhir cenderung
menghasilkan para pemimpin dari kalangan berduit tetapi nyatanya, tidak
selalu pemimpin partai menjadi presiden atau gubernur di daerah yang
dapat dipilih.
Kepandaian
masyarakat saat ini sudah menjadi barometer kemenangan kandidat yang
dicalonkan parpol. Masyarakat bukan lagi memilih pemimpin ibarat membeli
kucing dalam karung. Namun, kepiawaian parpol dan kandidat yang
dicalonkanlah menjadi tolak ukur kemenangan, pilihan rakyat.
Realitas
ini terlihat di tempat-tempat pemungutan suara (TPS), manakala seluruh
rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih, dapat mengaspirasikan
pilihannya melalui pemilihan secara langsung.
Sebagaimana hasil survei
nasional yang dilansir Developing
Countries Studies Center (DCSC) Indonesia pada Oktober 2011 bahwa
mayoritas, 73,3 persen, mengatakan faktor keturunan Jawa dan non-Jawa
tidak penting. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan telah terjadi
pergeseran perilaku pemilih yang cukup fundamental. Acuan rakyat dalam
memilih seorang pemimpin idealnya memang lebih didasarkan pada kualitas.
Memiliki
kemampuan, serta prestasi dari dalam maupun luar negeri menjadi syarat
mutlak yang harus dipenuhi. Selain memiliki jiwa leadership yang mampu mengayomi, mampu memberikan kenyamanan
dan kepastian bagi rakyat, serta selalu melakukan hal terbaik bagi
orang-orang di bawahnya.
Selain
itu, pemimpin masa depan harus jujur, kredibel dan bermoral serta tidak
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pemimpin masa depan harus
benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat banyak, bukan semata demi
kepentingan pribadi atau kelompok/golongannya akibat semangat perkoncoan
(nepotisme kedaerahan) yang kental.
Masyarakat
pemilih paska reformasi, lebih mendambakan sosok capres yang bersih,
bebas dari permasalahan hukum terutama korupsi, bukan capres berdasarkan
etnis, atau berdasar pada hasil terawangan. Sedangkan keyakinan tentang
suatu ramalan yang tidak berdasarkan logika jika dibiarkan akan
menghambat perkembangan demokrasi di negeri ini. Sangat disayangkan,
keberadaan Indonesia yang telah menjadi perhatian masyarakat
internasional harus pupus akibat dari sebuah ramalan yang tidak berdasar
itu.
Banyak
pemimpin dari berbagai etnis dan latar belakang pernah memimpin Indonesia
dan pantas diteladani kiprah perjuangannya. Sebut saja, Soekarno (Jawa),
Hatta (Sumbar), dan BJ Habibie (Sulsel). Kepemimpinan mereka pun tetap
mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.
PM
Inggris David Cameron, saat berkunjung April 2012 lalu, memberikan pujian
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai perannya dalam
masa transisi Indonesia dan kawasan. Bukan hanya itu, Menlu Amerika
Serikat (AS) Hillary Clinton secara tegas menyampaikan apresiasi yang
sama kepada Presiden SBY atas perannya dalam memastikan kemajuan proses
reformasi dan demokratisasi di Myanmar.
Sudah
sangat jelas, demokrasi di Indonesia meletakkan kedaulatan rakyat sebagai
mainstream. Di sisi lain, dengan luas kurang lebih 1.904.569 km per segi
dan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 250 juta jiwa tersebar di 17
ribu pulau, dengan ratusan etnis dan keberagaman agama, menjadikan pilar
kekuatan bangsa yang dikemas dalam semboyan, "Bhineka Tunggal Ika."
Eksistensi
Indonesia, memberikan performa terbaik bagi masyarakat dunia. Mengingat
sebelum 1998, Indonesia masih berada di bawah kekuatan militer. Bahkan,
anggota Kongres Amerika Serikat Jim McDermott memandang Indonesia sebagai
model negara demokrasi yang baik mengingat Indonesia baru merasakan
demokrasi sesungguhnya setelah Reformasi 1998.
Menanggapi
polemik berbau SARA, beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menyatakan bahwa umat Islam boleh saja memilih pemimpin nonmuslim, jika
memang kemampuannya sudah teruji. Hal ini memberikan isyarat bahwa calon
pemimpin Indonesia ke depan boleh berasal dari latar belakang apa saja
asal memenuhi persyaratan 'terbaik' sesuai aturan main yang ada. Yang
jelas, pemimpin Indonesia ke depan harus dipilih secara demokratis lewat
perhelatan pemilu yang jujur dan fair. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar