Kamis, 28 Maret 2013

Primordialisme dan Demokrasi


Primordialisme dan Demokrasi
Ferry Ferdiansyah ;  Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Komunikasi Universitas Mercubuana, Jakarta
SUARA KARYA, 27 Maret 2013


Kemenangan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Thahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu merupakan fenomena luar biasa. Ini menandakan bahwa etnis mana pun bisa terpilih secara demokrasi dan menjadi pemimpin di Jakarta. Karena, adalah hak warga negara menentukan pilihannya meskipun kedua pasangan itu bukan warga Jakarta. Salah seorang darinya malah bukan orang Jawa, tetapi adalah keturunan etnis China yang mempunyai kepercayaan berbeda dengan mayoritas penduduk di Jakarta.

Ini menjadi momentum penting bagi pesta demokrasi untuk memilih presiden pada 2014 di mana bangsa ini menentukan masa depannya. Terkait itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan 15 partai politik (parpol) peserta pemilu. Ketetapan ini secara langsung membawa pengaruh pada kebijakan sejumlah parpol untuk memulai tahap rekrutmen bakal calon legislator dan kandidat yang akan digadang-gadang menjadi RI-1.

Ramalan Joyoboyo terkait calon pemimpin bangsa yang dipercaya sebagian masyarakat bahwa calon presiden sebagaimana disebutkan berasal dari akronim "notonegero", turut menyesatkan pemikiran bangsa. Terawangan itu terbukti tak selamanya benar. Presiden pertama Indonesia adalah Soekarno (no), kedua Soeharto (to), atau noto. Namun, kemudian dilanjutkan oleh BJ Habibie, keempat Abdulrahman Wahid, kelima Megawati Soekarno Putri dan keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Ramalan mengenai 'notonegoro' berhenti di presiden kedua, yaitu Soeharto.

Terlepas dari itu semua, yang jelas, saat ini, primodialisme sudah tidak laku lagi. Pertimbangan para pemilih menentukan pilihannya cenderung dari sisi kualitas calon. Meski partai politik (parpol) beberapa waktu terakhir cenderung menghasilkan para pemimpin dari kalangan berduit tetapi nyatanya, tidak selalu pemimpin partai menjadi presiden atau gubernur di daerah yang dapat dipilih.

Kepandaian masyarakat saat ini sudah menjadi barometer kemenangan kandidat yang dicalonkan parpol. Masyarakat bukan lagi memilih pemimpin ibarat membeli kucing dalam karung. Namun, kepiawaian parpol dan kandidat yang dicalonkanlah menjadi tolak ukur kemenangan, pilihan rakyat.
Realitas ini terlihat di tempat-tempat pemungutan suara (TPS), manakala seluruh rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih, dapat mengaspirasikan pilihannya melalui pemilihan secara langsung. 

Sebagaimana hasil survei nasional yang dilansir Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia pada Oktober 2011 bahwa mayoritas, 73,3 persen, mengatakan faktor keturunan Jawa dan non-Jawa tidak penting. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan telah terjadi pergeseran perilaku pemilih yang cukup fundamental. Acuan rakyat dalam memilih seorang pemimpin idealnya memang lebih didasarkan pada kualitas.

Memiliki kemampuan, serta prestasi dari dalam maupun luar negeri menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Selain memiliki jiwa leadership yang mampu mengayomi, mampu memberikan kenyamanan dan kepastian bagi rakyat, serta selalu melakukan hal terbaik bagi orang-orang di bawahnya.
Selain itu, pemimpin masa depan harus jujur, kredibel dan bermoral serta tidak KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pemimpin masa depan harus benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat banyak, bukan semata demi kepentingan pribadi atau kelompok/golongannya akibat semangat perkoncoan (nepotisme kedaerahan) yang kental.

Masyarakat pemilih paska reformasi, lebih mendambakan sosok capres yang bersih, bebas dari permasalahan hukum terutama korupsi, bukan capres berdasarkan etnis, atau berdasar pada hasil terawangan. Sedangkan keyakinan tentang suatu ramalan yang tidak berdasarkan logika jika dibiarkan akan menghambat perkembangan demokrasi di negeri ini. Sangat disayangkan, keberadaan Indonesia yang telah menjadi perhatian masyarakat internasional harus pupus akibat dari sebuah ramalan yang tidak berdasar itu.

Banyak pemimpin dari berbagai etnis dan latar belakang pernah memimpin Indonesia dan pantas diteladani kiprah perjuangannya. Sebut saja, Soekarno (Jawa), Hatta (Sumbar), dan BJ Habibie (Sulsel). Kepemimpinan mereka pun tetap mendapat tempat di hati rakyat Indonesia.
PM Inggris David Cameron, saat berkunjung April 2012 lalu, memberikan pujian kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai perannya dalam masa transisi Indonesia dan kawasan. Bukan hanya itu, Menlu Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton secara tegas menyampaikan apresiasi yang sama kepada Presiden SBY atas perannya dalam memastikan kemajuan proses reformasi dan demokratisasi di Myanmar.

Sudah sangat jelas, demokrasi di Indonesia meletakkan kedaulatan rakyat sebagai mainstream. Di sisi lain, dengan luas kurang lebih 1.904.569 km per segi dan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 250 juta jiwa tersebar di 17 ribu pulau, dengan ratusan etnis dan keberagaman agama, menjadikan pilar kekuatan bangsa yang dikemas dalam semboyan, "Bhineka Tunggal Ika."

Eksistensi Indonesia, memberikan performa terbaik bagi masyarakat dunia. Mengingat sebelum 1998, Indonesia masih berada di bawah kekuatan militer. Bahkan, anggota Kongres Amerika Serikat Jim McDermott memandang Indonesia sebagai model negara demokrasi yang baik mengingat Indonesia baru merasakan demokrasi sesungguhnya setelah Reformasi 1998.

Menanggapi polemik berbau SARA, beberapa waktu lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa umat Islam boleh saja memilih pemimpin nonmuslim, jika memang kemampuannya sudah teruji. Hal ini memberikan isyarat bahwa calon pemimpin Indonesia ke depan boleh berasal dari latar belakang apa saja asal memenuhi persyaratan 'terbaik' sesuai aturan main yang ada. Yang jelas, pemimpin Indonesia ke depan harus dipilih secara demokratis lewat perhelatan pemilu yang jujur dan fair.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar