Sekalipun
pertumbuhan ekonomi cukup baik pada tingkatan 6,2 persen, tantang an yang
mengadang cukup serius. Inflasi mulai meningkat pada tingkatan 5,3
persen, sedangkan defisit neraca berjalan relatif tinggi 3,1 persen dari
produk domestik bruto (PDB). Defisit primer (penerimaan dikurangi pengeluaran
negara sebelum pembayaran bunga utang) terjadi lagi.
Situasi
ini kita hadapi pada saat dinamika politik akan semakin meningkat dengan
semakin dekatnya pemilihan umum. Inflasi meningkat karena naiknya harga pangan.
Harga bawang belakangan ini naik tinggi. Tidak jelasnya tata niaga dan
kebijakan impor, khususnya bawang putih, menyebabkan harga naik di luar
kendali.
Dikabarkan harga cabai juga mulai meningkat. Permasalahan
produksi dalam negeri yang tidak memadai, tata niaga yang oligopolistik,
dan kebijakan impor yang tidak jelas, menyebabkan fluktuasi harga
hortikultura cenderung tinggi. Akibatnya, inflasi juga terdorong tinggi.
Defisit neraca berjalan terjadi karena impor lebih tinggi
daripada ekspor dan masuknya modal ke dalam negeri tidak dapat menutupi
kekurangannya. Neraca perdagangan nonmigas masih positif, tetapi neraca
perdagangan minyak negatif. Besarnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi menyebabkan bukan saja neraca berjalan negatif, melainkan defisit
primer pada APBN juga terjadi.
Defisit neraca berjalan menyebabkan tekanan pada nilai
rupiah sehingga terdepresiasi. Untuk menstabilkannya, cukup besar
cadangan devisa yang digunakan. Bagaimanapun intervensi ini tidak memadai
sampai permasalahan defisit neraca berjalan dapat diatasi.
Terhadap permasalahan inflasi, stabilitas harga pangan,
khususnya hortikultura, haruslah aktif dilakukan. Peningkatan produksi
dalam negeri menjadi keharusan. Perbaikan tata niaga juga harus dilakukan
untuk mengefisienkan distribusi dan harga. Bagi produk yang produksi
dalam negerinya rendah, seperti bawang putih, tidak ada jalan lain
kecuali harus di impor.
Mengatasi defisit neraca ber jalan tidaklah mudah dalam
keadaan di mana perekonomian dunia masih lemah. Pilihannya adalah
mengendalikan impor, terutama minyak dan BBM. Cara efektif adalah
menaikkan harga BBM bersubsidi yang sekaligus juga mengatasi defisit
primer anggaran. Namun, memasuki tahun politik, pilihan kebijakan ini
tampaknya dihindarkan karena risiko sosial-politik yang tinggi.
Bagaimanapun besarnya subsidi energi (termasuk BBM) yang
kemungkinan akan melebihi yang dianggarkan Rp 274 triliun haruslah
diatasi. Jika kenaikan harga BBM bersubsidi tidak dilakukan karena alasan
sosial-politik, pembatasan harus dilakukan. Melarang mobil pribadi menggunakan
BBM bersubsidi adalah cara yang efektif karena mudah diawasi. Sepeda
motor dan kendaraan umum masih dibolehkan menggunakan BBM bersubsidi.
Secara bertahap kendaraan umum diarahkan untuk menggunakan gas dengan
semakin tersedianya stasiun pengisian gas.
Memasuki tahun politik, para menteri ekonomi terutama
yang dari parpol akan sulit berkonsentrasi menjalankan kebijakannya.
Perhatian akan semakin tercurah pada memenangkan parpolnya masing-masing.
Sebenarnya, kebijakan ekonomi yang baik dan berhasil akan menjadi sarana
kampanye yang efektif, terutama untuk parpol yang masuk dalam koalisi.
Namun, persaingan politik dewasa ini masih lebih didasarkan pada adu
popularitas belum terkait kuat dengan kinerja.
Tentu saja, kita tidak mengharapkan adanya inisiatif
baru dalam kebijakan ekonomi. Namun, permasalahan tersebut haruslah
diatasi untuk memberikan suasana yang kondusif bagi pemilu dan pemilihan
presiden (pilpres). Stabilitas ekonomi sangat dibutuhkan bagi keberhasilan
pemilu dan pilpres untuk selanjutnya pemerintahan baru dapat meneruskan
program pembangunan ekonomi, bahkan dengan lebih baik.
Bagaimanapun permasalahan ekonomi merupakan perhatian
utama para pemilih. Permasalahan harga kebutuhan pokok dan kesempatan
kerja selalu teratas. Kaitannya dengan hal ini, menteri yang menangani
permasalahan ini paling tidak menteri pertanian dan ketenagakerjaan adalah
dari parpol. Menko Perekonomian juga pimpinan parpol.
Seringkali kebijakan yang dianggap menguntungkan partai
tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Di sinilah tantangannya
bagaimana kepentingan partai sejalan dengan kepentingan publik. Sejatinya
politik mengutamakan kepentingan publik, sejalan dengan itu kepentingan
partai juga terpenuhi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar