Infrastruktur yuridis untuk
melakukan redesain relasi negara-masyarakat telah dan sedang disiapkan
oleh legislator. DPR dan pemerintah tampaknya bersepakat untuk membuat
undang-undang yang memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Alasan menjustifikasi urgensi
pembentukan legislasi tersebut sepintas masuk akal. Namun, legislator
gagal meyakinkan masyarakat sipil dan tidak memperoleh dukungan dari
mereka. Sebab, paradigma yang dianut legislator adalah memperkuat negara
dan memperlemah masyarakat.
Eksperimen pertama memperkuat
negara atas masyarakat adalah melalui UU Intelijen Negara. Draf rancangan
UU ini memberikan wewenang besar kepada intelijen negara. Setelah
merevisi beberapa klausul krusial dalam RUU itu—karena mendapat kritik
dan resistensi dari sejumlah kalangan—legislator akhirnya mengesahkannya.
Sejumlah elemen masyarakat sipil menguji UU ini di Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK menolak mengabulkan pengujian UU tersebut.
Intelijen negara kini punya
sandaran yuridis mengintensifkan aktivitas memonitor masyarakat.
Masalahnya, bagaimana memastikan aktivitas intelijen dilakukan
semata-mata untuk kepentingan negara, bukan kepentingan politik penguasa.
Belum lama ini, Presiden SBY menyatakan mendapat informasi dari intelijen
terkait upaya membuat gonjang-ganjing politik yang dilakukan oleh
sebagian elite politik dan kelompok tertentu.
Pernyataan ini menyusul
ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dan berkunjungnya sejumlah politisi partai dan
tokoh nonpartai ke rumahnya (Kompas 4/3, halaman 2). Sulit membedakan
laporan intelijen kepada Presiden itu untuk kepentingan negara atau untuk
kepentingan politik Presiden yang juga sebagai petinggi Partai Demokrat.
Seolah berpacu dengan waktu,
legislator menambah infrastruktur yuridis lain untuk memperkuat negara
dan memperlemah masyarakat. Program Legislasi Nasional 2013 bersikukuh
meloloskan RUU Keamanan Nasional, RUU Organisasi Kemasyarakatan, dan RUU
Rahasia Negara. Padahal, tiga RUU ini menyulut kontroversi dan ditolak
oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Represi Negara
Menyisir pasal demi pasal tiga
draf RUU ini, tampak jelas perancangnya mengusung misi memperkuat negara
dan memperlemah masyarakat. RUU Keamanan Nasional berpotensi memberangus
kebebasan sipil, membungkam suara kritis publik, dan memfasilitasi
represi negara atas masyarakat. RUU Organisasi Kemasyarakatan mengusik
kebebasan berserikat dan menuntut kepatuhan organisasi masyarakat kepada
negara. RUU Rahasia Negara berdaya mempersempit ruang keterbukaan
informasi publik.
Sukses strategi meloloskan UU
Intelijen Negara tampaknya dipakai untuk meloloskan ketiga RUU tersebut.
Draf RUU sengaja memberi wewenang besar kepada negara. Karena alasan
citra politik, DPR kemudian akan melakukan penghalusan atas
klausul-klausul krusial, tetapi akhirnya tetap menyetujui memperkuat
negara dan memperlemah masyarakat.
Peta kekuatan politik di DPR
yang didominasi enam fraksi anggota Sekretariat Gabungan Partai Politik
Pendukung Pemerintah sangat mungkin menyetujui pengesahan tiga RUU itu.
Karena itu, ketiga RUU di atas beserta UU Intelijen akan menjadi paket UU
yang ampuh mendesain ulang pola relasi negara-masyarakat.
Posisi negara kuat pada masa
Orde Baru telah dilucuti sejak era Reformasi bergulir tahun 1998.
Berbagai infrastruktur yuridis yang dibuat bertujuan mengurangi kekuasaan
negara, khususnya lembaga eksekutif, dan memperkuat masyarakat. Secara
langsung, penguatan masyarakat dilakukan dalam bentuk jaminan tertulis
hak asasi manusia dan hak konstitusional.
Secara tidak langsung, penguatan
masyarakat dilakukan melalui revitalisasi lembaga legislatif sebagai
representasi wakil rakyat dan lembaga yudisial sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman untuk menegakkan negara hukum demokratis.
Menyusul ambruknya pilar-pilar
kekuasaan otoritarian Orde Baru, gigantisme kekuasaan negara menyusut
drastis, tetapi tidak takluk. Pada saat bersamaan, masyarakat mengalami
penguatan vis-à-vis negara,
tetapi kekuatan masyarakat tak kuasa mengambil alih kepemimpinan negara.
Negara sekadar mengalami defisit legitimasi untuk terus mendominasi dan
menghegemoni masyarakat karena dipretelinya infrastruktur yuridis
otoritarianisme.
Selama periode transisi menuju
demokrasi, pola hubungan negara-masyarakat ditandai oleh ketegangan di
antara kedua belah pihak. Namun, masing-masing pihak tidak mampu
mendominasi dan menghegemoni pihak lain. Keduanya memiliki daya tangkis
dan daya tahan sejajar karena sama-sama mengalami penguatan relatif dan
pelemahan relatif (Munafrizal
Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, 2005).
Gelagat Reotoritarianisme
Dalam batas tertentu, pola
relasi negara-masyarakat sekarang mulai mendekati idealisasi prinsip
demokrasi, yaitu posisi negara dan masyarakat seimbang. Demokrasi tidak
menghendaki negara terlalu kuat karena akan menciptakan otoritarianisme.
Demokrasi juga menolak masyarakat terlalu kuat karena akan mengobarkan
anarkisme. Demokrasi menghendaki negara dan masyarakat secara seimbang
sama-sama kuat agar berlangsung mekanisme checks and balances di antara keduanya. Mekanisme checks and balances tidak hanya
penting antarlembaga negara, tetapi juga antara negara dan masyarakat.
Praktik demokrasi mensyaratkan
keseimbangan hubungan antara negara dan masyarakat. Pola relasi
negara-masyarakat seperti inilah yang dapat menjamin demokrasi
berlangsung persisten. Ketika negara menginisiasi legislasi untuk
memperkuat negara dan memperlemah masyarakat, saat itulah prinsip
demokrasi tercederai. Paket UU di atas menggoyang bandul keseimbangan
pola hubungan negara-masyarakat. Paket undang-undang itu dapat
disalahgunakan untuk kepentingan politik atau mempertahankan kekuasaan
oleh penguasa sekarang atau berikutnya.
Alih-alih menciptakan keamanan
nasional dan tertib sosial, paket UU ini justru menjadi sumbu pemicu
hubungan negara-masyarakat konfliktual pada masa datang. Hukum sejarah
menunjukkan, jika negara menjadi lebih kuat daripada masyarakat, cepat
atau lambat akan muncul resistensi masyarakat mengembalikan keseimbangan
itu. Membiarkan negara menjadi lebih kuat atas masyarakat sama artinya
mempersilakan negara menjelma otoriter. Pengalaman panjang dibelenggu
otoritarianisme telah mengasah sensitivitas masyarakat akan bahaya
gelagat reotoritarianisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar