Selasa, 26 Maret 2013

Frekuensi Itu Milik Publik!


Frekuensi Itu Milik Publik!
Triyono Lukmantoro  ;  Dosen Sosiologi Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro Semarang
SINAR HARAPAN, 25 Maret 2013
  

Di tengah maraknya propaganda politik bergulirlah sebuah film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi. Film ini menceritakan dua sosok yang terlibat dalam pemberitaan pada dua stasiun televisi nasional.

Sosok pertama bernama Luviana, jurnalis perempuan yang bekerja di Metro TV. Luviana merupakan korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat menuntut kenaikan upah layak dan pembentukan serikat pekerja di perusahaannya. Kelayakan hidup dan berorganisasi, ternyata masih sebatas menjadi harapan bagi kalangan jurnalis.

Perjuangan Luviana untuk mampu berkarya kembali sebagai pekerja media mengalami kegagalan. Beberapa kali pertemuan dengan pihak perusahaan, bahkan dengan elite institusi media berita ini, tidak membuahkan hasil. Sejumlah demonstrasi untuk menuntut hak sebagai pekerja media dan membentuk opini publik tentang ketidakadilan perusahaan tidak lebih sebagai upaya yang demikian sia-sia.

Sosok kedua yang muncul secara karikatural pada film ini ialah Hari Suwandi. Lelaki ini mengaku sebagai seorang korban lumpur Lapindo. Secara dramatis terdapat adegan yang menggambarkan bagaimana dia layaknya melata merayap dari kubangan lumpur.

Lantas dia menangis dan bersumpah untuk pergi ke Jakarta dengan satu tujuan, yakni menuntut Aburizal Bakrie untuk segera melunasi hak-hak korban. Untuk menunjukkan tekadnya yang kuat, Hari berjalan kaki dari Sidoarjo menuju Jakarta.

Di beberapa wilayah, Hari disambut begitu hangat dan diberi pertolongan oleh masyarakat bagaikan pahlawan pembela kebenaran. Ketika ada reporter TvOne berusaha mewawancarainya, Hari menghardiknya. Hari beranggapan TvOne telah melakukan manipulasi fakta.

Namun, pada akhirnya, sungguh tidak masuk akal ketika Hari muncul di studio TvOne untuk diwawancarai secara langsung. Pada momentum itu, Hari justru menangis dan memohon maaf kepada keluarga Aburizal. Saat itu pula Hari berkata Aburizal mampu melunasi semua hak korban.

Apa makna substansial yang bisa dipahami dari Di Balik Frekuensi? Tayangan berita politik yang disemburkan stasiun-stasiun televisi ternyata memiliki tragedinya sendiri-sendiri. Ada buruh media, yang mungkin berjumlah banyak, dan orang-orang kecil yang dieksploitasi untuk kepentingan kuasa pemilik media.

Di depan panggung, para pemilik media berkoar tentang restorasi bangsa dan pencalonan presiden yang konon ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Ironisnya, di belakang panggung, banyak korban terbungkam yang tidak pernah diketahui sebagian besar khalayak media.
Stasiun televisi berita telah menjelma sebagai industri kosmetik politik yang memoles hasrat kuasa pemiliknya seraya memecundangi si lemah dalam keriuhan tontonan.

Tidak Diperhitungkan

Terdapat satu persoalan esensial, selain isu perburuhan dan rekayasa tontonan, yang harus dimengerti publik mengenai industri televisi (dan industri penyiaran pada umumnya). Frekuensi merupakan problem yang selama ini diabaikan dan cenderung tidak diperhitungkan dalam arena propaganda politik yang secara masif melibatkan televisi, radio, dan internet.

Padahal, tanpa frekuensi, seluruh retorika berbuih-buih yang digelontorkan pihak pemilik media tidak mungkin sampai ke hadapan khalayak. Frekuensi itu berada di udara dan memang tidak bisa ditangkap indra penglihatan. Namun, frekuensi memiliki kemampuan menundukkan mata pemirsa.

Frekuensi, ungkap Marcel Danesi (Dictionary of Media and Communications, 2009), adalah ukuran gelombang radio yang dapat menunjukkan stasiun radio ketika kita mencarinya. Jika konsep itu diperluas, frekuensi bisa pula dimengerti sebagai sarana yang mengantarkan sebuah siaran televisi (dan radio) agar dapat ditangkap khalayak.

Para pemilik stasiun televisi boleh saja mengklaim mereka mempunyai seluruh perangkat produksi siaran, dari kamera hingga gedung yang amat megah. Namun, tanpa frekuensi seluruh kepemilikan sarana produksi siaran tidak ada maknanya. Frekuensi adalah bagian integral industri siaran.

Sebuah fakta yang harus mendapatkan penekanan khusus adalah jumlah frekuensi amat terbatas. Publik memiliki otoritas untuk menjadi pemilik frekuensi karena kelangkaan ini.

Dalam rumusan lain dapat dikemukakan frekuensi itu milik publik! Hal ini disebabkan—sebagaimana halnya tanah, air, dan udara yang secara sekilas melimpah—jumlah orang yang bisa mengelolanya secara baik ternyata sangat sedikit.

Terdapat realitas paradoksal di sini. Pada satu sisi, frekuensi sangat terbatas. Namun, pada sisi lain, pihak yang mampu mengetahui dan memanfaatkan sumber daya penyiaran ini sangatlah elitis.

Dalam situasi demikian, berlakulah hukum rimba berbasis kapital (finansial) dan pengetahuan. Siapa yang punya uang dan kecerdasan akan mampu menguasai dan mengelola frekuensi. Hukum rimba mengalami transformasi karena frekuensi merupakan ranah publik: pihak manapun yang mengendalikan frekuensi, dengan itu bisa mengontrol kesadaran publik.

Memang, kontrol terhadap kesadaran melibatkan kemampuan publik dalam melakukan perlawanan. Publik tidak mudah ditaklukkan secara total. Ada negosiasi yang tidak pernah usai. Namun, berapa banyak bagian dari publik yang mampu menunjukkan resistensi secara terbuka, terhadap sikap arogan para pemilik media yang sudah mengangkangi frekuensi milik publik itu?

Kemajemukan Gagasan

Para pemilik media penyiaran pasti tidak sudi dan akan menunjukkan perilaku reaktif jika dituding telah menguasai frekuensi milik publik. Mereka akan berdalih mereka juga mewakili publik. Apa yang mereka siarkan dan pidatokan setiap hari adalah cerminan aspirasi publik, demikianlah mereka mengklaim.

Dalam situasi ini, kita tidak bisa tinggal diam dengan argumentasi ideologis itu, seakan-akan pemilik media membela kepentingan masyarakat, namun pada prinsipnya merekalah yang mendapatkan keuntungan lebih banyak. Kesadaran publik semakin dikebiri.

Pemilik media bukanlah perwakilan publik. Apa yang membedakan mereka dari publik? Hannah Arendt, sebagaimana diuraikan F Budi Hardiman (Ruang Publik, 2010), mengontraskan antara polis dengan oikos. Apa yang disebut polis atau publik merupakan ruang berkomunikasi dalam kebebasan dan pluralitas perspektif (sudut pandang).

Dalam lingkup ini, individu-individu meluruhkan problem-problem privat mereka. Sementara itu, oikos atau yang privat merupakan wilayah keniscayaan yang berada di bawah kendali survival manusia sebagai spesies. Jadi, publik dengan sendirinya menonjolkan kemajemukan gagasan, sedangkan pihak yang privat sangat berhasrat menyuarakan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Dari titik pembedaan itu, publik seharusnya makin menyadari selama ini hak mereka terhadap pemakaian frekuensi tidak saja telah dikangkangi segelintir elite pemilik media, melainkan juga frekuensi telah dijarah dan dirampok pemilik media.

Lebih buruk lagi kalangan pemilik media pun memiliki kedudukan sebagai elite-elite pada sejumlah partai politik. Dengan demikian, apa yang terjadi adalah publik telah dua kali dikorbankan. Pertama, hak publik untuk mendapatkan tayangan yang berkarakter multiperspektif telah sirna. Kedua, partai politik sekadar menjadi kedok dan sarana nyaman pemilik media terus mendominasi ruang publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar